Ada yang aneh, kala mengintip repon warganet terhadap Puisi Berjudul ‘Ibu Indonesia’ yang ditulis dan dibacakan oleh seorang budayawati Indonesia Sukmawati Soekarnoputri dalam Indonesia Fashion Week 2018 di Jakarta, 28 Maret 2018. Apa yang menyebabkan keanehan respon warganet?
Hampir pasti jawabannya adalah naiknya temperatur politik, dan kian lakunya agama sebagai identitas dan komoditas politik.
Bagi yang terbiasa dengan sastra, maka puisi dan kritik adalah dua bilik dari jantung kehidupan dan nurasi manusia. Dia tak bisa dipisahkan. Kalau pun ada yang harus disalahkan, pasti karena ketidakmampuan sang sastrawan menyembunyikan kritik di balik kata, atau keterbatasan kita membaca pesan.
Marilah berteduh di bawah naungan pohon akal sehat yang rendang. Kalau dipikir-pikir, mustinya Puisi Mbak Sukma itu ditempatkan dalam konteksnya, sebagai ekspresi anak bangsa dalam rangka mencintai tanah air sebagai sebuah keharusan setiap kita, baik sebagai warga negara, maupun sebagai masyarakat beragama.
Bukankah sudah final, Mencintai tanah air adalah bagian dari keimanan dan perwujudan iman dan syukur kepada Allah SWT atas anugera negeri Indonesia. Hubbul Wathan Minal Iman.
Dilihat dari isi dan pesan, apa yang terkandung dalam puisi tersebut harus dinilai sebagai sebuah karya sastra yang maksud dan maknanya sangat spesifik, sangat tergantung pada perenungan dan perspektif individu, pemaknaan terhadap realitas, serta simbolisasi sastra yang hanya bisa kita ketahui makna sesungguhnya setelah kita konfirmasi dari hati ke hati sang pencipta karya seni tersebut.
Dalam siaran persnya, Ibu Sukmawati menyatakan bahwa puisi tersebut bukan dalam rangka menyerang agama (SARA) tapi diangkat dari ketidakberdayaan realitas masyarakat Indonesia yang sangat beragam agama, suku dan tingkat pendidikan agamanya ini terhadap apa yang disebut syariat Agama. Karena dulu, walisongo sebagai penganjur Islam pun sangat lembut menanamkan ‘syari’at Islam’ ke bumi kebudayaan Nusantara.
Dalam semilir angin akal sehat, kita masih boleh bergumam. Walau karya seni, termasuk karya sastra tak bisa begitu saja disalahkan, kita sebagai bangsa yang bhinneka tunggal Ika akan sangat bijak bila kita ‘bisa merasa’ dengan relung hati terdalam, merasakan dengan mata terpejam detak jantung dan emosi jiwa sesama.
Setiap kepala berhak atas pendapat, bahkan kritik atas nama kebenaran. Tapi bertaushiah tentang kebenaran tak bisa begitu saja memunggungi satu hal penting lainnya, yakni kesabaran dalam menyeru. Benar dan sabar itu akan lebih sempurna ketika disampaikan secara Indah penuh budaya. Kebenaran bisa dari mana saja, tapi menyampaikannya dengan Indah hanya milik nlmereka yang terpilih.
Sastra berada dalam domain paling lembut dari manusia, yakni hati. Dari hati yang muthmainnah akan bersemi tepa-slira, sebuah sensitifitas yang super halus. Jangankan menghardik orang lain yang berbeda, menyinggung perasaan liyan pun sudah merasa tersiksa, apalagi sampai memancing disharmoni kita sebagai bangsa.
Di era dimana politik menjadi penglima (lagi), semua hal akan dijadikan alat, termasuk agama. Meminjam istilah Penyair KH Zawawi Imron, saat itulah dibutuhkan akal sehat.
Dalam pikiran orang waras, agama ditempatkan di singgasana mulia (maqaman mahmudan). Masuk akal kalau dijunjung bersama sebagaimana norma sosial yang ada. Sementara urusan beragama dan berkeyakinan sifatnya private dan custom.
Dia hak prerogatif Allah, tak boleh ada pemaksaan apalagi dengan kekerasan. Berbeda dengan urusan harmoni hidup berbangsa dan bermasyarakat, dia sepenuhnya butuh ikhtiar sungguh-sungguh, sebagai sesama penghuni bumi Allah yang berkelompok dalam satu bangsa yang satu bernama Indonesia.
Sudahlah, situasi terlanjur keruh, hanya karena sebait puisi. Andai akal sehat boleh bicara maka dia akan mengingatkan tiga hal. Pertama, di tahun politik ini, semua pihak harus bisa menahan diri.
Ciptakan situasi harmonis, berilah kesempatan kepada pihak-pihak yang berkontestasi menjadi pemimpin bangsa dan kepala daerah untuk berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) demi terciptanya kemaslahatan di negeri ini.
Kedua, Akal sehat bangsa Indonesia akan konsisten menolak semua hal yang akan mempertentangkan antara ketundukan kita pada Allah dan agama dengan kecintaan kita kepada Tanah Air.
Karena dua hal tersebut, agama dan nasionalisme, adalah dua prinsip dasar yang tak bisa dipertentangkan apalagi dijadikan alat dan komoditas politik untuk menebar kegelisahan dan provokasi yang ujung-ujungnya bermuara pada kepentingan duniawi atau kekuasaan (hubbud dun-ya dan hubbul jah).
Ketiga, kalau bisa meneduhkan, kenapa harus membakar? Kalau bisa bertausiah benar dan sabar, kenapa harus bikin keruh air di kolam wudu kita.
Ketika menghadapi masalah, Alquran meminta kita tetap di jalur takut kepada Allah, mengklarifikasi atau tabayun pada pihak yang berbeda, dan akhirnya jalur perdamaian, masih pilihan terbaik. Fas-shulhu khair. Selamat Berdamai.