Sedang Membaca
Dari Minim Kritikus ke Jalan Kritik Sastra
Akhmad Mustaqim
Penulis Kolom

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Unisma.

Dari Minim Kritikus ke Jalan Kritik Sastra

Jalan Kritik Sastra

Dalam buku kumpulan esai Afrizal Malna, Sesuatu Indonesia (2000), Afrizal Malna seperti berusaha memberi pandangan luas kepada generasi selanjutnya, dalam karya tersebut berhasil karena memberi tawaran kritik karya sastra yang baik, dan sekaligus kepada para pengarang sastra Indonesia mendedikasikan. Di bukunya terdapat kutipan yang diambil dari catatan Jakob Sumardjo misalnya, berpendapat terhadap 237 sastra Indonesia yang hidup sejak tahun 1920 hingga 1986, menghasilkan komposisi seperti ini: 49,3% terdiri dari penyair, 47,6% terdiri dari cerpenis, dan hanya 4% untuk kritikus. 

Karya sastra merupakan hasil proses kreatif manusia, semua manusia yang kreatif tentu berbeda dari segi cara hidupnya: untuk menghasilkan karya atau mencipta dunia sendiri. Sehingga punya cara sendiri untuk memberikan kontribusi dan berfungsi dalam hidupnya. Seorang penulis sastra akan mencipta karya sastra seperti novel, cerpen, esai, dan puisi. Akan tetapi, karya sastra memiliki berbagai genre dan jenis mengemas sastra yaitu; berbentuk realis, surealis, dan eksperimen. Dalam hal ini hanya perbedaan istilah secara harfiah. Namun ada dua jenis karya sastra berupa tulisan dan lisan. Agar karya sastra terus hidup dan berkembang, maka butuh kritikus.

Buku ditulis Yusri Fajar berjudul Jalan Kritik Sastra Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik (Intrans 2020), Yusri mengingatkan pada tokoh paus sastra Indonesia yaitu, H.B. Jassin. Nama yang tak asing bagi jurusan sastra Indonesia, karya-karya esai tentang sastra selalu menjadi rekomendasi para pegiat sastra dan dosen. Terkhusus kepada ingin mendalami kritik sastra. Bahkan ada  dosen mewajibkan baca karya H.B Jassin.

Tidak lepas dengan pembahasan buku karya Yusri Fajar penulis Jalan Kritik Sastra Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik, buku yang tidak kalah baiknya di era sekarang di Indonesia yang masih sangat sedikit kritikus. Tentu, menjadi buku yang baik jadi pendoman memahami karya sastra, untuk ke relung paling dalam. Ada benarnya kalau mengkritik itu punya tujuan membangun intelektual lebih baik, tentu dengan cara sehat intelektual dilakukan dengan  baik dan cermat.

Baca juga:  Barakah Burdah al-Bushiri

Yusri Fajar, seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya Malang (FIB) di salah satu kampus terbesar di Jawa Timur yaitu, Universitas Brawijaya Malang. Tulisan berjenis esai kritik sastra terhadap karya sastra yang tertuang dalam buku, Jalan Kritik Sastra Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik. Buku ini merupakan representasi dari seorang penulis akademisi sekaligus seorang sastrawan. Sehingga tulisan tersebut memberikan sebuah dedikasi secara tidak langsung, bagaimana seorang bisa mengkritik secara baik tanpa ada unsur menghina, bahkan secara naratif disampaikan dengan teks bahasa yang baik, tepat, dan sesuai dengan silogisme bahasa, yang baik.

Buku ini membuka pengalaman, pengetahuan, dan bagaimana melakukan kritik terhadap karya sastra. Jalan kritik, dengan cara-cara baik dalam mengkritik sebuah karya sastra. bukan hanya mengkritik teks sastra namun non-teks pula. Buku yang berisi dengan beberapa cara mengkritik karya-karya sastra:

  1.     Kritik Karya Sastra Kumpulan Cerpen

Kritik sastra memiliki peran penting dalam dunia kesusastraan, menginterpretasikan, menilai dan mengkaji banyak karya sastra. Karena posisi penulis dan karya sastra telah terpisah. Hal ini selaras dengan apa yang telah dikatakan oleh Roland Barthes (1965), dalam esai Sapardi Djoko Damono berjudul Interteks, Interteks. Bahwa pembaca teks akan melibatkan tiga pihak: teks, pengarang, dan pembaca. Maka pentingnya seorang kritikus teks sastra maupun non-teks, bertujuan mengungkap bahasa tekstual yang memiliki multitafsir, contoh dalam Kumpulan Cerpen berjudul Semua untuk Hindia (KPG, 2014) dengan kutipan “Hindia Belanda seperti negeri ajaib yang senantiasa menawarkan penjajahan  spiritual.” (Iska Banu, 2014:33). Makna sebenarnya dalam dialog tersebut: Kedatangan orang-orang Belanda ke Indonesia membawa dampak hibriditas dan budaya. ( Yusri Fajar, 2020:01).

  1.     Kritik Karya Sastra Puisi Gastronomi

Namun, dari sisi karya sastra lain berupa puisi. Yusri Fajar memberi dedikasi perihal kritik bagaimana bisa mengkritik sebuah puisi, tergambar jelas dalam esai kritik sastra berjudul Makanan, Relasi Sosial, dan Identitas: Menikmati puisi-puisi dalam “Dapur Ajaib” Karya Alfian Dippahatang. “Kamu adalah yang kamu makan” merupakan representasi dari apa yang ada dalam penggalan puisi yang dijadikan contoh. Sehingga karya sastra puisi tersebut masuk pada ciri puisi gastronomi, sastra berkaitan dengan makanan. “Aroma kebahagiaan itu tercium dari tumis/ bumbu  yang sedang kuhirup dari racikanmu/hawa panas dari perapian membuat wajahmu/ yang keringatan dan berminyak kian bermuara (Dipahatang, Sibuk di Dapur, 2017;57). Inilah bukti bahwa buku  ini juga memiliki sebuah kompleksitas membahas tentang puisi yang tajam dengan mengambil sisi lain dari yang umum, yaitu sastra gastronom Prancis, Jeans Anthelme Brillant-Savarin (sebagaimana dikutio Rahman, 2016:13) menganggapnya sebagai indera yang terhubung dengan sensasi kenikmatan di mana tubuh menyadari sensasi itu. Sensasi dalam puisi itulah diambil yang memiliki kaitan  dengan rasa dan tubuh.

  1.     Kritik Karya Sastra Novel
Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (30): Bidayatul Hidayah: Kitab Panduan Hidup Segala Zaman

Dalam hal ini Yusri Fajar memberikan  dedikasi melalui kritik karya sastra novel dengan judul Neokolonialisme dalam Novel ”The God of Small Things” Karya Arundhati Roy: Hegemoni Ekonomi, Sistem Kasta, dan Para Elit Lokal. Tergambar dalam sebuah karya sastra tersebut dengan sebuah permasalahan kompleks di India masa setelah kemerdekaan negara tersebut. Narasi berbentuk teks yang disampaikan oleh Arundhati Roy (Fajar, 2020,18); Setelah kemerdekaan, mereka (kasta rendah yang tidak dapat disentuh) mendapati bahwa mereka tidak berhak atas tunjangan pemerintah apapun seperti reservasi pekerjaan atau pinjaman bank dengan tingkat bunga rendah, karena secara resmi, di atas kertas, mereka adalah orang Kristen, dan karenanya tidak memiliki hak (1997:74). Dalam hal ini jelas ada ketidak seimbangan dalam memperlakukan manusia, walau pada dasarnya sudah merdeka. Namun, kasta rendah masih belum merasakan kemerdekaan tersebut, selain itu dikarenakan masih ada perbedaan dalam beribadah antara kasta rendah dan atas.

  1.     Kritik Karya Sastra Teks ke Media Audio Visual

Kritik karya sastra Indonesia tentu banyak yang bertransformasi dari ke teks sastra ke bentuk Audio visual (difilmkan). Masih belum lama adaptasi karya sastra seperti; Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (difilmkan 2019), Laila S. Chudori yang Laut Bercerita (difilmkan 2018) dan Dilan 1990 (difilmkan 2019), dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka (difilmkan 2013). Dari yang telah disebutkan film di atas tidak asing di Indonesia. Jika anda berpikir bahwa adaptasi hanya berhubungan dengan novel-novel dan film-flim, anda salah. Orang-orang era Victoria telah memiliki tradisi mengadaptasi banyak karya dengan berbagai kemungkinan arah: puisi, novel, drama, opera, tulisan, lagu-lagu , tarian, dan “Tableaux vivants” telah diadaptasi dari satu medium ke medium lainnya, dan sebaliknya. (LInda Hutcheon, 2006:IX). Hal ini dapat memberikan sebuah pandangan bahwa relasi antar bidang seni ‘bersinergi’ secara dinamis bersama dengan teknologi. (Fajar, 2020: 66).

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (22): Kitab Wirid Penangkal Corona Karya Kiai Muslih Mranggen

Dapat disimpulkan, bahwa buku ini adalah jalan mudah dalam memahami karya sastra secara luas. Kita ketahui sangat sedikit kritikus sastra di Indonesia. Namun tidak semua pembaca diajak menjadi kritikus, tapi sebagai pembaca sastra perlu dengan ketangkasan menginterpretasi, apresiasi, suatu karya sastra sangat penting. Buku ini dapat menjadi pedoman baik untuk melakukan kritik karya sastra, sekaligus menjadi jalan tengah paling bijak. Sesuai dengan pendapat HB. Jassin (1956; 47). Adanya kritik sastra merupakan bentuk pertanggungjawaban diri dan masyarakat.

Judul: Jalan Kritik Sastra

Penerbit: Intrans Publishing Malang

Penulis: Yusri Fajar

Cetakan: Pertama Maret, 2020

Tebal: 15,5 cm x 23 cm; xviii+128 halaman

ISBN: 9878-602-53281-9-0

Genre: Esai Sastra 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top