“INDONESIA merupakan negara sarat misteri. Kebudayaannya berbeda dalam aspek apa pun dengan bangsa lain. Lingkungan mereka pun begitu. Orang Indonesia sangat baik, bersedia membantu tanpa pamrih—meski untuk menghancurkan bangsa sendiri, tidak angkuh, dan tak sombong.” (David T Hill, Indonesianis & Guru Besar Studi Asia Tenggara Universitas Murdoch-Australia)
Buah pengamatannya itu lumayan jeli. Kami telah berulang kali membuktikan perihal itu selama tiga warsa lebih hidup di negeri kita tercinta. Terkini, saat menyambangi kampung adat Ciptagelar di lingkungan Taman Nasional Gunung Halimun, barat Jawa.
Masyarakat adat Kasundaan yang sudah melanggengkan tradisinya selama enam abad lebih ini, mukim di perkampungan semi-nomaden. Setidaknya telah delapan kali mereka boyongan sejak dari Lebak Larang, lalu ke Lebak Binong, menuju Tegalumbu, kemudian Bojong, masuk Pasirjinjing, lantas mendirikan Sirnarasa, berlanjut ke Ciptarasa, dan terakhir di Ciptagelar sejak 2001.
Berdasar penuturan Aki Edih—yang dengan santai berkelakar mengganti nama presiden Amerika jadi Donat Trump—masyarakat Kasundaan merupakan pengikut setia Kanjeng Nabi Muhammad Saw dengan corak yang lebih santun, kalem, tulus, dan menjunjung tinggi keragaman. Kecenderungan mereka pada tauhid lah yang menjadi sumber tata nilai masyarakat kasepuhan. Seperti siloka berikut ini yang beliau terakan pada kami:
Mipit amit (segala sesuatu tahu asal usulnya); ngala menta (mengambil harus minta); nganggo suci (pakaian itu harus bersih dari segalanya); mangan halal (makan yang halal); Ngucap kalawan sebenernya (apa yang didesirkan hati, katakan dengan mulut). Lelaki tua ini punya kecerdasan luarbiasa yang ia rangkum dari segudang pengalaman berkeliling ke negeri manca. Jika Anda tak punya cadangan pengetahuan yang baik, pasti bakal rujit berhadapan dengannya.
Dari Aki Edih pula kami beroleh penjelasan tentang Dewi Rorok (Kidul) yang ternyata bukan sosok persona. Melainkan siloka yang telah mereka warisi turun temurun sebagai mandat menjaga daerah selatan Jawa. “Secara topografi,” katanya, “selatan adalah jantung kota-kota besar. Jika selatan rusak, maka air bersih, pangan yang baik, dan pola hidup teratur, takkan lagi ada.” Mendengar penjabaran itu, kami termangu memikirkan dari mana kata ‘topografi’ itu bisa ia anggit dengan mudah?
Berbaur bersama mereka sejak 18-20 Agustus 2018, kami melihat sendiri bagaimana warga kasepuhan menerima para tamunya secara terbuka. Setelah menanyakan maksud kedatangan kami, gelas-gelas kopi robusta segera terhidang di hadapan. Sejam berselang, aneka masakan lezat sudah siap disantap. Selama dua hari di sana, perut kami tak dibiarkan kosong barang sejenak. Penganan yang mereka sajikan, dibuat sendiri oleh kaum ibu. Rasanya nikmat, mengalahkan makanan hotel bintang lima.
Nasi mereka pun enak bukan kepalang. Sejak masih bernama padi, mereka memanennya dengan ani-ani. Ditumbuk sekelompok ibu di lumpang. Dimasak di tungku dengan kayu bakar. Menariknya lagi, mereka hanya menanam padi sekali dan diteruskan tanaman palawija. Cara ini ampuh menjaga kualitas hara dan tentu berdampak pada hasil panen–yang mereka simpan di leuit (lumbung). Tak tanggung², Ciptagelar bahkan pernah mengirim bantuan ke Afrika saat busung lapar mewabah di sana. Pesta panen raya yang disebut Seren Taun pada setiap periode akhir kalender matahari, jadi bukti ketahanan pangan warga kasepuhan.
Bila nanti Anda berkunjung ke sini, jangan harap ada sekelompok orang salat berjamaah, memakai gamis, melilit serban di kepala, dan bersilat lidah dengan anta, antuma, antum. Tak. Mereka setia mengenakan pakaian adat warna hitam, samping (kain sarung bagi kalangan ibu), dan sebuah iket kepala. “Itulah simbol memegang tradisi yang pageuh (kuat). Beragama tak perlu dipaksakan. La ikraha fid din. Bagi yang mau salat silakan, yang tidak, sumangga. Sing penting ula (jangan) musyrik ku Gusti nu Agung,” demikian tuturan Kang Rukanda, ketua Rukun Warga Ciptagelar.
Hal yang lebih mengagumkan lagi, tetua adat Ciptagelar, Abah Sugriyana Rakasiwi, masih berusia 32 tahun. Beliau memimpin seratus 37 kepala keluarga di kasepuhan, 30.000 warga di tiga kabupaten, sedari masih usia 17-an. Perawakannya tinggi gagah, dilengkapi cambang bawuk di wajahnya yang putih bersih, bersinar.
Selama memimpin kasepuhan, Abah Ugi, demikian beliau disapa warga, dibantu oleh para Baris Kolot (tujuh rorokan):
Rorokan jero (abdi dalem), Paninggaran (penghalau hama), Pemakayaan (petugas yang mengetahui kapan Abah Ugi hendak bercocok tanam & panen), Kepenghuluan, Bengkong (mantri sunat), Maparaji (semacam bidan beranak), dan petugas Kesenian. Tujuh golongan inilah yang pasti akan ikut boyongan bila kelak tetua adat mereka kersa untuk berpindah tempat lagi.
Sosok Abah yang dituakan inilah sumber segala nasihat, petuah, dan ilmu bagi masyarakat adat yang tetap teguh tak menjualbelikan tanahnya. Tidak ada institusi belajar seperti pesantren, yang khusus memberi pengajaran terkait Islam. Apa yang telah didapat para orangtua dari Abah Ugi, lantas diteruskan ke istri dan anak-anak mereka. Semua berlangsung berkesinambungan dalam pendengaran, penglihatan, pikiran, ucapan, dan tindakan.
Malam yang dingin pada musim kemarau itu, kami mengamati seorang kemit tengah berjaga di pangkemitan. Ia tekun sendiri menikmati udara malam sambil membakari kayu yang lantas jadi ruhak dan melebu. Bintang gemintang gemerlapan di langit. Meningkahi malam yang merambat beku.
Tampaknya warga adat kasepuhan Ciptagelar masih akan terus bertahan beberapa abad lagi, dan tentu turut menjaga kesetimbangan hidup dan kehidupan anak-anak manusia setelah kita. Maka mulai sekarang, mari berhenti merusak diri. Hampun paralun, Gusti… []
21 Agustus 2018