Sedang Membaca
Jilbab: Fesyen atau Fikih?
M. Dani Habibi
Penulis Kolom

Lahir di Lampung, 1996. Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Isalam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan saat ini tinggal di PP Wahid Hasyim

Jilbab: Fesyen atau Fikih?

Perkembangan muslim dalam cara tata busana fesyen di Indonesia dalam beberapa tahun ini semakin marak. Meningkatnya busana sangat berkaitan erat dengan semakin majunya teknologi, degitialisasi di dalam media sosial. Tentu saja karena semaraknya tren mode dunia.

Dalam beberapa tahun terakhir, jilbab telah menjadi busana yang trend dikalangan para wanita muslim. Hal ini tidak lain karena dilatar belakangi oleh tampilan gaya artis yang tren dengan gaya islami. Seperti Shireen Sungkar, awalnya ia tidak berjilbab dan bergaya islami seperti sekarang, namun setelah ia menikah dengan Teuku Wisnu maka dengan perlahan Shireen berpenampilan gaya islami.

Alyssa Soebandono juga berpenampilan islami atau berjilbab setelah ia menikah dengan Dude Harlino. Keduanya adalah contoh artis yang mempopulerkan istilah hijrah dengan cara berpakaian menggunakan jilbab.

Baca juga:

Banyak arti dari kata jilbab yang sebenarnya merupakan kosa kata bahasa Arab. Jilbab merupakan bentuk jamak dari jalaabiib yang artinya pakaian yang luas. Artinya adalah pakaian yang lapang dan dapat menutupi aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan hingga pergelangan tangan saja yang ditampakkan.

Jilbab dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kerudung lebar yang dipakai muslimah untuk menutupi kepala dan leher hingga dada. Jilbab di Indonesia sendiri awalnya lebih dikenal dengan sebutan kerudung yaitu kain untuk menutupi kepala, namun masih memperlihatkan leher dan sebagian rambut.

Baca juga:  Syafaat Para Syuhada

Dalam perkembangannya jilbab bukan sebatas dipahami sebagai sebuah kewajiban agama. Namun meluas menjadi gaya hidup sebagaian perempuan. Ditambah dengan gaya artis yang populer dengan istilah ijrah yang dinisbatkan pada jilbab. Jilbab akhirnya tidak hanya sebuah perwujudan kesalehan sebagaimana yang diharapkan perintah agama.

Jilbab disisi lain merupakan manifetasi dari fenomena sosial. Hal ini diperkuat dengan maraknya penggunaan jilbab pada sebagian masyarakat karena alasan politik, hukum, dan lainnya. Beragama alasan yang melatarbelakangi penggunaan jilbab di kalangan muslimah.

Permasalahan pewajiban penggunaan jilbab bagi perempuan ini tidak lantas berhenti pada satu kesepakatan. Pembahasan mengenai masalah ini juga sama permasalahan aurat perempuan. Sampai pada cakupan yang cukup luas itulah jilbab menjadi bahan perdebatan, diskusi, hingga tolak ukur keimanan seseorang.

Persoalan jilbab memang bukan hal baru, namun belakangan ini permasalahan tentang jilbab kembali mencuat. Terlebih dengan pemahaman yang menyebutkan bahwa Quraish Shihab sebagai seorang ulama reformis menyatakan ketidakharusan dalam berjilbab bagi perempuan.

Dalam hal ini, bukan masalah wajib tidaknya jilbab yang ingin dikemukakan di sini, melainkan fenomena pemakaian jilbab oleh perempuan di masyarakatlah yang ingin dibahas. Agar diharapkan fenomena jilbab ini dapat dilihat tidak hanya dari segi normatif agama saja, tapi pada ranah lain yang lebih luas seperti psikologi sebagai salah satu dari bagian cabang ilmu sosial.

Dengan banyak sudut padang, diharapkan hal tersebut dapat diketahui pula alasan-alasan perempuan yang memilih mengenakan atau tidak mengenakan jilbab.

Melihat kondisi sekarang perempuan muslimah yang berjilbab tidaklah seideal, seanggun, apa yang digambarkan sebagai musimah taat. Shibab menyatakan ada perempuan-perempuan yang memakai jilbab namun tingkah lakunya tidak sejalan dengan tuntunan agama dan budaya masyarakat Islam.

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (6): Kita Semua Tuan Tanah

Perempuan berjilbab bisa berdansa dengan lelaki yang bukan mahromnya. Jilbab dalam konteks ini disebut oleh Shihab sebagai mode berpakaian yang merambah kemana-mana dan bukan sebagai tuntunan agama.

Kemudian muncul pertanyaan bagaimana dengan perempuan muslim yang tidak berjilbab. Benarkah mereka bukan perempuan yang taat dalam beragama, yang bisa dengan sembarang memamerkan tubuh mereka? Atau bahkan bagaimana dengan perempuan yang melepas jilbabnya setelah mereka dengan kukuh mempertahankan jilbabnya?

Saya mempunyai pandangan bahwa memaknai jilbab adalah sebagai produk budaya yang diperkuat dengan anjuran agama dengan alasan untuk perlindungan atau kemashlahatan, namun dalam hal ini, saya tidak sependapat jika jilbab dijadikan sebagai titik tolak tingkat kereligiusan seorang perempuan.

Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan salehah, dan sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan salehah. Hal ini karena jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketaqwaan seseorang konstruksi masyarakatlah yang memberikan “label” pada jilbab yang mempunyai makna wanita salehah.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu pernyataan yang biasa kita dengar juga, kesalehan seorang perempuan (juga laki-laki atau di antara keduanya) bukan dilihat dari penampilannya yang menggunakan jilbab, namun lebih pada sikap dan tuturkata yang baik kepada semua orang.

Baca juga:  Filosofi Mengisi Gelas dengan Air Kran: Lima Panduan Santri Mencari Ilmu

Lebihnya, kehindahan seorang perempuan dilihat dapat dilihat dari akhlak dan ketaatanya kepada Allah swt bukan dari penampilan semata.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top