Ramadan adalah bulan penuh berkah. Umat muslim telah mengakui itu. Berkah adalah ziyadatul khair atau bertambahnya kebaikan. Kebaikan itu benar-benar bisa saya rasakan dan nikmati. Anda juga merasakannya bukan?.
Saya yang, ketika bulan-bulan biasa, jarang berangkat untuk shalat wajib berjamaah, misalnya, nah di bulan suci ini, tingkat relijiusitas saya meroket pesat, ehem. Bukan hanya rajin buat jamaahan di musala, tetapi juga getol baca kitab suci umat Islam di rumah. Sungguh, suatu kenikmatan yang tiada terkira. Allah memang maha luar biasa.
Kenikmatan dalam beribadah di bulan penuh rahmat semakin lengkap dengan adanya santap berbuka di waktu maghrib. Setelah 13 jam kurang lebih menahan lapar dan haus, ditambah kudu bersusah payah membendung hawa nafsu, manusia akhirnya mendapat kenikmatan yang tiada tanding usai meneguk segelas es teh yang dihidangkan di atas meja. Nyess. Tenggorokan yang semula kering kerontang berubah dalam sekejap menjadi segar bugar. Perut yang awalnya keroncongan juga beranjak menjadi kenyang setelah mengganyang nasi Upin-Ipin. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.
Menu-menu lezat di meja makan itu bikin umat nabi saw sungguh bahagia di bulan Ramadan. Saya gembira. Anda saya yakin juga berbunga-bunga. Tapi bentar. Apakah kita selayaknya harus bersukacita secara berlebihan disaat saudara muslim di Palestina sana hidup dalam ketakutan? Hidup di tengah-tengah rudal Israel yang ugal-ugalan membabi buta.
Terhitung sejak 7 Oktober 2023 sampai detik ini, warga Palestina dihabisi secara keji oleh Zionis yang tak berperikemanusiaan. Manusia Palestina, dari anak-anak hingga orang tua, harus kehilangan sosok terkasih, kekurangan air dan sumber pangan, konsumsi seadanya bahkan kadang tidak makan, hingga dibuat sulit menjalankan ibadah.
Kita yang di Indonesia tentu wajib bersyukur. Bukan mensyukuri derita warga Palestina, bukan. Melainkan bersyukur hidup kita dimudahkan oleh sang pencipta. Mau menghadap sang ilahi tinggal ambil air wudu, gelar sajadah. Kepengin makan tinggal masuk warteg. Mau mandi, banyak air melimpah ruah, dan lain sebagainya. Renungkan kembali kalau mau menyambat, saudaraku. Mau ngeluh karena kudapan buka puasa hanya itu-itu saja? pikir ulang kawan. Terkadang kita itu lebih paripurna kufurnya ketimbang syukurnya.
Coba ingat baik-baik. Pernahkah kita saat sedang lahap menyantap makanan lezat di kala berbuka, lalu kita membayangkan anak-anak Palestina yang mengais sisa bantuan makanan dengan mengoyak-oyak tanah. Momen sekumpulan anak-anak Palestina yang mengeruk tepung sisa itu sangat menyayat hati. Ketika kita bisa merasakan ayam geprek, nasi megono, mie goreng, dan segala jenis makanan lain yang digemari manusia Indonesia, di luar sana, khususnya di Palestina, dipaksa harus menikmati pedihnya kelaparan. Betapa berdosanya kita yang tak bisa mempersembahkan bantuan apa-apa selain doa yang kita langitkan.
Nasib Petani di Masa Depan
Nikmat mana lagi yang kita dustakan. Hidup di negara yang gemah ripah loh jinawi. Tanahnya subur bisa dikelola oleh petani. Dari tanah yang subur itu lalu muncul tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang pada akhirnya bisa disikat manusia. Dari tanah yang subur itu, lahir pula padi-padian yang kemudian menjadi beras. Beras itu lalu bertransformasi menjadi nasi dengan segala lauk pauknya yang lalu hinggap di perut kita, manusia. Artinya, dalam proses tumbuh kembangnya manusia, ada tangan-tangan pria-wanita bercangkul yang berangkat pagi pulang sore. Ada peran para petani atas kesegaran manusia saat santap sahur dan berbuka puasa.
Pertanyaannya, apakah kita pernah berterimakasih kepada para petani? Apakah kita bisa menghargai jerih lelah para penggarap sawah? Jangan-jangan kita tak pernah melakukannya, karena kita merasa lebih tinggi secara strata sosial daripada petani? Atau karena kita menganggap diri lebih hebat ketimbang petani-petani tersebut?
Gus Baha pernah mengingatkan manusia jangan sombong. Kita jangan pernah merasa menjadi manusia paling hebat ketika kita bisa membeli beras dengan sangat mudah, karena kita punya uang ber-M-M, misalnya. Kita bisa makan enak di waktu berbuka, tentu ada campur tangan manusia-manusia lain dalam kehidupan kita. Maka, berterimakasihlah. Selain berdoa dengan berterimakasih kepada tuhan, juga berterimakasih kepada para petani padi yang melakukan pembibitan, penanaman, dan perawatan hingga padi itu berubah menjadi beras dan sampailah di mulut kita dalam bentuk nasi.
Prinsipnya, kita jangan pernah menyombongkan diri karena kita bisa makan lezat. Sebab, kelezatan di dunia ini hanya sementara. Lezatnya dunia juga berkat adanya intervensi orang lain. Dari segenggam nasi putih, ada puluhan tangan yang bekerja mengurusnya. Mulai dari menyemai benih padi, merawat tanamannya, memanennya, dan entah lewat jalur mana saja sehingga pada akhirnya padi ini mendarat di tangan kita dalam bentuk sepiring mangkuk. Bukan hanya nasi, tapi juga sayuran dan buah-buahan yang kita konsumsi berasal dari kerja keras para petani. Di mulai dari menanam benih hingga tumbuh dan siap untuk dipanen.
Melihat fungsi petani yang sedemikian vital itu, masihkah kita akan terus menerus meremehkan mereka? Padahal untuk menghasilkan hasil panen yang nantinya bisa dinikmati oleh manusia-manusia rakus itu, para petani kerap kali menemui kesialan dalam prosesnya bertani. Saat hendak menanam, misalnya, petani terhadang gedenya modal yang harus dikucurkan. Waktu menanam, musuh petani adalah iklim yang tak bisa diperhitungkan. Ketika memanen, petani berlawanan dengan para tengkulak dan permainan harga pasar.
Problem yang diarungi petani bukan itu saja. Para petani seringkali juga menjadi korban keserakahan para elit oligarki yang merampas lahan tempat mereka bekerja. Kenapa saya sebut merampas? Ya karena pada beberapa kasus, para petani yang enggan menyerahkan tanahnya untuk dijadikan lahan industri, misalnya, akan dipaksa biar tunduk sama sang ‘penguasa’ tersebut. Bahkan, para petani yang berani melawan tak jarang nasibnya akan menjadi tragis.
Saya kasih contoh. Masih ingat Anda dengan kasus Salim Kancil? Salim Kancil merupakan petani sekaligus aktivis lingkungan yang dibunuh secara keji. Salim dibunuh sesaat sebelum demo penolakan tambang pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang pada 26 September 2015. Singkatnya, Salim dihabisi karena memprotes penambangan pasir di desanya. Siapa yang membunuhnya? Kepala desa setempat yang menyewa preman bayaran.
Salim hanyalah salah satu korban ‘kebiadaban’ para oligarki yang membegal tanah milik petani demi keuntungan mereka sendiri. Jadi, begitulah nasib para petani kita. Saya tidak tahu 20-30 tahun kedepan apakah kita masih bisa menikmati hasil dari jerih payah para petani, disaat lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin menyusut, beralih fungsi. Dari tahun ke tahun, alih fungsi lahan pertanian terus terjadi menjadi kawasan perkebunan, industri dan perumahan. Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, alih fungsi lahan pertanian mencapai kisaran 90 ribu hingga 100 ribu hektare per tahun.
Alih fungsi sawah pertanian menjadi permukiman dan industri tanpa pengawasan dapat berefek negatif bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Dampak pergeseran lahan pertanian menjadi permukiman dan industri yaitu produktivitas pangan akan menjadi berkurang atau menurun. Lahan pertanian yang menjadi lebih sempit karena alih fungsi memicu hasil produksi pangan juga melemah seperti makanan pokok, buah-buahan, sayur, dan lain-lain.
Kalau produksi pangan dalam negeri semakin menurun, lalu manusia mau makan apa? “Lho, jangan khawatir, kan kita masih bisa impor mas, negara kita juga terbiasa impor kan,?” ucap seorang teman. Ok negara kita memang masih bisa impor komoditas pangan dari negara lain. Tapi, ini bukan soal kita bisa impor atau tidak, ini adalah soal keadilan dan kesejahteraan yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya, khususnya kaum petani. Demikianlah, semoga capres-cawapres dan caleg terpilih membaca tulisan ini, dan mereka tidak lupa dengan janji-janjinya.