A Brief History of Chemistry, entah bagaimana ceritanya ketika sore itu saya menemukan buku itu di tengah lalu lintas browsing saya. Penulisnya, Michael Ridenour, seorang guru sains di Amerika. Dari judulnya saja kita bisa tahu bahwa isinya membahas soal sejarah ilmu kimia, dari sejak era Mesir-Yunani, lalu era transisi Becher dan Stahl dengan teori Phlogistonnya, hingga ke era kimia modern Priestly dan Lavoiser yang memperkenalkan kimia sebagai interaksi substansi yang lebih elementer.
Dari sini, saya kemudian terbawa untuk membaca lagi sekilas buku fenomenal Stephen Hawking, The Brief Histroy of Time, dari sana pun bisa dilihat bagaimana sejarah kajian terhadap waktu dari sejak era Mesir-Yunani sebagai, barangkali, peletak dasar kesadaran soal sains sebagai ilmu pengetahuan, lalu era Galileo dan Newton yang mengubah cara pandang manusia terhadap alam semesta, hingga era Einstein yang fenomenal dengan teori relativitasnya.
Kedua buku itu menyajikan lebih banyak detail soal tokoh, kejadian bahkan temuan yang tentu tidak bisa dikesampingkan dalam perannya sebagai estafet bagi sains yang kita kenal sekarang. Ridenour tentu menyukai kimia sebagaimana Hawking juga menyukai fisika, kosmologi, ‘waktu’ dan bahkan menjadi bagian dari sejarah ‘waktu’ itu sendiri. Mereka menyukai sains, lalu melihatnya dari sudut pandang yang lebih panjang, Sejarah.
Bagi mereka, mungkin sejarah adalah instrument yang tepat untuk membantu mereka menyadari bahwa sains adalah sebuah metamorfosa pemikiran, sains memang mempelajari tentang alam semesta, tapi sains adalah produk pikiran manusia. Maka perubahannya bisa jadi bahkan lebih dinamis dari pada perubahan alam semesta itu sendiri.
Lalu, bagaimana dengan ilmu syariat? Ilmu syariat dibangun dari dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis, baik yang digunakan secara langsung maupun tidak langsung. Dalil-dalil itu tentu juga harus dilihat dari aspek historisnya, hukum-hukum di dalam Al-Qur’an harus dilihat konteks asbabun nuzulnya, sejarah yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Begitu pula hadis, mengambil kesimpulan hukum dari hadis tanpa melihat sababul wurudnya, konteks peristiwa sehingga Kanjeng Rasul menitahkan sesuatu, juga bisa berpotensi bahaya terhadap implementasi hukum itu.
Tetapi, berbeda dengan sains, sejarah dalam ilmu syariat harus menjadi aspek kajian agar suatu hukum dapat diimplementasikan secara substansial sesuai konteks ruang dan waktunya. Kisah-kisah dibalik turunnya dalil menjadi bagian penting dalam kajian-kajian implementasi hukum itu di masa kini.
Sedangkan dalam sains, teori-teori sains yang sudah ‘usang’, barangkali hanya akan dikenal sebagai fosil, saintis masa kini bisa dan boleh-boleh saja untuk tidak terhubung sama sekali dengan teori itu. ‘Usang’ bukan dalam arti teori itu sudah berumur tua. Teori yang sudah ‘usang’ adalah teori yang sudah tidak relevan, biasanya karena gagal uji, tidak bisa dibuktikan secara eksperimental. Hukum Archimedes meskipun telah berusia ribuan tahun bukanlah teori usang, karena teori itu telah terbukti dan teruji secara eksperimental, sehingga masih tetap dipakai hingga kini.
Sejarah sains yang berlaku demikian tentu karena sains adalah produk pikiran manusia yang tidak absolut, berubah-ubah. Sedangkan dalam ilmu syariat, dalil yang turun adalah dalil yang mutlak harus kita yakini, sehingga sejarahnya menjadi telaah penting dan tidak boleh seenaknya ditinggalkan.
Sebagaimana dalam ilmu syariat, guru-guru sains agaknya juga tidak boleh melupakan pembelajaran mengenai aspek sejarah dari sains itu sendiri. Guru kimia atau fisika misalnya, ketika menjelaskan soal teori atom juga harus menjelaskan secara antusias mengenai sejarah atom dari era Yunani hingga era Schrodinger dan Heisenberg. Tentu bukan hanya aspek historis, tapi juga aspek filosofisnya, agar muncul kesadaran bahwa teori sains itu bersifat sementara, bahwa ia harus ‘sementara’ waktu diterima hingga ada teori baru yang bisa menjelaskan secara lebih utuh, sophisticated dan relevan dengan teori penunjang lainnya.
Harapannya, tentu agar para peserta didik bersungguh-sungguh dan termotivasi, bahwa sains masih sangat terbuka dan bisa berubah dan mereka bisa menjadi bagian dari sejarah pengembangan sains itu sendiri. Bagaimana mungkin Bohr, Heisenberg dan Schrodinger bisa berimajinasi mengenai lintasan dan pola gerak elektron kalau mereka tak paham sejarah dan konsep atom sejak era yunani hingga Rutherford, lantas ia menemukan bahwa dalam teori itu masih punya celah, lalu mengujinya, mendekatinya dengan instrument teori yang lebih mutakhir. Dan pada akhirnya, mereka menemukan dan menjadi bagian dari sejarah atom itu sendiri.
Maka, mengajarkan histori dan nilai filosofis satu teori sains sama halnya mengajarkan bahwa sains itu terbuka, terbuka bagi siapa saja yg berkemauan membukanya, terbuka bagi siapa saja yang berkemauan meminta kunci dariNya. Allahul Musta’an