Sedang Membaca
Masjid yang Dijanjikan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Masjid yang Dijanjikan

Whatsapp Image 2020 08 21 At 1.43.33 Pm (1)

Paragraf dari masa lalu: “Dua buah mesdjid baru jang besar, jang terletak pada belahan bumi jang berlainan menundjukkan bahwa ummat manusia di zaman modern ini masih mempunjai waktu untuk merenungkan segala jang maudjud ini dan memandjatkan pudji dan sandjungan kepada Chaliknja.”

Orang menduga paragraf itu termuat dalam majalah bercorak agama. Salah! Kita membaca dalam majalah Titian, Nomor 2, 1971, terbitan United States Information Service (Jakarta). Majalah itu menampilkan maket Masjid Istiqlal di sampul bagian belakang. Di mata Amerika Serikat, urusan masjid itu penting sampai dibahas dalam majalah Titian. Paragraf terkutip tadi terdapat dalam esai berjudul “Mesdjid-Mesdjid Baru di Djakarta dan New York” oleh Abdoerraoef.

Orang-orang mengingat ikhtiar membangun masjid besar itu dimulai pada masa kekuasaan Soekarno. Pada saat keberakhiran rezim, Soekarno tak bisa merampungkan masjid sesuai janji-janji besar biasa diucapkan dalam pidato-pidato. Edisi melanjutkan dan menjadikan dikerjakan pada masa kekuasaan Soeharto. Di majalah Titian, foto disajikan tentu Soeharto, bukan Soekarno. Soeharto tampak mesem, berkacamata warna hitam. Di kepala, tak ada peci. Sosok terpenting dalam rezim Orde Baru itu dijelaskan: “Presiden Soeharto sebagai kepala pemerintah Indonesia banjak sekali mempunjai perhatian terhadap projek-projek jang bersifat agama.”

Masjid Istiqlal itu mula-mula mengingatkan Soekarno, bukan Soeharto. Kita membuka buku besar dan tebal berjudul Friedrich Silaban (2017) garapan Setiadi Sopandi. Buku mendokumentasi kerja-kerja dan cuilan biografi arsitek bernama F Silaban tapi memiliki episode-episode penting bersama Soekarno. Sejarah mendirikan masjid moncer itu penuh masalah, tak selalu cerah dan indah. “Wujud dan kehadirannya diharapkan jauh melampaui monumentalitas masjid-masjid agung warisan masa lampau di Indonesia,” tulis Setiadi.

Baca juga:  Masjid yang Mubazir

Masalah demi masalah terkuak dari pihak Silaban selaku pemenang sayembara perancangan masjid. Silaban dekat dengan Soekarno memenangi sayembara. Di situ, masalah-masalah ingin dirampungkan tapi malah muncul masalah berkepanjangan, dimulai sejak pengumuman pemenang: 5 Juli 1955. Setiadi menerangkan: “Sejak awal, Silaban merasakan bahwa imbalan bagi pemenang sayembara perancangan Masjid Istiqlal – yang otomatis merupakan honorarium arsitek – sangatlah tidak memadai dibandingkan dengan skala proyek yang ditangani.” Soekarno lekas memberi jawab dan meredakan masalah.

Kejadian itu pantas diingat, sebelum kita mencatat peristiwa-peristiwa besar di Masjid Isitqlal atau komentar-komentar bergelimang pujian. Masalah-masalah dalam bentuk berbeda atau sama juga dialami oleh pemerintah-pemerintah di pelbagai kabupaten dan kota mengimpikan memiliki masjid agung (baru) atau masjid besar. Di Klaten, masjid megah dibangun dengan penamaan sama di Palestina. Masalah muncul mengacu menara. Sekian masalah pun sempat menjadi perbincangan publik tapi perlahan diusahakan menggerakkan cerita-cerita indah.

Pada masa terindah, masjid itu digunakan untuk acara akbar, tak lupa bisa terpahamkan dalam nalar pelesiran. Di Solo, polemik mendirikan masjid besar dinamakan penguasa kerajaan masa lalu pun belum selesai. Masalah-masalah masih ada tapi masjid belum rampung. Kini, pengisahan masjid dilanjutkan oleh Gibran. Dulu, babak-babak awal mendirikan Masjid Istiqlal lebih pelik, melintasi tahun-tahun panjang. Pelik itu mungkin tak dipelajari bagi pihak-pihak (bersaing) membangun masjid besar dan megah di pelbagai kota dan kabupaten.

Baca juga:  Hakikat Masjidil Aqsha

Masjid bersejarah itu memerlukan puluhan tahun untuk berdiri tegak. Kita simak keterangan Setiadi: “Pada 24 Agustus 1961, tiang pancang pertama ditanam sebagai tanda dimulainya proyek monumental ini. Tidak jauh dari sana, tepat seminggu sebelumnya, 17 Agustus 1961, proyek pembangunan Tugu Nasional juga diawali dengan pemancangan simbolis.”

Kita diingatkan dua bangunan dalam babak sama tapi nasib akhir berbeda. Pada 1965, masjid belum selesai, masih saja ada masalah. Dulu, Soekarno sudah mengabarkan bahwa masjid “akan tahan usia seribu tahun, kalau tidak dua ribu tahun, kalau tidak tiga ribu tahun.” Kerja belum selesai. Soekarno memang memberi impian termuluk: “Marilah kita membuat mesdjid jami jang benar-benar tahan tjakaran masa, seribu tahun, dua ribu tahun, dan untuk itu kita harus membuatnja dari besi, dari beton, pintunja dari perunggu, dari batu pualam dan lain-lain sebagainja.” Episode panjang dalam pemenuhan janji.

Soekarno pada masa akhir kekuasaan tak lagi memiliki instruksi berpengaruh dalam merampungkan pekerjaan mendirikan masjid. Ia dihajar politik sebelum menuntaskan janji. Catatan-catatan terlacak dalam buku: 24 September 1967, azan magrib pertama di Masjid Istiqlal. Pada 29 September 1967, masjid belum rampung itu digunakan untuk salat Jumat. Soeharto mengunjungi Masjid Istiqlal pada 5 Juni 1969. Kita mulai mengerti masjid berurusan dengan babak-babak politik, selain dana dan kebutuhan umat untuk beribadah. Masa-masa itu berlalu. Sekian orang mengingat dan mencatat. Sekian orang memilih cerita-cerita baru Masjid Istiqlal tanpa keinginan mengetahui kepelikan masa lalu.

Baca juga:  Masjid dan Risalahnya

Pada 22 Februari 2021, terselenggara Milad ke-43 Masjid Istiqlal. Kita simak pemberitaan di Kompas, 23 Februari 2021: “Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga berharap Masjid Istiqlal sebagai masjid negara bisa memberikan kontribusi dengan memberikan contoh bagi masjid-masjid lain di Nusantara, terutama dalam menebarkan kesejukan dan kedamaian kepada masyarakat.” Berita itu bukan ajakan mengingat dan membuka sejarah. Peringatan condong dalam pemaknaan mutakhir, belum memerlukan ingatan rumit sejak masa kekuasaan Soekarno.

Kita lanjutkan membaca berita di Republika, 24 Februari 2021: “Masjid Isitqlal merupakan kebanggan umat Islam Indonesia. sejak 1978, masjid ini telah berdiri kokok dan menjadi simbol peradaban Islam di Tanah Air.” Kita belum perlu mengetahui titik mula dan argumentasi penentuan tanggal untuk milad Masjid Istiqlal. Berita itu menjelaskan usia (22 Februari 1978-22 Februari 2021).

Sejarah belum tentu menjadi percakapan bersama dengan membuka halaman-halaman telah lama tak terbaca. Kini, masjid itu dikabarkan makin baik. Simak: “Perubahan juga terjadi pada tata pencahayaan, tata suara, pekarangan yang lebih luas, serta perluasan di bagian barat masjid. Kemudian, lanjut KH Nasarudin Umar, sungai yang berada di dekat Isitqlal diperdalam dan sekarang masjid dikelilingin oleh sungai yang sudah dipercantik.” Kebijakan mutakhir jangan dilupa adalah menjadikan Masjid Isitqlal sebagai tempat wisata religi. Kita selesai membaca dua berita tanpa menemukan ada nama Soekarno dan Soeharto. Nama Silaban pun absen. Begitu.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top