Setelah Ramadan, siswa sekolah masih libur panjang. Hari libur ditentukan sekolah usai menerima rapor. Perolehan nilai numerik beserta deskripsi singkat di sana menjelaskan orientasi baru yang mesti direfleksikan selama liburan. Orangtua berperan signifikan terhadap anaknya untuk memaksimalkan liburan bukan sekadar mengisi waktu kosong, melainkan juga menyusun strategi khusus guna memaknai waktu senggang sebelum masuk sekolah.
Guru membaca peluang waktu liburan dengan memberi tugas bebasis praktik. Tugas itu lazim diberikan dalam rangka kontinuitas proses pembelajaran di luar kelas. Masing-masing mata pelajaran memberi pusparagam pekerjaan rumah. Tak terkecuali pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, sebagaimana kerap diasosiasikan memberi tugas menulis bertemakan Berlibur ke Rumah Nenek.
Tema klasik itu dikenal masyarakat luas, bahkan mentradisi di benak generasi milenial kelahiran 90-an. Penentuan tema tersebut diputuskan dan digeneralisasikan sebagai tugas individu karena diasumsikan peserta didik akan melakukan vakansi jauh di luar rumah. Terlepas dari simplifikasi tema yang tak mengindahkan segi sosio-kultural peserta didik, tugas menulis bergenre teks narasi itu penting dilakukan kembali, setidaknya melalui modifikasi tren kekinian.
Tugas menulis menguatkan kecakapan literasi siswa. Literasi secara ontologis mencakup dimensi membaca dan menulis. Definisi ini kemudian diperluas sesuai pendekatan saintifik yang tak hanya membaca dan menulis, tetapi juga menyimak dan berbicara.
Kesemuanya itu sebetulnya termaktub eksplisit dalam konsep keterampilan berbahasa. Menyimak dan membaca termasuk kategori keterampilan reseptif, sedangkan berbicara dan menulis digolongkan kompetensi produktif.
Kurikulum 2013 (Kurtilas) tak menyatakan langsung keterampilan menyimak dan berbicara. Hal ini jelas berbeda dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebelumnya yang masih memosisikan empat keterampilan berbahasa sebagai elemen tersurat. Meskipun demikian, Kurtilas, melalui paparan perumus kurikulum di tingkat pusat, khususnya pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, dua keterampilan yang tak dimunculkan itu telah terintegrasi dalam kecakapan lain seperti membaca dan menulis.
Posisi membaca dan menulis dalam Kurtilas inilah yang melahirkan konsep baru dan relatif asing di telinga khalayak akademik di Indonesia. Konsep itu dimungkinkan karena hendak memperbaiki kondisi literasi pelajar Indonesia yang sedemikian mencemaskan di tingkat internasional. Khususnya atas hasil The Programme for International Student Assessment (PISA) untuk peringkat membaca siswa Indonesia.
Survei internasional itu dilakukan pada 2015 tapi baru dirilis akhir 2016. Menempati rangking 64 dari 70 negara untuk kategori keterampilan membaca membuat banyak kalangan ketar-ketir. Ranah pendidikan nasional sontak merekonstruksi paradigma pembelajaran bahasa. Yang semula diasosiasikan sebatas hafalan dan teoretis, pelajaran bahasa kini diniscayakan menyasar keterampilan praksis.
Strategi Literasi
Titimangsa pengembangan literasi peserta didik di zaman Revolusi Industri 4.0. mesti dikonstruksi kreatif. Bila sedekade lampau dipersempit tematik dan media kepenulisan hanya sebatas Berlibur ke Rumah Nenek yang ditulis tangan, di era disrupsi ini guru dapat menggunakan sejumlah media daring serta membebaskan pemilihan tema menulis. Tugas rumah dalam rangka mempertajam kemampuan literasi demikian difungsikan agar peserta didik mampu melejitkan kreativitas menulisnya.
Memanfaatkan media daring sebagai wahana menuangkan gagasan tertulis berarti turut mewacanakan praktik literasi media. Pembelajaran berbasis tugas rumah semacam ini bukti dari ungkapan arkais setali tiga uang.
Begitu pula dengan pembebasan pemilihan tema menulis yang menjadi bukti betapa keterampilan berbahasa itu sarat dimensi seni-estetik. Tema bisa dibakukan dan bersifat opsional tapi membebaskan siswa dalam memilih serupa menjunjung tinggi demokrasi di dalam kelas.
Tugas menulis siswa menyiratkan segi aksiologi dalam tiga hal. Pertama, menulis berarti menata konsep abstrak yang bersemayam di pikiran menjadi bentuk huruf, kata, frasa, hingga wacana yang terstuktur sehingga bermanfaat bagi konstruksi berpikir siswa. Kedua, menulis berarti merefleksikan pengetahuan yang didapatkan, baik melalui pengalaman empiris, percakapan dialogis, maupun pembacaan teks. Ketiga, menulis menandaskan arti berbagi pengalaman kepada khalayak umum yang abadi meski waktu telah lewat.
Menulis jelas berpaut erat dengan membaca. Posisi inheren ini bersifat absolut sehingga selain ditugaskan untuk menulis, peserta didik juga seyogianya diberi bacaan manasuka—teks fiksi dan nonfiksi dipakai secara setara dan kontekstual. Hal terpenting dari penugasan membaca tersebut adalah pertimbangan matang apakah bacaan yang diberikan mengandung esensi edukatif yang kehendaki atau sekadar pendamping ringan selama proses menulis.
Butir pertama menguatkan titik pijak keterdirikan siswa yang disemai melalui bacaan edukatif. Guru, karenanya, harus cerdas membaca peluang bacaan mana yang diminati siswa dan mengandung substansi nilai guna mempertajam sensibilitas afeksi, kognisi, dan psikomotor. Ketiga dimensi ini penting dijadikan preferensi agar pemilihan bacaan untuk peserta didik tak dilakukan serampangan. Selanjutnya tergantung pada dialektika antara guru dan siswa. Keberhasilan pendidikan literasi berada di pundak keduanya.