Sedang Membaca
Ekoteologi dan Keadaan Bumi Kita
Nanang Qosim
Penulis Kolom

Kolumnis dan peneliti, pengurus Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang

Ekoteologi dan Keadaan Bumi Kita

Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, sungai terakhir telah mengering, manusia baru sadar bahwa uang tak bisa dimakan.– Suku Indian

Ungkapan di atas menggambarkan betapa manusia jauh dari kesadaran tentang pentingnya kelestarian alam. Kerusakan dan murka alam–banjir, longsor, kekeringan serta ancaman efek pemanasan global (global warming)–adalah bukti nyata tentang ketidak-harmonisan hubungan antara manusia dan lingkungannya/alam.

Seyyed Hossein Nasr, Professor Islamic studies dari Iran mengurai bahwa bumi kita sedang berdarah-darah oleh luka-luka yang dideritanya akibat ulah manusia yang tidak ramah pada lingkungan. Pandangan sekuler beserta ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang tercerabut dari akar spiritualitas dan agama menjadikan bumi kita kian kritis dan hampir mencapai titik kehancuran. Maka itu, nilai-nilai agama harus dibangun untuk merawat keseimbangan alam dari situasi yang sudah chaos (Seyyed Hossein Nasr, 1996:29).

Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup juga pernah mengatakan bahwa akibat revolusi industri kurang lebih selama 200 tahun, negara-negara di dunia membangun dengan cara merusak bumi. Sebab, energi yang digunakan untuk membangun adalah minyak bumi dan batubara yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) dengan kosentrasi kepadatannya naik dari 280 parts per million (ppm) menjadi 380 ppm. Kepadatan GRK ini merupakan selimut yang membungkus bumi. Semakin tebal selimut, semakin panas suhu bumi.

Akibat tingginya konsentrasi GRK berdampak pada perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut sehingga akan menenggelamkan pulau-pulau kecil di dunia. Contoh nyata: negara Nepal dan Maldives. Maldives terancam akan tenggelam kalau tidak ada komitmen negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi yang dikeluarkan. Nepal menderita akibat melelehnya gumpalan salju mount Everest apabila pelepasan GRK tidak dikendalikan secara global. (Emil Salim dalam Jendela, 2009). Ini-lah salah satu bentuk murka alam pada manusia akibat perbuatannya yang tidak ramah dan eksploitatif atas alam.

Baca juga:  Palestina Sebagai Laila

Manusia yang secara langsung berinteraksi dengan alam mempunyai andil besar dan paling bertanggung jawab terhadap eksistensi dan kelestarian lingkungan di bumi. Dan kini, sungguh sudah sangat kritis kondisi lingkungan kita. Karena itu, sebagai manusia yang langsung berinteraksi dengan alam, kita harus mempunyai rasa tanggung jawab moral yang tinggi untuk melestarikan dan menjaga kualitas lingkungan kita.

Teologi Lingkungan
Agama adalah jawaban untuk membuka kesadaran para pemeluknya tentang pentingnya menjaga lingkungan. Antara lain, lewat mekanisme pembacaan teks agama (tafsir) yang prolingkungan. Sebab, agama diasumsikan bisa memperkuat kesadaran masyarakat, khususnya tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Fakta, manusia adalah poros dan pangkal dari seluruh kerusakan lingkungan. Dan itu terjadi karena pola perilaku manusia sendiri yang belum peka apalagi peduli pada lingkungan. Karena itu, mengatasi masalah lingkungan bukan serta merta hanya membuat regulasi dan memberikan sanksi, tapi juga pembangunan karakter dan mental yang berujung pada moralitas sebagai dasar untuk memandang alam sebagai bagian integral dari manusia.

Tak berlebihan jika Sony Keraf mengatakan, “Masalah lingkungan adalah masalah moral dan perilaku manusia.‘ Menurutnya, lingkungan hidup bukan semata-mata masalah tekhnis,. Demikian pula krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral. Maka, perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. (A Sonny Keraf, 2010)

Baca juga:  Tafsir Ulama Mesir Tentang Islam Kaffah, dari Sayid Quthub hingga Syekh Mutawwali Sya’rawi

Bicara soal moral berarrti berbicara agama, karena agama adalah salah satu embrio munculnya etika moral dalam berinteraksi dengan sesama makhluk hidup, baik dengan sesama manusia, hewan, tumbuhan bahkan dengan Tuhan. Berangkat dari ini, maka muncullah keinginan untuk memformulasikan konsep ekoteologi sebagai salah satu tools penyadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan.

Ekoteologi mengandung prinsip-prinsip yang universal untuk kepentingan umat manusia bersama dalam menjaga dan merawat bumi yang menjadi tempat manusia berada. Dalam ekoteologi terdapat dimensi spiritual, keimanan, pandangan dunia (world view), etika, moralitas dan agama. Sehingga, gabungan dari semua itu dapat men-drive pemahaman manusia yang lebih menyeluruh tentang bagaimana seharusnya ia menempatkan posisi di alam semesta terkait interaksinya dengan mahkluk yang lain.

Ekoteologi adalah salah satu sarana atau tool untuk memepertahankan keberlanjutan peradaban manusia di bumi, tapi juga sebagai semacam “obat‘ untuk menyembuhkan krisis ekologi akibat struktur nilai dari manusia sebagai pelaku utama ekosistem dunia. (Teologia, 2011)

Dalam konsepsi Islam, manusia telah dipilih menjadi khalifah fil ardz–sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an (Al Baqarah, 30). Karena itu, manusia memiliki kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya yang telah disediakan. Namun, manusia tidak boleh melakukan pemanfaatan secara sewenang-wenang dan berlebihan.

Baca juga:  Refleksi Milad Ke-112 Muhammadiyah: Pancasila dan Islam Versi Muhammadiyah

Maka itu, dalam Islam posisi manusia bukan hanya sebagai khalifah yang bersifat aktif, tetapi juga bermandat ‘abdullah (baca: hamba Allah) yang bersifat pasif. Ini dimaksudkan agar tanggung jawab manusia terhadap alam juga harus dijalankan. Artinya, tetap menjaga dan melestarikan alam sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.

Makna Khalifatullah fil ard bukan dalam arti penguasa (dominion over) di bumi karena makna ini cenderung menempatkan manusia sebagai makhluk yang lebih superior dibanding alam atau lingkungan.

Dalam terminologi Mohammad Ammara, khalifatullah fil ard tidak diartikan sebagai suatu deification of man and incarnation of God yang menjadikan manusia sebagai tuan alam semesta, bukan wakil Tuhan di alam semesta. (Mohammad Ammara, 2009). Konsep khalifah menemukan fungsinya sebagai usaha yang kontinyu melakukan konservasi terhadap lingkungan.

Jadi, jelaskan bahwa usaha menjaga peradaban manusia dan keberlangsungan bumi adalah kewajiban kita semua sebagai bagian integral dari struktur kosmos di alam raya. Strategi untuk membangun teologi ramah lingkungan adalah salah satu usaha sebagai khalifah fil ardz untuk melestarikan keberlanjutan bumi dari kerusakan lingkungan demi masa depan bumi yang lebih baik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top