Gus Ghofur dan Gus Wafi, dua kakak-adik putra almaghfurlah kiai Maimun Zubair itu, meski sama-sama doyan ilmu dan mujahadah, memiliki kecenderungan dan hobi yang berbeda.
Gus Ghofur memiliki kecenderungan intelektual dan telaah kitab. Hobinya baca buku. Sedangkan Gus Wafi mempunyai kecenderungan iktisyaful bawatin, usaha penyingkapan hal-hal batiniah. Hobinya wiridan dan ziarah kubur.
Waktu sama-sama kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo, mereka tinggal di rumah yang sama. Di luar kegiatan perkuliahannya, Gus Ghofur kalau tidak sedang duduk di meja baca, ya sedang jalan-jalan ke maktabah, toko buku/perpustakaan. Sedangkan Gus Wafi, kalau tidak sedang wiridan di kamar, ya sedang ziarah kubur di makam Imam Syafi’i yang berada di dalam masjid Imam Syafi’i di Kairo.
Gus Mus, yang masih merupakan kakek mereka berdua, pada satu kesempatan, tilik ke Kairo. Girang hati Gus Ghofur dan Gus Wafi hendak disambangi sang kakek. Mereka berdua menyambut kedatangan Gus Mus. Mengantarkan ke tempat-tempat yang diinginkan. Menemani pada seluruh kegiatan.
Saat tiba waktunya Gus Mus pulang, Gus Ghofur dan Gus Wafi menunggui di depan kamar hotel tempat Gus Mus menginap.
Lalu Gus Mus keluar kamar dan berkata, “Saya pulang dulu, ya, Cung.”
“Njih, iya, Mbah,” sahut Gus Ghofur Dan Gus Wafi serentak.
Lalu, seperti biasanya, Gus Mus mengeluarkan uang dari sakunya untuk diberikan kepada kedua cucunya. “Nih, tak kasih sangu,” kata beliau pada keduanya.
Gus Ghofur dan Gus Wafi menerima uang saku dari Gus Mus dengan riang gembira, sedikit menghapus rasa sedih hendak ditinggal pulang oleh kakek mereka.
Tapi tiba-tiba raut muka Gus Wafi berubah. “Lhoh! Kak Ghofur dikasih saku dua ratus dollar, saya kok cuma sepuluh pounds?” protesnya. Sepuluh pounds Mesir setara kira-kira dua dollar.
Gus Mus, dengan menahan geli, menjawab, “Dua ratus dollar itu kalau dibuat beli buku, kurang-kurang. Sepuluh pounds itu kalau dibuat beli tasbih, lebih-lebih.”
Artikel ini pertama kali dimuat di Fikih.ID