Istilah orientalis begitu melekat dengan kajian-kajian hukum islam dan hadis Nabi. Di mana berkembang pesatnya pemikiran orientalis yang mengkaji Hadis serta Hukum Islam, di antara orientalis yang terkenal yaitu Joseph Schacht.
Joseph Schacht merupakan seorang sarjana yang dikenal dalam bidang hukum Islam atau Islamic law. Kariernya dalam dunia akademik sangatlah cemerlang. Di umur 27 tahun ia sudah meraih gelar doktor. Tak hanya berhenti di sana, ia pun melanjutkan studinya setelah itu di Unversitas Oxford. Menandakan antusiasnya ia dalam mendalami pengetahuan.
Teori yang dikemukakan Schacht dalam penilitiannya yaitu teori “Projecting Back,” yang berimplikasi kepada palsunya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam.
Tentunya hal ini sangat berpengaruh di Barat. Kepercayaan seseorang terhadap hadis menjadi berkurang, bahkan tidak percaya sama sekali. Ia berpendapat bahwa hukum Islam muncul pasca Asy-Sya’bi (19-110 H) yang berarti sama saja bahwa hadis yang ada sebelum Asy-Sya’bi adalah buatan dan hasil rekayasa ulama abad kedua dan ketiga hijriyah.
Sebagaimana ia katakan sendiri dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence: “We shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic.”
Joseph Schacht sebenarnya mengikuti jejak orientalis sebelumnya, Ignaz Goldziher, yang mana kritiknya terhadap hadis bersifat meruntuhkan, namun tidak lebih mematikan dari Schacht yang mana ia dengan berani menyimpulkan bulat mengenai kepalsuan hadis-hadis tentang hukum Islam. Karya beliau terhitung banyak, namun yang paling fenomenal adalah The Origins of Muhammadan Jurisprudence & an Intruductions to Islamic Law.
Pasca-munculnya teori yang dikemukakan oleh mereka, para orientalis, muncullah buku-buku yang membantah teori-teori tersebut, di antaranya ditulis oleh pakar hadis asal India, Prof. M. M Azami dalam On The Origins of Muhammad Jurisprudence, yang isinya adalah komentar yang meruntuhkan balik teori-teori yang digagas oleh Schacht.
Ada hal menarik yang didapatkan dari penelitian Schacht terhadap hadis. Yaitu ia meneliti hadis Nabi dengan tiga kitab yang dikrang oleh ulama besar kita. Yaitu Ar-Risalah dan Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i RA dan kitab Al-Muwattha` karya Imam Malik RA.
Memang jika dilihat sekilas, keduanya adalah kitab hadis, namun Prof. Azami mengatakan bahwa ketiganya adalah kitab yang lebih lekat corak fikihnya. Artinya seseorang yang ingin meneliti hadis, tidak tepat menggunakan tiga kitab di atas, karena kitab-kitab yang hadis tersebut lebih condong kepada kitab fikih. Adapun kitab-kitab hadis yang murni hadis saja muncul diawali dengan kitab Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari.
Jika kita renungkan, sebagai pelajar Muslim, bermazhab Syafi’i maupun Maliki, sudahkan kita membaca literatur yang ditulis oleh Imam Mazhab dan ulama-ulama kita terdahulu?
Selama ini, terkhusus di Pondok Pesantren kita tentunya lebih banyak mengonsumsi kitab-kitab para ulama yang lahir paska mereka. Salah satu sebabnya, sebagian para kiai melarang santrinya untuk membaca kitab tersebut karena beberapa alasan.
Tentunya kita iri, jika melihat para orientalis yang sudah mengkhatamkan kitab-kitab ulama terdahulu dan menganalisisnya, sedangkan kita lagi-lagi hanya menikmati apa yang mereka sajikan saja.
Teguran menjadi kaca perbandingan bagi kita, tentunya sebagai pelajar, mari kita sentuh dan bedah kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terdahulu, yang telah berjuang merumuskan hukum-hukum, maupun selainnya, sehingga sebagai penganut mazhab, kita pernah berkenalan dengan kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Mazhab kita.
Disadur dari buku Kyai Ali Mustafa Yaqub yang berjudul “Kritik Hadis”