Sedang Membaca
Sabilus Salikin (118): Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (1)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (118): Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (1)

(sambungan) Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Al-Syadzili segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20, dan lihat juga Hayat Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 18-19).

Sebelum al-Syadzili melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, al-Syadzili berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya al-Syadzili lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini al-Syadzili lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kemuliaan dan keagungan di sisi Rabb al-‘alamin, di samping juga sebagai seorang calon guru al-Syadzili.

Begitu setelah selesai mandi, al-Syadzili merasakan betapa seluruh ilmu dan amalnya seakan luruh berguguran. Seketika itu pula al-Syadzili merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal.

Kemudian, setelah itu al-Syadzili lalu berwudhu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawaddhu’ dan rendah diri, al-Syadzili mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 20. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, 14).

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami.

Baca juga:  Fikih Kuliner: Aisyul Bahri, Kitab Ulama Batang yang Hilang

Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat keshalihan dan ketakwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati al-Syadzili seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”.

Al-Syadzili, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa‘alaikum salam warakhmatullahi wabarakatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan al-Syadzili, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab al-Syadzili disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rasulullah Saw. Mendengar itu semua, al-Syadzili menyimaknya dengan penuh rasa takjub, (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 19).

Belum sampai al-Syadzili mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya ‘Ali, Engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka Engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat”, (Thabaqat al-Auliya’, halaman: 458. Lihat juga Qadiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 20. Lihat juga Hayat Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 19).

Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah ia kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar al-Syaikh al-Quthub al-Ghauts Sayyid Abu Muhammad ‘Abd. al-Salam bin Masyisy al-Hasani Ra. (w. 625 H./1228M.), orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah Swt. yang telah mempertemukan kita pada hari ini.”

Baca juga:  Sabilus Salikin (82): Tata Cara Halaqah Zikir Rifa'iyah (1)

Berkata lagi Syaikh ‘Abd al-Salam, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum Engkau datang ke sini, Rasulullah Saw. telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada Engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.

Selanjutnya, al-Syadzili tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. al-Syadzili banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat keTuhanan dari Syaikh ‘Abd al-Salam, yang selama ini belum pernah al-Syadzili dapatkan.

Setelah cukup lama al-Syadzili tinggal bersama al-Syaikh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syaikh ‘Abd al-Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercintanya tentang hari-hari yang akan dilalui oleh al-Syadzili dengan mengatakan,

“Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini Engkau untuk beriqamah (melaksanakan). Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama Syadzilah. Untuk beberapa waktu tinggallah Engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, disana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi Engkau dengan sebuah nama yang indah, al-Syadzili.”

“Setelah itu,” lanjut al-Syaikh, “Kemudian Engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Disana Engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, Engkau akan pindah ke arah timur. Disana pulalah kelak Engkau akan menerima warisan al-Quthubah dan menjadikan Engkau seorang Quthub.”

Baca juga:  Sabilus Salikin (137): Dalil Ruangan Tertutup Saat "Tawajjuh" Naqsyabandiyah

Pada waktu akan berpisah, al-Syadzili mengajukan satu permohonan kepada al-Syaikh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku”, (al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 197. Lihat juga Qadhiyyah al-Tashawwuf, al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 25. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 15).

Al-Syaikh pun kemudian berkata, “Wahai ‘Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu dari menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”

Lanjut al-Syaikh lagi, “Jangan Engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah wara‘mu.” “Dan berdo‘alah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah aku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikan-Mu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa” (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 25. Lihat juga al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 15).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top