Sedang Membaca
Membaca Kembali Sejarah Islam di Spanyol
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Membaca Kembali Sejarah Islam di Spanyol

Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan kaum Muslim atas Spanyol dan Sisilia. Awal pengaruh militer kaum Muslim bisa dicatat terjadi pada Juli 710 M, ketika sekelompok tentara muslim, berjumlah sekira 400 personel, menyeberang dari Afrika Utara ke ujung paling selatan Spanyol.

Pasukan ini sebenarnya tidak lebih dari sebuah kekuatan kepetangan. Meskipun demikian, laporan-laporan yang dibawa pulang pasukan itu menimbulkan minat, dan baru pada tahun berikutnya (711), dilakukan usaha penyerangan yang sungguh-sungguh dan berhasil.

Pasukan penyerang berjumlah sekira 700 orang, dan segera setelah itu diperkuat lebih dari 500 prajurit. Namun pasukan itu begitu efektif, sehingga pada Juli 711 berhasil menurunkan raja orang-orang Visigoth, Roderick, dan kemudian mengancaikan pusat pemerintahan kerajaannya. Maka, pascaperistiwa ini, tidak ada lagi perlawanan terhadap kaum Muslim, kecuali pada tingkat lokal.

Menjelang 715, kaum Muslim berhasil menduduki kota-kota penting di Spanyol, atau (dalam beberapa kasus) berhasil memaksakan penandatanganan perjanjian bilateral dengan para penguasa lokal.

Di antara wilayah-wilayah yang diduduki itu adalah Narbonne di selatan Prancis, karena wilayah ini dan wilayah-wilayah lain di sekitarnya telah menjadi bagian kerajaan Visigoth.

Spanyol lantas dijadikan satu provinsi dari Imperium Arab, dengan seorang gubernur yang biasanya tidak bertanggung jawab secara langsung kepada khalifah di Damaskus, melainkan kepada kepada Gubernur Afrika Utara yang berpusat di Cairouan, Tunisia. Wilayah-wilayah yang telah tunduk di bawah pemerintahan orang-orang Arab itu hampir semuanya berada dalam keadaan guyub. Bentrokan sesekali terjadi justru antara pelbagai faksi dalam Islam sendiri, yang memang beragam.

Baca juga:  Kunci Sukses Perekonomian Dinasti Abbasiyah

Titimangsa 750, kontrol atas imperium Islam beralih dari Dinasti Umaiyyah yang beribu kota di Damaskus kepada Dinasti Abbasiyyah yang memindahkan ibu kotanya ke sebelah timur, ke kota baru mereka, Baghdad. Karena kekuasaan mereka berpusat di belahan timur Imperium Islam, mereka mengalami kepelikan dalam memperoleh pengukuhan di provinsi-provinsi sebelah barat.

Lama sebelum wakil-wakil mereka sampai di Maroko, seorang pangeran muda Dinasti Umayyah yang membalam ke sana tatkala keluarganya dibunuh, diundang ke Spanyol oleh salah satu dari dua faksi yang tengah bentrok. Dipimpin pangeran muda ini, faksi itu berhasil menggapai kemenangan, dan tahun 756, sebagai Khalifah ‘Abd al-Rahman I. Ia menjadi pemimpin Dinasti Umayyah pertama di Cordova.

Spanyol Islam, dengan demikian, tidak lagi merupakan satu provinsi dari Imperium Islam yang besar. Wilayah tersebut selanjutnya menjadi sebuah negara yang merdeka, namun masih tetap menjalin hubungan-hubungan ekonomis dan kultural dengan dunia Islam lainnya.

Khalifah-khalifah Dinasti Umayyah secara perlahan berhasil menciptakan suatu tingkat kesatuan antara unsur-unsur yang puspawarna dalam wilayah itu, dan menjadikan sebagian besarnya bertekuk lutut di bawah kontrol pemerintah pusat.

Akan tetapi, Norbonne melepaskan diri dari kontrol itu tidak lama setelah 750, dan Barcelona menyusul pada 801. Oleh karena itu, yurisdiksi Dinasti Umayyah pun tidak meluas ke wilayah yang nun jauh di Spanyol Utara. Batas-batas efektif kekuasaan muslim ditandai di tiga basis di Saragossa, Toledo, dan Merida. Ekspedisi-ekspedisi musim panas kerap dilangsungkan dari sini, sekadar untuk “menunjukkan bendera” di wilayah-wilayah lebih ke utara yang memang masih disengketakan.

Baca juga:  Sejarah Aliansi Saudi-Wahhabi (Bagian I): Pembantaian Karbala

Spanyol Islam biasanya dianggap mencapai puncak kekuasaan dan kemakmurannya pada masa kekhalifahan ‘Abd al-Rahman III (912-961). Pada dua puluh tahun pertama kekuasaannya, ia harus mengatasi pelbagai gaham atas kesatuan wilayahnya, dan menjelang kematiannya telah membangun kekuasaan di hampir seluruh wilayah semenanjung Iberia, bahkan kedaulatannya telah diakui oleh negara-negara Kristen kecil yang masih ada.

Kemakmuran terus berlangsung di bawah kekuasaan anak dan kemudian cucunya, tapi yang terakhir ini telah membiarkan kekuasaan berpindah dari tangannya ke tangan seorang pejabat kerajaannya yang biasa dikenal sebagai al-Mansur (Almanzor). Ketika anak al-Mansur wafat pada 1008, tak seorang pun yang mampu tampil mempertahankan kesatuan Spanyol Islam, sehingga Dinasti Umayyah mengalami disintegrasi.

Sampai 1031, telah ada sekira tiga puluh penguasa lokal yang merdeka. Sejak itu, dimulailah periode kekuasaan “raja-raja kecil” (reyes de taifas). Kendati dilanda persoalan politik, suatu tingkat kemakmuran tetap berhasil dipertahankan, dan kesenian serta literatur semakin berkembang akibat adanya persaingan antara para penguasa. Namun, pertentangan antara kaum Muslim ini telah menguntungkan orang-orang Kristen, sehingga pada 1085, benteng Toledo yang penting itu jatuh ke tangan mereka.

Beberapa pemimpin kaum Muslim yang berpengaruh menyadari ancaman biut ini dari orang-orang Kristen. Itulah sebabnya, mereka kemudian meminta bantuan Dinasti al-Murabitun (Latin: Almoravids), penguasa kerajaan Berber yang besar di Afrika wilayah barat laut.

Dinasti al-Murabitun dapat mengalahkan angkatan perang Kristen dan menguasai Spanyol Islam pada sekitar 1090 hingga 1145. Kemudian mereka digantikan, baik di Afrika maupun Spanyol, oleh dinasti Berber yang bahkan lebih derana, al-Muwahhidun (Latin: Almohad), yang dapat dipandang memerintah Spanyol Islam sampai 1223.

Baca juga:  Gus Yahya dan Manifesto Kebudayaan NU

Setelah itu, Dinasti al-Muwahhidun tertungkus lumus dalam intrik-intrik dinasti, dan akhirnya menarik diri dari Spanyol, sehingga kerajaan-kerajaan Kristen mampu mencapai kemajuan yang pesat di sana. Keberhasilan mereka yang utama adalah merebut Cordova pada 1236, dan Sevilla pada 1248. Sejak masa itu, keadaan menjadi damai selama dua puluh tahun, dan kerajaan Islam yang tersisa ialah kerajaan kecil Granada, yang dikuasai Dinasti Nasridiyya.

Granada telah mencapai tingkat tinggi dalam kesusastraan Arab. Kendati kerajaan ini tidak menghasilkan karya terkemuka dalam bidang pestaka, ia telah mewariskan salah satu monumen arsitektur besar Spanyol Islam, Alhambra. Kerajaan itu bahkan mampu mempertahankan kemerdekaannya, hingga dimasukkan ke dalam gabungan kerajaan Aragon dan Castile pada 1492.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top