Sedang Membaca
Tradisi Unik Ramadan dan Lebaran di Kaluppini
Wahyu Chandra
Penulis Kolom

Alumni Pascasarjana S2 Antropologi Unhas, Makassar, Sulawesi Selatan. Sekarang bekerja sebagai Jurnalis di Mongabay Indonesia.

Tradisi Unik Ramadan dan Lebaran di Kaluppini

Kalupping 1

Kaluppini adalah salah satu komunitas adat yang terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Komunitas ini dikenal karena masih teguh mempertahankan beragam tradisi leluhur, baik tradisi Islam ataupun pra-Islam.

Boleh dikata, hampir tiap minggu ada saja ritual yang dilaksanakan. Baik itu terkait dengan ritual adat ataupun keagamaan. Meskipun terkadang antara keduanya adalah hal yang tak terpisahkan.

Puasa Ramadan dan Idul Fitri termasuk tradisi Islam yang dilaksanakan dengan penuh kegembiraan. Beragam ritual dilakukan menjelang puasa hingga lebaran. Bagi mereka, puasa dan lebaran adalah momentum menyucikan diri dan bersilaturahim, sekaligus mendoakan keluarga yang telah meninggal.

Untuk menetapkan awal bulan puasa, mereka biasanya tidak menunggu penetapan dari pemerintah melalui Sidang Dewan Isbat Kementerian Agama. Mereka memiliki mekanisme tersendiri dalam menetapkan awal bulan puasa berdasarkan posisi bulan di langit.

Penentuan awal puasa ini dimusyawarahkan oleh pemangku adat bagian agama pada Jumat terakhir sebelum memasuki puasa pertama. Musyawarah dilakukan sebelum salat Jumat dan kemudian diumumkan setelah salat Jumat. Penentuan awal bulan puasa ini mengacu pada pergerakan bulan di langit.

Sebagai rangkaian aktivitas bulan puasa, sebagian besar masyarakat Kaluppini melaksanakan tarawih bersama sebanyak 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Tak ada ceramah yang mengantarai salat Isya dan tarawih, sebagaimana tradisi di daerah lain sekitarnya.

Pada malam ke-15 puasa terdapat tradisi unik yang disebut majjamak, yaitu menjamak salat lima waktu di satu waktu. Tradisi majjamak dilaksanakan antara salat Magrib dan Iya. Biasanya pelaksanaan majjamak ini dihadiri hampir seluruh warga sehingga butuh tempat yang luas.

Dulunya, majammak dilaksanakan di rumah adat yang disebut Sapo Saleanan, namun karena keterbatasan ruang sehingga saat ini mereka memanfaatkan aula desa yang memiliki ruangan lebih luas.

Pelaksanaan majjamak ini dimulai dengan pelaksanaan salat Zuhur dan diakhiri dengan salat Subuh. Dilakukan secara bersambung dan berturut-turut.

Tujuan majjamak ini adalah menutupi adanya salat yang ditinggalkan setahun sebelumnya baik itu disengaja atau pun tidak.

Tradisi lainnya adalah penamatan bacaan Al-Qur’an di malam 16 dan malam akhir Ramadan. Sebanyak 30 juz Al-Qur’an dibagi menjadi tiga, yang akan ditamatkan di tiga masjid, yaitu Masjid Al Mu’minun, Masjid Mu’taqin dan Masjid Datte.

Baca juga:  Pesantren di Mata Rendra

Ini berarti setiap masjid harus menamatkan 10 juz. Mulai dibaca dari awal puasa. Di Masjid Mu’taqin dibaca dari Juz 1-10, masjid Al Mu’minun dari Juz 11-20, sementara masjid di Masjid Datte dibaca Juz 21-30. Pembacaan Al-Qur’an ini dilakukan oleh siapa saja yang datang di masjid menjelang salat Isya.

Uniknya, siapa saja bisa membaca Al-Quran ini dan bisa dilanjutkan oleh orang lain. Dalam satu malam biasanya Al-Qur’an ini dibaca oleh empat orang. Tak ada batasan berapa ayat yang dibaca dalam sehari, namun di malam 16 puasa harus sudah selesai 10 Juz. Untuk penamatan seluruh bacaan dilakukan di Masjid Mu’taqin, yang merupakan masjid utama di Kaluppini. Begitu selanjutnya, di malam 17 dibaca lagi dari awal dan berakhir di malam terakhir Ramadan.

Di saat penamatan bacaan ini, dibacakan kalimat tauhid sebanyak tujuh kali, lalu dilanjutkan dengan doa bersama dan kemudian makan bersama. Takbir dibaca oleh pemangku adat Khali berpasangan dengan Imam. Pada saat penamatan bacaan ini dibacakan Surah An-Naas, beberapa ayat surah al-Baqarah dan kemudian membaca doa qatam Al-Qur’an. Untuk pembacaan doa ini terdapat aturan tak boleh dikeraskan. Semua orang akan mengikuti gerakan doa dari Khali dan Imam.

Di hari terakhir bulan puasa dilaksanakan acara takbiran. Warga mulai berkumpul di pelataran masjid sekitar jam 16.00. Mereka membawa ayam untuk disembelih. Jumlah ayam yang disembelih biasanya ratusan ekor, yang semuanya harus sudah disembelih menjelang magrib atau akhir puasa.

Untuk menetapkan 1 Syawal atau Idul Fitri, sebagaimana penentuan awal bulan puasa akan ditetapkan pada Jumat terakhir bulan puasa. Pemangku adat dan masyarakat akan berdiskusi tentang hal ini berdasarkan posisi bulan di langit, atas saran dan penjelasan dari pemangku adat yang disebut Pande Tanda.

Alasan penentuan awal bulan puasa dan pelaksanaan Idul Fitri ini bersifat teknis. Sebagai tradisi di masyarakat Kaluppini, menjelang puasa dan lebaran biasanya mereka akan melakukan ritual dengan menyiapkan makanan, yang akan dibawa ke masjid untuk didoakan dan dimakan bersama.

“Kalau menunggu sidang isbath dari pemerintah yang biasanya, yang biasanya dilakukan sehari sebelum puasa atau lebaran maka tak ada waktu bagi kami untuk menyiapkan bahan makanan tersebut. Jangan sampai makanannya sudah disiapkan dengan baik lalu tiba-tiba pemerintah menyatakan besok belum lebaran, mau dikemanakan semua makanan itu? Sehingga penentuan 1 Syawal harus sudah diketahui jauh hari sebelumnya tanpa menunggu dari pemerintah,” ujar Abdul Halim, pemangku adat yang berposisi sebagai Imam.

Baca juga:  Cerita Masjid Agung Jatisobo di Sukoharjo

Masyarakat Kaluppini juga meyakini bahwa perayaan Idul Fitri tidak bisa dilakukan di hari Jumat, karena tak boleh ada dua kutbah dalam satu hari yang sama. Keyakinan ini dipegang teguh hingga sekarang.

Menurut Abdul Halim, pernah di masa Orde Baru ada kasus yang sama, lebaran di hari Jumat. Karena berbeda dengan versi pemerintah maka hal itu dianggap sebagai pembangkangan. Pemangku adatnya pun dipanggil oleh pemerintah daerah setempat dan dipaksa berlebaran serentak dengan versi pemerintah.

Di bawah tekanan yang besar mereka pun menurutinya. Namun setelah itu terjadi banyak bencana dan masalah. Dalam setahun itu banyak warga yang meninggal. Panen juga gagal. Mereka kemudian mengaitkannya dengan perayaan Idul Fitri di hari Jumat itu. Sejak saat itu, mereka pun tak akan tunduk lagi pada keinginan penguasa menyeragamkan pelaksanaan lebaran.

Jika kebetulan lebaran versi pemerintah dilaksanakan di hari Jumat maka mereka akan memajukan di hari Kamis atau mundur di hari Sabtu. Jika kemudian harus dimundurkan ke hari Sabtu, yang berarti ada kelebihan puasa menjadi 31 hari, maka di hari Jumat mereka tak lagi berpuasa.

Lebaran Idul Fitri di komunitas ini diistilahkan dengan Pallaparan Puasa Lando. Rangkaian salat Ied dimulai dengan pelaksanaan subuh berjamaah. Selesai salat subuh dilanjutkan dengan takbiran yang secara bergilir dikumandangkan pemangku adat secara bergantian. Mereka berpakaian putih-putih dan duduk di saf terdepan, membedakan mereka dengan masyarakat biasa.

Takbir terus dikumandangkan hingga langit mulai cerah. Lampu di dalam masjid dimatikan agar cahaya fajar terlihat jelas melewati jendela yang terbuka lebar. Mendekati pukul tujuh, seorang pemangku adat berdiri menyampaikan tata cara salat secara ringkas. Tak lama kemudian imam berdiri diikuti seluruh jemaah. Salat Ied pun dimulai seiring munculnya fajar di ufuk timur.

Baca juga:  Ibadah Prepegan: Penyucian Diri Umat Islam Kabupaten Tegal dalam Menyambut Hari Raya Idulfitri

Di komunitas ini, khutbah disampaikan dalam bahasa Arab, disampaikan oleh seorang khatib yang mengenakan pakaian kebesaran putih dan tongkat. Ia membaca sebuah manuskrip yang terlihat sudah tua dan penuh tambalan. Jemaah mendengar dengan penuh hikmat. Meski suara khatib pelan namun masih bisa terdengar di kejauhan. Suasana terasa sangat hening, tak ada yang saling berbicara satu sama lain. Semuanya khusyuk dengan bacaannya masing-masing.

Kalupping 2
Salat Ied dilaksanakan di masjid Muttaqin. Di sini prosesi dimulai dengan salat Subuh dilanjutkan dengan doa dan zikir bersama. Foto tahun 2019 ( Wahyu Candra)

Setelah kutbah dibacakan yang menandakan akhir dari pelaksanaan salat Ied, seluruh pemangku duduk berjejer menghadap ke Jemaah. Satu persatu Jemaah berdatangan sambil jongkok menyalami seluruh pemangku satu-persatu. Untuk Jemaah perempuan mereka bersalaman dengan menggunakan mukena sebagai alas tangan.

Selesai salat Ied, sekitar sejam berselang, mereka melakukan ritual selanjutnya, yaitu berziarah kubur. Sebagai rangkaian ziarah kubur ini, semua warga berkumpul mengelilingi bahan ritual berupa pisang, nangka, ketupat dan songkolo (nasi ketan hitam). Doa yang dipanjatkan di saat ritual ini adalah rasa syukur diberi kehidupan hingga hari tersebut. Doa juga dipanjatkan untuk seluruh arwah keluarga yang telah mereka ziarahi kuburannya. Acara diakhiri dengan makan bersama.

Selepas ritual ziarah kubur ini dilanjutkan dengan ritual makan bersama, sebagai pernyataan syukur dan sekaligus doa untuk keluarga yang sudah meninggal. Pada acara ini dimulai dengan pemotongan hewan berupa ayam, kambing atau sapi. Untuk mereka dengan kemampuan terbatas biasanya dilakukan acara makan bersama di rumah imam. mereka menyumbang ayam, kelapa, beras, layu bakar dan lainnya. ada juga yang menyumbang uang, yang nantinya akan dibagi rata ke seluruh orang yang hadir dalam acara tersebut.

Proses penyembelihan ayam, seperti halnya pada ritual-ritual keagamaan lain dimulai dengan pemberkatan hewan kurban oleh imam dan seluruh pemangku adat yang hadir. Proses ini dilakukan di atas rumah imam, sementara penyembelihan hewan dilakukan di bagian bawah rumah oleh pemangku adat yang telah ditunjuk.

Bagi warga yang berkecukupan, biasanya mereka melakukan penyembelihan kambing atau sapi. Proses ini dilakukan secara gotong royong oleh seluruh warga, termasuk para pemangku adat biasanya turut terlibat. Khususnya pemangku adat bidang agama, seperti Khali, Imam, Sara dan Khatib, serta seluruh tomaturuna.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top