Ketika membaca beberapa karya al-Ghazali termasuk magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddin, yang berarti menghidupkan ilmu-ilmu agama, ada satu hal yang mengganjal. Ganjalan itu adalah pandangan yang sering ia lontarkan, bahwa ilmu batin (ukhrawi) lebih utama dari ilmu lahir (duniawi).
Pandangan demikian rasanya justru kontra produktif dan dapat mengkerdilkan keluasan cakrawala ilmu bagi pribadi muslim, sehingga akan melahirkan generasi yang terbelakang dan anti kemajuan. Pendapat al-Ghazali itu sekilas juga berseberangan dengan semangat cinta ilmu yang sejak awal digelorakan oleh Nabi Muhammad melalui pesan-pesan hadis dan ayat Alquran.
Akan tetapi, benarkan demikian?
Apa gerangan yang menyebabkan sosok yang diagung-agungkan karena keluasan ilmunya itu, sampai pada kesimpulan yang sempit, seperti disangkakan orang? Mengapa ada orang menyangkakan demikian terhadap al-Ghazali? Bukankah ilmu itu tanpa batas? Dan kenapa juga ilmu dibedakan antara yang batin dan yang lahir?
Mari kita melihat fakta-fakta untuk menjawab kesangsian atas pandangan al-Ghazali di atas.
Sekarang ini sulit sekali menemukan pribadi-pribadi yang memiliki integritas yang kokoh. Bukan tidak ada, tapi bisa dibilang langka. Coba kita amati, sudah berapa banyak dari pejabat di negeri ini yang harus mendekam di penjara gara-gara tersandung rasuah (korupsi)? Sudah berapa orang yang terseret kasus hukum, mulai dari tokoh, artis sampai orang awam? Mungkin sudah tidak terhitung dengan jari.
Beberapa kali, kita mendapati fakta miris di dunia pendidikan karena ada siswa yang tega menganiaya gurunya sendiri. Atau guru yang tidak sadar kalau dirinya adalah teladan bagi siswanya, lalu bertindak asusila. Ini hanya sedikit contoh akan kelangkaan integritas di tengah masyarakat kita. Hal yang sama bisa dengan mudah ditemukan di lingkungan lain.
Hilangnya integritas
Satu misal, baru-baru ini kita dipertontonkan kasus penipuan travel umroh, penggandaan uang, selain kasus korupsi yang tak juga reda. Kita pun lalu bertanya, apa yang hilang dari masyarakat kita? Integritas.
What’s integrity? Barbara Killinger dalam buku Integrity: Doing the Right Thing for the Right Reason, mendefinisikan integritas sebagai suatu pilihan pribadi yang menunjukkan komitmen tanpa mengenal kompromi, yang secara konsisten menghormati moralitas, etika, spiritualitas, nilai-nilai dan prinsip-prinsip adi luhung.
Pertanyaan selanjutnya adalah dimana letak integritas? Di kepala? Tidak. Pengertian tadi meyakinkan kita bahwa integritas itu letaknya di hati. Dari sini mulai ditemukan titik terang atas pernyataan al-Ghazali, ilmu batin lebih utama dari ilmu lahir.
Coba kita uraikan. Profesi apa pun di dunia cukup diperoleh dengan otak yang letaknya di kepala. Seorang politisi bisa memperoleh jabatan hanya bermodal kecerdasan. Hakim, polisi atau bahkan presiden, semua posisi itu juga bisa dicapai dengan mengandalkan otak saja. Tapi agar menjadi politisi, hakim, polisi, presiden yang baik, butuh ilmu batin yang letaknya di hati.
Hati atau dimensi batin manusialah yang bisa menimbang nilai baik-buruk. Dari sini, setiap manusia harus tahu mana yang baik dan yang buruk, sehingga dikenal prinsip etis. Ihwal hati inilah yang menjadi pertimbangan al-Ghazali sehingga sampai pada simpulan ilmu batin penting dikuasai dulu.
Seorang yang miskin ketika tahu ilmu sabar dan tawakal, tak mudah baginya terbujuk oleh nafsu agar mencuri, atau mengemis untuk bisa hidup, tapi ia akan selalu ikhtiar dan berdoa. Inilah integritas yang tak goyah meskipun dalam kondisi sulit. Lain lagi dengan dokter yang hanya tahu ilmu fisik, tanpa tahu bahwa tamak itu penyakit hati, sehingga baginya uang adalah segalanya. Ia bisa saja mengobati penyakit pasien hanya kalau dibayar.
Dalam Ihya al-Gahazali pun mengulas secara mendalam ihwal hati di bagian yang disebut dengan rub’u al-muhlikat (seperempat ihwal perusak) dan rub’u al-munjiyat (seperempat ihwal penyelamat). Yang pertama bernilai negatif, dan yang kedua bernilai positif. Dengan menguasainya, integritas seseorang dapat dipastikan terbangun dengan kokoh.
Nabi bersabda, “Tiga ihwal yang merusak adalah kikir yang dipelihara, nafsu yang tak dikekang, dan ujub (sombong) dengan keadaan dirinya“.
Rupanya, benar pernyataan al-Ghazali yang disangsikan sebelumnya. Ilmu batin itu selayaknya dikuasai lebih dulu daripada ilmu lahir, termasuk sains. Ketika seorang siswa telah dididik dengan kemahiran ihwal hati, ia akan mengerti akhlak, kemudian terbentuk karakter dan terbangunlah integritas yang akan ia pegang selama hidupnya.
Entah siswa itu nantinya berprofesi sebagai ilmuan, polisi, dokter, atau bahkan presiden sekalipun, ia selalu menjunjung nilai-nilai luhur yang telah diserap dalam dirinya. Itulah integritas. Dan hari ini, di Indonesia sosok berintegritas itu semakin langka.
Wallahu A’lam