Zubairi
Penulis Kolom

Pemuda asli Sumenep Madura | Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) | Sekarang menetap di Rajun Pasongsongan.

Khidmah Keummatan: Napak Tilas Perjuangan KH. Syafawi Ahmad Basyir

Kiai Basyir

Proses perintisan Pondok Pesantren Mabdaul Ma’arif, Jombang-Jember bermula dari ketika Mbah Hasani atau KH. Ahmad Basyir nama santernya (ayah Kiai Syafawi) melihat bahwa jumlah penduduk di desa Jombang kian hari semakin bertambah. Tentu saja pertambahan penduduk ini karena akibat perkawinan dan arus migrasi dari daerah lain. 

Maka dari itu, Kiai Basyir ini berfikir, bahwa bertambahnya penduduk ini, masyarakat membutuhkan pendidikan guna menempa masyarakat dalam bidang keagamaan.

Profil Kiai Basyir dan Istrinya, Nyai Hasanah

Kiai Basyir merupakan pendatang asal Jepara. Beliau dilahirkan di Desa Kedungombo, Buaran, Mayong, Jepara. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Namun berkisaran tahun 1870-an. Beliau memiliki perawakan kecil. Tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Pas, proporsional. Kesehariannya, kalau tidak memakai sarung adalah memakai celana gombrong. Sering juga memakai udeng. Orangnya tangkas, yang kalau berjalan tidak terlalu cepat.

Beliau selain dikenal mempunyai spritualitas yang mempuni, beliau juga memiliki pertabiban dan sangat telaten dengan anak-anak. Beliau sering memberi sangu dan membuatkan mainan kepada anak-anak.

Beliau akhirnya menikah dengan Nyai Hj. Hasanah (Mbah Wiji) yang berasal dari Desa Budug, Peterongan, Jombang pada abad ke XIX. Bersama istrinya dan warga lain di Jombang, beliau terlibat dalam pendirian desa baru. Hingga desa itu dinamai Desa Jombang hingga kini. Di sini pula Kiai Basyir melihat penduduk desa bertambah. Ia mendidik anak-anak kecil dan masyarakat mengaji di rumahnya. Pelajaran utamanya adalah al-quran.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (34): Mauidlatul Mukminin, Ringkasan Kitab Ihya Ulumuddin

Proses Pendirian Pondok Pesantren Mabdaul Ma’aarif Jombang

Pada akhirnya, banyak masyarakat yang memasrahkan anaknya ke Kiai Basyir agar dididik oleh beliau. Agar lokasi semakin luas dan banyak dijangkau, beliau berinisiatif mendirikan Pondok Pesantren. Pondoknya mau didirikan di musala milik Kiai Nadzir yang lokasinya berada di selatan stasiun Jombang. Lokasi ini dipertimbangkan karena dekat dengan akses transportasi. Namun, setelah diistikharahi oleh Kiai Basyir yang dibantu oleh Mbah Sholeh, akhirnya lokasi pondok dipindah ke lokasi sekarang.  Setelah Kiai Basyir dan Mbah Sholeh berkeliling ke beberapa titik lokasi di Desa Jombang, maka lokasi Ponpes Mabdaul Ma’arif saat inilah yang dipilih oleh beliau berdua.

Secara resmi, Ponpes ini berdiri tahun 14 Muharram 1351 H atau 20 Mie 1932. Ponpes ini berawal dari bangunan bambu (gubuk ghedek). Bambu ghedek ini merupakan tempat tinggal santri, dibangun tinggi dari tanah dengan tiang pendek sebagai penyangga.

Kiai Basyir menyertai pembangunan ini dengan puasa sunnah. Tentu saja harapan beliau agar langgar ini bisa melahirkan alumni (santri-santriwati) yang bermanfaat bagi masyarakat Jombang dan Indonesia secara umumnya. Tahun 1960-an, langgar gubuk ini mulai dibangun tembok permanen.

Ponpes Mabdaul Ma’arif di Zaman Kependudukan Jepang di Era Kemerdekaan

8 Maret tahun 1942, rakyat menyambut gegap gempita ketika Hindia Belanda mampu dibungkam dan menyerah atas Balabentara Jepang. Wajar, kala itu Jepang selalu mempropagandakan sebagai saudara tua. Namun kegembiraan ini tak berlangsung lama. Watak ekspansionis militeristik Jepang mulai melarang organisasi Islam, NU dan Muhammidiyah beraktivitas. Aktivitas madrasah juga mulai dibekukan. Banyak aktivitas pesantren ditutup oleh Jepang.

Baca juga:  Sabilus Salikin (61): Hizib Ghazaliyah

Banyak pesantren yang lambat laun vakum akibat Jepang. Termasuk kondisi Ponpes Mabdaul Ma’arif kala itu. Di mana para santri mulai tak lagi mendapatkan kiriman dari orang tua yang profesinya sebagai petani. Sebab hasil panen orang tua mereka (para santri) dirampas oleh Jepang. Opsi santri untuk tetap kenyang adalah mencari bekal mondok dengan bekerja ikut menjadi buruh tani di Jombang.

Kondisi Ponpes Mabdaul Maarif nyaris vakum saat era penjajahan Jepang setelah ditinggal wafat Kiai Basyir di awal kependudukan Jepang, (wafat kurang lebih tahun 1943). Sehingga Kiai Syafawi harus mengelola Ponpes Mabdaul Ma’arif dengan penuh keterbatasan.

Pada akhirnya banyak santri yang pulang kampung. Ada sebagian yang bertahan dengan segala aktivitas keterbatasan dan aturan militer Jepang yang amat keras. Ngaji tak lagi leluasa. Yakni ngaji dengan cara ngobrol santay. Tempatnya pun berpindah-pindah, menyesuaikan kondisi. Kadang di langgar pondok, kadang di ghotakan santri, kadang di kediaman Kiai Syafawi. Hal ini merupakan upaya dari KH. Wahab Chasbullah agar umat Islam yang menghadapi masa sulit lantaran Jepang segera berlalu.

Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Wahid Hasyim (mengganti posisi duet Kiai Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfud yang sedang dipenjara oleh Jepang) memerintahkan agar ulama yang berada di bawah hierarki NU berjamaah melakukan riyadlah Rohani. Selain itu KH. Wahab Chasbullah juga mengampanyekan tiga aspek perjuangan bagi dunia pesantren dan alim ulama.

  1. Saling kunjung mengunjungi dan mempererat persatuan.
  2. Saling memberi nasihat tentang kebenaran dan ketabahan berjuang.
  3. Mendekatkan diri kepada Allah untuk memohon pertolongan, sambil memperbanyak wirid, doa, dan hizib.
Baca juga:  Orhan Pamuk “Mengundang” Masuk

Kiai Syafawi dan puluhan santri Ponpes Mabdaul Ma’arif juga ikut melalukan riyadlah tersebut. Adanya komunikasi yang bersifat rahasia tetap tak mengurangi semagat santri sebagai persatuan semangat umat Islam demi menyongsong kemerdekaan.

 

Buku: Khidmah Keummatan KH. Syafawi Ahmad Basyir

Penulis: Rijal Mumazziq Z.

Terbitan: IMTIYAZ

Cetakakan: I Agustus 2020

Halaman: 233

ISBN: 987-602-5779-20-6

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top