Okky Madasari, Penulis perempuan yang khas dengan kritik sosialnya mengeluarkan buku seri Mata ketiga, Mata dan Manusia Laut.
Setelah berpetualangan menyusuri hutan dan pengunungan pada novel terdahulunya, kini Mata berpetualang menjelajahi lautan. Kabar mengenai adanya manusia-manusia yang mampu menyelam tanpa bantuan alat selam, yang beredar di media internasional, membawa Mata dan ibunya ke Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Wakatobi.
Di kepulauan tersebut, Mata pun bertemu dengan Bambulo, bocah asli suku Bajo, yang sejak balita sudah dapat berenang dan menyelam di laut, seperti seekor ikan. Dari pertemuan tersebut, kemudian petualangan Mata dan si Bambulo sang penjelajah laut dimulai.
Okky mengakui bahwa inspirasi dari novel ini berasal dari jurnal sains internasional yang mengatakan bahwa adanya evolusi perubahan genetik dari masyarakat suku Bajo, di mana organ-organ dalam tubuh mereka berubah menyesuaikan dengan kebiasaan yang dilakukan.
Laporan jurnal ilmiah Biologi Cell, menyatakan bahwa warga suku Bajo, di Sulawesi, memiliki ukuran limpa yang 50 persen lebih besar, karena penyelam suku Bajo terbiasa habiskan 60 persen waktu kerjanya di dalam laut. Mereka bahkan sanggup menahan napas selama 13 menit di dalam air.
Hampir sama dengan karya Okky yang lain, Mata dan Manusia Laut juga sarat akan mitologi, kepercayaan lokal, dan fakta-fakta dalam realitas masyarakat. Dengan menggunakan Tsunami sebagai ide cerita serta data yang akurat tentang Suku Bajo, novel ini ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan kaya akan imajinasi. Imajinasi yang sesuai dengan alam pikiran anak-anak.
Masyarakat suku Bajo merupakan sebuah cermin bagaimana kehidupan tradisional dan modern bertemu. Kehidupan modern seperti menyukai tayangan sinetron, adalah salah satu contohnya. Namun, kebiasaan tradisional mereka juga masih kental. Misalnya saja, masyarakat suku Bajo sampai sekarang lebih percaya dengan sanro atau tetua, dibandingkan pengobatan modern. Oleh karena itu, mereka masih mengadakan upacara Duata, yang bertujuan untuk penyembuhan serta memberikan keselamatan.
Selain itu, orang-orang dari suku Bajo juga tidak akan pernah menggunakan bom atau bersifat serakah saat menangkap ikan. Mereka memiliki caranya sendiri saat mencari ikan, jadi jika kita bicara mengenai lingkungan, serta bagaimana menjaga laut, hal tersebut bisa dipelajari melalui orang-orang Bajo. Sebab suku Bajo yang tinggal di tengah-tengah laut, sudah menganggap laut sebagai sumber kehidupan mereka.
“Salah satu awak kapal yang selama ini dianggap pimpinan di kapal – ia yang bukan orang Bajo, menyerahkan satu kantong plastik kepada petugas yang berseragam polisi. Petugas itu memeriksanya.” (hal.210)
Okky tak lupa menyelipkan kritik terhadap sistem pendidikan di Indonesia, di mana pendidikan antara di perkotaan dan daerah lain, disamaratakan. Kritik seputar pendidikan di Indonesia, penyelundupan bom ikan, hingga kebudayaan pun ikut diangkat dalam novel ini.
“Kenapa harus sekolah dari pagi hingga siang setiap hari, padahal pada akhirnya ia harus belajar menangkap ikan seperti bapaknya? Kenapa sekolah justru tak mengajarinya cara menangkap ikan, cara berlayar, cara menjual ikannya? Itu pula yang sering dikeluhkan oleh bapak dan ibu Bambulo, juga oleh seluruh orangtua di Kampung Sama. Kenapa sekolah tak mengajari mereka cara bertahan hidup di laut? Lalu buat apa sekolah?” (hal.18)
Selain diajak berpetualangan dengan Mata dan Bambulo, pembaca juga akan mendapatkan pengetahuan lebih mengenai Masalembo yang sering disebut sebagai segitiga bermuda di Indonesia, mitologi di suku Bajo, dan kehidupan mereka. Para pembaca secara tidak langsung dapat belajar lebih banyak mengenai sejarah, antropologi, hingga geografi Indonesia dari buku Mata dan Manusia Laut.
Judul : Mata dan Manusia Laut
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 232 halaman
Cetakan : I, Mei 2019