Secara singkat, kosmopolitanisme Islam yang dikampanyekan Gus Dur, bisa didefinisikan sebagai, Islam yang membuka diri dengan peradaban lain, dan saling belajar. Gus Dur menyebut beberapa tokoh, sebagai penguat tesisnya itu. Siapa saja mereka?
Imam Kholil al-Farohidi yang sangat saleh namun juga peminat filsafat Yunani, Imam Syafi’i yang dalam merumuskan hukum agama bukan hanya sekedar menarik langsung dari Alquran dan hadis Nabi tapi juga menggunakan pendekatan atau metodologi tertentu, Imam Hasan Basri yang sufi tapi juga ahli bahasa.
Gus Dur memang tak menyandingkan Kiai Ali Maksum di deretan nama para tokoh di atas dalam tulisan yang secara khusus membahas kosmopolitanisme peradaban Islam. Namun di tulisan lain, Gus Dur mengisahkan betapa sikap Kiai Ali Maksum mencerminkan kosmopolitanisme peradaban Islam yang memiliki ciri keberanian saling belajar dengan peradaban lain.
Di kolom yang berjudul “Baik Belum Tentu Bermanfaat”, Gus Dur bercerita, Kiai Ali Maksum pernah ditanya, perihal beliau menyuruh santri-santrinya membaca semacam karya Muhammad Abduh, apakah beliau tidak khawatir santri-santrinya lepas dari NU?
“Kalau membaca buku yang macam-macam nanti akan menjadi NU yang matang,” tulis Gus Dur merekam jawaban Kiai Ali Maksum.
Jawaban Kiai Ali Maksum di atas adalah cerminan dari keberanian berdialog dan saling belajar dengan yang berbeda. Lebih jauh, justru dengan membaca yang macam-macam itu (Kiai Ali, sebagaimana ditulis Gus Dur, juga mendorong santrinya, selain belajar fikih klasik, juga belajar perbandingan hukum lain yang dianut di Barat dan Timur dan bahasa Arab kontemporer), dalam konteks santri nahdiyyin, justru akan semakin memantangkan ke-NU-an mereka.
Sikap kosmopolit Kiai Ali Maksum juga tampak jelas, saat ditanya perihal anjuran Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin kepada para remaja pencari ilmu agar menghindari makanan keras seperti nasi jagung, daging, ikan. Mereka diserukan untuk berusaha tirakat, salah satunya dengan makan dedaunan dan sedikit buah-buahan.
Anjuran itu, kata Gus Dur, tentu berlawanan dengan apa yang sekarang disebut gizi para remaja, yang membutuhkan berbagai jenis makanan dalam rangka membentuk fisik tubuh mereka.
Pertanyaan itu dijawab oleh Kiai Ali Maksum: “Baik tetapi belum tentu bermanfaat”
Kata Gus Dur, sikap Kiai Ali di atas adalah bentuk adaptasi yang kuncinya adalah kemampuan Kiai Ali Maksum memberikan klasifikasi berdasarkan kategorisasi yang kompleks.
“Mengakui kebaikan pendapat yang dirumuskan di masa lalu, sambil mencari manfaat yang baru, adalah salah satu bentuk adaptasi ini. Tanpa tercabut dari akar masa lalunya, adaptasi Kiai Ali cukup dinamis, bukan?” Lanjut Gus Dur seraya mengakhiri tulisannya.
Penulis menduga perjumpaan dan pengamatan Gus Dur atas sikap Kiai Ali Maksum, adalah salah satu yang menginspirasi Gus Dur tentang kosmopolitanisme peradaban Islam, mengingat Gus Dur pernah belajar langsung kepada beliau sebelum belajar ke Timur Tengah, dan Kiai Ali termasuk yang melindungi Gus Dur ketika memimpin NU.
Dalam buku Biografi Lima Rois Am Nahdlatul Ulama, Badrun Alaina dan Humaidy Abdussami mengutip Fachry Ali, bahwa Kiai Ali Maksum adalah salah satu “pelindung spiritual” Gus Dur. Lebih jauh Badrun dan Humaidy menulis, dengan kekuatan spiritual beliau, Gus Dur jadi leluasa mentransformasikan ide-idenya.
Dengan mengutip majalah Bangkit No. 37 1983, Badrun dan Humaidy menulis, Kiai Ali Maksum bercita-cita melahirkan duplikat Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam al-Ghazali, Nawawi, Suyuti, Asqolani, Miskaweh, Farabi, Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Jabir bin Hayyan, Khawarizmi, Battani, Ibnu Khaldun, Thantawi Jauhari, Ibnu Batutah, Mutanabbi, Ma’ari, Firdausi, Rumi, Abu Nawas, Abdul Qodil Jailani, Ibrohim bin Adham, Robiah Adawiyah, Bistami, Junaidi Baghdadi, Syibli dan sebagainya.
Kedua penulis—mengutip majalah yang sama—menulis tentang sikap Kiai Ali Maksum terkait ilmu agama dan ilmu umum. Menurut Kiai Ali, memang ilmu agama lebih mulia dilihat dari adanya hukum fardu ain atasnya pada batas tertentu. Namun dalam level yang lebih besar, itu adalah relatif. “Suatu ilmu lebih mulia, jika buahnya terasa bermanfaat bagi kehidupan beragama,” tulis keduanya tentang pandangan Kiai Ali Maksum.
Tidak hanya Gus Dur, dari tangan Kiai Ali Maksum lahir banyak ulama dan pemikir yang mulai muncul di tahun 70-80 an. Nama-nama seperti Gus Mus—bahkan Gus Mus dalam pengantar buku biografi Kiai Hamid Pasuruan, menyebut Kiai Ali Maksum dengan “kiai saya yang ‘liberal’ itu”, Masdar Farid Masudi, Slamet Effendi Yusuf, Said Aqil Siroj adalah beberapa dari sekian murid Kiai Ali Maksum. Bahkan, saat Subhan ZE dipecat dari PBNU awal 70an, karena dansa-dansi dan banyak pernyataannyang yang kontroversial, hanya Kiai Ali yang membelanya.
Bersama saudara iparnya (KH Zaenal Abidin Munawwir) Kiai Ali Maksum juga membimbing lahirnya kamus Arab-Indonesia al-Munawwir karya adik iparnya Ahmad Warson Munawir, yang fenomenal itu.
Akhirnya bukankah bisa dikatakan, Kiai Ali Maksum adalah bapak para pemikir muda NU yang mulai bermunculan kisaran tahun 70-an?