Proses panjang demokratisasi di Indonesia sejak 1998 memperlihatkan aspek-aspek sosial-politik yang tidak terjadi pada masa Orde Baru, di antaranya adalah proses penyampaian aspirasi politik warga pada masa pemilihan umum (pemilu).
Rangkaian penyampaian aspirasi tersebut terwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari aksi unjuk rasa, pembuatan petisi, gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK), hingga pemolisian bagi orang-orang yang dianggap merugikans eseorang atau kelompok tertentu. Seluruh fenomena tersebut bisa jadi merupakan bagian besar dari ‘euforia’ demokrasi yang menjadi ciri penting era Reformasi. Namun, apakah fenomena tersebut merupakan indikasi dari tumbuhnya kewargaan (citizenship) di Indonesia setelah sekian lama warga (citizens) hanya menjadi klien negara (state clients)?
Konsep kewargaan (citizenship) dalam tulisan ini dirujuk dari pengertian ‘anggota sebuah masyarakat’ (member of community), bukan ‘anggota sebuah negara’ (member of the state) (Marshall 1950). Yang belakangan ini lebih tepat diartikan sebagai kewarganegaraan.
Dalam perkembangannya, kewargaan juga dijelaskan sebagai sebuah proses sosial di mana individu dan kelompok sosial terlibat dalam mengklaim, mengembangkan, atau kehilangan hak-haknya. Perkembangan seperti ini membentuk pengertian kewargaan secara sosial-politik di mana penekanannya bukan lagi pada aturan hukum, tetapi lebih kepada norma dan praktik (Isin & Turner 2002: 4) serta partisipasi publik.
Penyampaian aspirasi dan kondisi pada masa Orde Baru
Tren penyampaian aspirasi politik yang berkembang saat ini, seperti misalnya dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2017 di mana gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama dilaporkan ke polisi dalam kasus penodaan agama, dan juga pemolisian yang memiliki kaitan erat dengan politik elektoral pada pilkada tersebut, seperti kasus Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang diduga telah melecehkan Pancasila, dan kasus-kasus lainnya, terutama pada pilpres 2019, menunjukkan secara sepintas kepada kita bahwa mungkin telah tumbuh sebuah era di mana warga menyadari keberadaan hak-hak kewargaan mereka.
Pada pemilu di masa Orde Baru, penyampaian aspirasi politik merupakan salah satu bentuk klaim hak hukum dalam konsep kewargaan yang hampir tidak pernah muncul. Pada masa itu, warga lebih sering menjadi klien negara (state clients) dibandingkan menjadi warga (citizens) seutuhnya.
Pada pemilu di masa Orde Baru, warga seringkali tidak dapat berpartisipasi dalam memantau proses dan hasil pemilu, apalagi mengajukan gugatan terhadap kemungkinan adanya pelanggaran dalam seluruh proses dan hasil pemilu. Lalu bagaimana kondisinya pada pemilu pasca Orde Baru? Apakah warga benar-benar dapat menyampaikan aspirasi politiknya pada pemilu pasca Orde Baru, atau dengan kata lain dapatkah warga menjadi warga (citizens) seutuhnya?
Implementasi kewargaan
Di era demokratisasi ini, warga mulai memiliki kesempatan untuk melihat bagaimana kebijakan negara harus mampu memberdayakan mereka dan bagaimana negara dapat berfungsi dengan baik dalam good governance. Namun, secara umum, permasalahan kewargaan sebagai aspek sosial-politik negara belum banyak menyentuh warga sebagai sebuah subjek yang mandiri secara optimal. Bahkan, secara umum, konsep hubungan warga dan negara sebagai sebuah ruang politik tempat pertemuan antara berbagai kepentingan pun belum banyak diatur secara formal oleh negara, apalagi diimplementasikan secara gamblang dalam kehidupan sosial-politik sehari-hari.
Tren penyampaian aspirasi politik pada pemilu pasca Orde Baru memperlihatkan bahwa peserta pemilu dan pihak-pihak pendukungnya secara umum hanya menjalankan manuver-manuver politik yang diharapkan mampu memberikan keuntungan bagi mereka sendiri. Namun,mayoritas warga tidak benar-benar dapat memahami, apalagi mampu mengklaim hak-hak hukum mereka dalam memilih calon mereka dan mengawasi jalannya seluruh proses ‘pesta demokrasi’ tersebut dalam ruang lingkup besar konsep kewargaan yang seharusnya disediakan oleh penyelenggara negara dan seluruh peserta pemilu, serta diadvokasi oleh organisasi-organisasi massa.
Banyak pihak yang terlibat dalam proses politik elektoral pasca Orde Baru, misalnya di pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan pilpres 2019 cenderung dengan gamblang hanya melihat warga sebagai objek pemilih, bukan sebagai warga seutuhnya yang dapat mengklaim hak-hak mereka. Dengan kata lain, ketiadaan implementasi konsep kewargaan dalam kebanyakan pemilu pasca Orde Baru ini belum mampu secara signifikan mentransformasi warga dari klien menjadi warga seutuhnya.
Banyak pihak yang terlibat dalam pemilu pasca Orde Baru seringkali menggunakan retorika politik yang menempatkan warga sebagai target untuk meraup suara saja. Pemolisian yang dilakukan terhadap lawan-lawan politik mereka dan juga gugatan kepada MK, oleh siapapun, lebih bertujuan untuk menjatuhkan lawan dan bentuk show of force dibandingkan sebagai pendidikan politik bagi warga untuk mengetahui dan mengklaim hak-hak mereka.
Ironisnya, banyak warga yang tidak menyadari kondisi ini kemudian merasa senang dengan manuver-manuver politik tersebut dan meyakini bahwa itu adalah bentuk nyata dari proses demokrasi. Ketika pemilu telah usai, warga yang tidak menyadari kondisi ini akan kembali menjadi warga yang bukan warga seutuhnya (real citizens) karena mereka kembali menjadi ‘penduduk’ yang tidak terberdayakan dan tidak memahami apalagi mampu mengklaim hak-hak mereka sebagai citizens seutuhnya.
Untuk mengatasinya, diperlukan upaya signifikan dari banyak pihak, tidak hanya dari negara, tetapi juga seluruh peserta pemilu dan kelompok-kelompok besar pendukungnyayang telah terpilih di manapun, ‘masyarakat madani’, media massa, dan warga itu sendiri untuk dapat mengimplementasikan konsep kewargaan yang positif yang menempatkan hak dan kewajiban secara seimbang, dan sekaligus menempatkan warga sebagai warga, bukan sebagai klien negara yang hanya menjalankan kewajiban dan tidak berpartisipasi aktif dalam pembentukan negara (state formation).
Pemilu pasca Orde Baru, terutama pilpres 2019, harus mampu menjadi barometer tumbuhnya kewargaan di Indonesia karena posisinya yang sentral dan strategis bagi pemilu-pemilu berikutnyadan bagi perkembangan kewargaan di Indonesia secara umum. (RM)