Tanah Indonesia ditumbuhi sejuta kekayaan. Kelimpahan itu mencakup banyaknya suku, bahasa, budaya, dan agama. Perbedaan adalah keniscayaan yang kehadirannya patut untuk disyukuri. Namun, dalam realitasnya, masih ada oknum-oknum yang menjadikan perbedaan sebagai sumbu untuk menyulut api konflik. Terutama yang menyangkut keanekaragaman agama.
Saya masih mengingat konflik Poso yang terjadi di Sulawesi Tengah, konflik Tolikara, di Papua, konflik Aceh Singkil, konflik Ambon, dan beberapa masalah lainnya yang terjadi akibat sikap intoleransi dan eksklusif dalam memandang agama. Tidak hanya berupa narasi kebencian, pertumpahan darah juga bisa terjadi karena hal tersebut. Di tengah ancaman itu, nilai moderasi beragama bisa menjadi counter sekaligus solusi untuk mewujudkan harmoni di dalam masyarakat yang heterogen.
Nur Kafid melalui bukunya bertajuk Moderasi Beragama: Reproduksi Kultural Keberagaman Moderat di Kalangan Generasi Muda Muslim (2023) menukilkan esensi moderasi sebagai bentuk komitmen bersama seluruh warga-bangsa dalam menjaga perbedaan: “Moderasi beragama mengandaikan bahwa setiap pemeluk agama di dalam mempraktikkan ajaran agamanya tidak terjebak pada pemikiran, sikap, dan tindakan ekstrim, tidak lepas dari komitmen kebangsaan, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, anti-kekerasan dan akomodatif terhadap kearifan budaya lokal.”
Saat diberitahu oleh teman saya bahwa ada dosen beragama Buddha yang mengajar di Universitas Islam Negeri, saya merasa amat tertarik untuk mengulik cerita di baliknya. Peristiwa itu merupakan salah satu contoh bentuk penerapan moderasi beragama dalam lingkup pendidikan yang patut untuk diapresiasi. Membuka ruang antar agama untuk saling berinteraksi adalah upaya mengikis prasangka-prasangka dan membangun harmoni dalam keberagaman.
Bapak Suharno, M.Pd.B, itulah nama beliau. Dosen yang dipercayai mengampu mata kuliah pilihan buddhisme di prodi akidah filsafat islam (AFI) UIN Raden Mas Said, sejak tahun 2019. Beliau lulusan S1 dan S2 prodi pendidikan agama Buddha di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Smaratungga, Boyolali. Kini, sedang menempuh studi S3 jurusan Filsafat di UGM dan juga aktif mengajar di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya, Wonogiri.
Saya merasa amat beruntung bisa mewawancarai beliau dan diterima dengan amat ramah. Melalui Google Meet (18/11/2024), beliau membagikan kisahnya selama mengajar di UIN, lingkungan yang mayoritas beragama islam. “Saya sangat senang sekali dan tertarik mengajar di UIN. Ternyata justru mahasiswa sangat antusias, mungkin buddhisme menjadi hal baru bagi mereka jadi terasa menarik untuk disimak,” ujarnya.
Pak Harno menambahkan bahwa selama mengajar di UIN, meskipun sebagai minoritas ia tidak pernah mendapatkan perlakuan yang diskriminatif lantaran memiliki keyakinan yang berbeda. “Saya tidak pernah merasa dibeda-bedakan. Beberapa dosen memang sudah saya kenal sebelum mengajar di UIN. Para dosen sepuh yang sudah dekat, bahkan sering memanggil saya ‘ustaz’ sebagai bentuk guyonan yang akrab. Saya terbiasa dengan iklim itu,” tuturnya.
Moderasi beragama dianalogikan oleh Pak Harno tak ubahnya seperti syair yang pernah ia pelajari dalam agama Buddha. Nada indah dari gitar tidak akan muncul jika senar terlalu dikencangkan, pun jika senar terlalu dikendurkan. Ketika senar dipasang pas, artinya tidak begitu kencang dan kendur, maka akan menimbulkan suara yang merdu. Begitu pula dalam beragama. Kita tidak boleh ekstrem ke kanan maupun ke kiri, yang terbaik adalah memilih jalan tengah. Itulah perumpamaan yang mungkin bisa disebut sebagai moderat
Saya tertarik untuk menanyakan apakah ketika ditawari masuk dalam lingkup UIN, pernah terbesit asumsi yang menimbulkan rasa takut atau khawatir karena akan mengajar dalam ruang yang berbeda keyakinan. Ternyata, rasa ketakutan itu tidak ada. Beliau menceritakan bahwa pengalamannya bersama umat dari agama lain telah terbangun sejak lama, dan itu sangat mempengaruhi pandangannya terhadap perbedaan.
“Sejak S1 saya sudah terbiasa menjalin hubungan dengan umat lain. Saya juga di bawah asuhan biksu yang sering terlibat kegiatan lintas agama. Dulu, saya kerap diminta menggantikan para biksu mengisi diskusi ketika beliau berhalangan hadir, salah satunya di UIN Yogyakarta. Jadi, ketika masuk di lembaga pendidikan islam, sudah tidak ada perasaan khawatir. Tidak ada ketakutan nanti di sana akan bagaimana,” ujarnya.
Pak Harno pun kemudian juga menuturkan metode yang ia terapkan selama mengajar di kelas yang mahasiswa beragama islam. “Saya membuka ruang diskusi dan memancing mahasiswa untuk kritis. Mahasiswa boleh bertanya di dalam maupun di luar kelas. Saya juga berusaha menukilkan kesamaan nilai-nilai yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Jadi, yang diajarkan agama Buddha juga memiliki nilai-nilai yang spiritnya sama dengan yang diajarkan dalam islam yaitu persaudaraan, kedamaian, dan cinta kasih,” terangnya.
Dari sisi lain, Hani, mahasiswa angkatan 2021 menceritakan pengalamanya ketika mengikuti kelas yang diampu oleh Pak Suharno. “Satu pertanyaan pembuka dari Pah Harno, selain salam, yang cukup memecah ketegangan dan penasaran di mata kuliah hari pertama itu adalah ‘apa imajinasi kalian yang tergambar ketika membaca diksi buddhisme?’ Tentu jawaban teman-teman satu kelas aneh. Aku sendiri kepikirannya Aang, Avatar itu,” ujarnya ketika diwawancarai lewat Whatsapp (19/11/2024).
Hani, merasa tidak terganggu dan senang dengan kehadiran dosen yang beragama non islam. Ia justru merasa mendapatkan banyak pengetahuan baru, meski di awal sempat ada rasa khawatir dalam hatinya. “Seru, tentu banyak hal baru yang aku dapatkan. Aku merasa nyaman ikut kelasnya. Apalagi dosennya masih muda. Humornya tidak terpaut jauh berbeda. Awalnya tetap ada rasa takut menyinggung persoalan agama, utamanya minor-mayor meskipun pada akhirnya bisa ternetralisir. Pak Harno memahami kalau kami (mahasiswanya) sangat awam dengan teologi atau konsep keberagamaan umat Buddha,” terangnya.
Pada akhirnya, dari pengalaman saya mendengarkan kisah Pak Harno, dosen UIN yang beragama Buddha, dan Hani, mahasiswa prodi AFI yang mengikuti kelas buddhisme, membuat saya memahami bahwa interaksi yang terbangun antar umat beragama sangat dibutuhkan, termasuk dalam lingkup lembaga pendidikan.
Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan asumsi, pembatas, dan ketakutan-ketakutan yang dapat mengarahkan pada sikap intoleransi. Keterbukaan dan dialog yang terjalin bisa memungkinkan terciptanya ekosistem yang support untuk membentuk Indonesia yang ramah pada segala perbedaan.
Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.