Sedang Membaca
Islam Agraris: Tarekat, Petani, dan Oligarki Politik

Guru Sejarah. Alumnus Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya. Saat ini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya.

Islam Agraris: Tarekat, Petani, dan Oligarki Politik

Haul Sambasi

Tarekat telah menjadi bagian penting dalam masyarakat kita, sebab kehadiran sebuah tarekat turut membentuk kontruksi sosial, filsafat hidup, hingga spiritualitas masyarakat. Abdul Wadud Kasyful Humam dalam buku Satu Tuhan Seribu Jalan menjelaskan, tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah berarti al khat fi al-sya’I (garis sesuatu), al-sirath (jalan), dan al-sabil (jalan). Dalam kepustakaan barat, kata thariqah menjadi tarikat berarti road (jalan raya), way (cara atau jalan), dan path (jalan setapak).

Kemudian tarekat juga bermakna sebuah perjalanan untuk menggapai tingkatan-tingkatan (maqamat) dalam niatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. M Amin Syukur turut memaparkan bahwa tarekat adalah aktivitas keagamaan yang bersifat esoteris, yang dijalankan seorang salik dengan mengistiqomahkan amalan-amalan berupa wirid yang bersanad dari guru ke guru (mursyid) hingga Nabi Muhammad Saw. Dan ketika seseorang bertekad mengikuti tarekat, maka ia harus siap menjalani proses olah batin, latihan-latihan spiritual, yang kesemuanya adalah bagian dari perjuangan yang sungguh-sungguh (mujahadah) dalam tataran dunia kerohanian.

Selanjutnya tarekat-tarekat yang tergolong generasi awal, dan akhirnya tersebar di  masyarakat luas sekitar abad 12 hingga 14 M. Diantaranya Tarekat Qadiriyah di Baghdad, Tarekat Rifa’iyah di Asia Barat, Tarekat Syadziliyah di Maroko, Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tengah. Kemudian  Abdul Wadud Kasyful Humam menjelaskan bahwa tarekat mulai muncul di Nusantara, bisa dilacak dari kehadiran para syekh tarekat di masa Kesultanan Aceh abad 16 atau 17 M, diantaranya Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin al-Sumatrani yang menganut Tarekat Qadiriyah, Syekh Nuruddin al-Raniri yang menganut Tarekat Rifa’iyah, Syekh Abd al-Rauf al- Singkili yang termasuk penganut Tarekat Syattariyah, dan  Syekh Yusuf al-Makassari yang berposisi sebagai penganut Tarekat Khalwatiyah.

Baca juga:  People Power dalam Pandangan Ushul Fiqh

Lantas seiring waktu, keberadaan para syekh tarekat tersebut, turut mempengaruhi tumbuhnya benih-benih tarekat yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara. Dan menurut Prof Sartono Kartodirjo dalam desertasi Pemberontakan Petani Banten 1888 dideskripsikan bahwa pada abad 19 terdapat tiga tarekat besar yang berpengaruh di Jawa, ketiganya yaitu Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syattariyah. Dan melalui infrastruktur tarekat tersebut, pada nyatanya tak hanya menjadi ruang olah batin namun juga menjadi wadah berhimpun gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di tanah Jawa.

Fakta ini bisa ditemukan pada penjelasan Prof Sartono Kartodirjo tentang Tarekat Qadiriyah yang berkembang pesat di Banten, yang dengan tarekat tersebut, militansi dan amarah masyarakat  muslim terhadap penguasa asing dikobarkan berapi-api sekaligus makin terencana dalam pola gerakan perlawanan yang pecah di bulan Juli tahun 1888, dan para pendukungnya banyak berasal dari kalangan petani.

Hal yang sama sebenarnya juga bisa ditemukan dalam momentum Perang Jawa (1825-1830), dimana menurut Gus Makmun, Pimpinan Pondok Pesantren Malangsari, Dusun Belung, Kediri, Tarekat Syattariyah pada realitasnya banyak dianut Pasukan Pangeran Diponegoro, sehingga turut menjadi pondasi spiritual maupun intelektual yang  memperkokoh perjuangan dalam Perang Jawa. Maka dari berbagai fakta historis yang ada, bisa disimpulkan bahwa tarekat sejatinya mempunyai peran strategis yang kontekstual dalam gerakan keagamaan, politik, maupun perlawanan pada penindasan.

Tarekat dan Petani melawan Oligarki Politik

Tarekat sebagaimana penjelasan di awal tulisan, bisa kita pahami sebagai bentuk jalan kerohanian yang berfungsi untuk menghantarkan manusia pada ruang penyucian jiwa hingga kesadaran rohani untuk selalu dekat dengan Allah Swt. Tarekat juga membawa pengaruh pada sendi-sendi sosial maupun psikologis suatu masyarakat, hal ini bisa kita lihat pada kehidupan sehari-hari masyarakat di Dusun Belung, Desa Kawedusan, Kec.Plosoklaten, Kediri, yang sebagian besar rutinitasnya tampak sufistik sekaligus esoteris.

Baca juga:  Pertumbuhan NU Jerman: dari Ketersambungan Sanad, Pengakuan Pemerintah Jerman hingga Revolusi Insdustri

Dan tarekat yang berpengaruh besar  di Dusun Belung yaitu Tarekat Qodiriyah wa Naqhsyabandiyah,  dan menurut analisis penulis, dengan adanya tarekat turut memperkokoh tatanan moral maupun budaya yang selama ini berjalan dalam internal masyarakat Dusun Belung, seperti kejujuran, amanah, menghormati antara tetangga, membantu yang kesusahan, menghadiri tahlilan, mengikuti pengajian di masjid, memuliakan kyai, mendoakan para leluhur, hingga mengadakan slametan. Sehingga dengan basis moral dan budaya yang ada, akan turut membentuk paradigma keislaman masyarakat Dusun Belung yang berpihak pada rasionalitas kebaikan dan kemanusiaan, serta menolak berbagai wujud kemungkaran.

Kemudian salah satu perwujudan dari paradigma keislaman masyarakat Dusun Belung tersebut yaitu pensikapan terhadap fenomena politik tahunan terkait pemilu Bupati dan Wakil Bupati Kediri tahun 2020, yang bagi masyarakat Dusun Belung tidaklah sehat dan penuh campur tangan oligarki politik. Sebab yang jadi maju hanya satu calon dan semua partai bersepakat untuk mendukung calon tersebut (cnnindonesia.com). Sehingga bagi masyarakat Dusun Belung yang basisnya adalah agraris, petani, dan santri.

Kenyataan tersebut mencederai nurani, mengubur akal sehat, serta nilai-nilai maslahat yang selama ini dipahami masyarakat Dusun Belung. Dan keberadaan tarekat menjadi  pengikat untuk membentuk gerakan perlawanan kultural yang pada akhirnya menciptakan konflik. Lantas Prof Ramlan Surbakti dalam buku Memahami Ilmu Politik mendeskripsikan bahwa konflik politik dibagi menjadi dua kategori yaitu konflik positif dan konflik negatif. Kemudian gerakan perlawanan kultural atau protes yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Belung, menurut penulis termasuk pada kategori konflik positif. Sebab strategi perlawanan yang diterapkan oleh masyarakat Dusun Belung berupa mencoblos atau memilih kotak kosong dan tindakan tersebut masih dalam lingkup konstitusi.

Baca juga:  Memahami Pemikiran Al-Ghazali (6): Menyanggah Filosof yang Menyimpang

Tafsir Perlawanan Kultural Tarekat Petani

Selanjutnya, menurut hasil pengamatan penulis, strategi perlawanan yang dijalankan oleh masyarakat Dusun Belung yang berwujud perlawanan kultural, selain menunjukkan adanya peran tarekat juga menampakkan bahwa masyarakat Dusun Belung memeluk paham demokrasi secara baik, dan munculnya gagasan perlawanan terhadap proses politik yang ada, bisa dimaknai bahwa apa yang dilakukan masyarakat Dusun Belung juga berangkat dari latar antropologis sebagai petani. Sebab menurut Eric R Wolf dalam buku Petani: Suatu Tinjauan Antropologis memaparkan bahwa kaum petani dalam sistem produksinya banyak terhubung dengan lingkaran kebijakan para penguasa, yang karena itu turut mengondisikan petani untuk bisa paham serta menyusun rumus, bagaimana merespon gejolak politik yang ada. Maka dibagian akhir ini, penulis ingin menyatakan bahwa tarekat dan petani punya relasi kuat, dan Tarekat Qodiriyah wa Naqhsyabandiyah yang berkembang di Dusun Belung, bisa kita dudukkan sebagai tarekat petani yang ikut berperan mengontrol tindak-tanduk penguasa.

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top