
Sastrawan Taufiq Ismail sekali waktu pernah mengungkapkan betapa kuatnya pengaruh puisi terhadap kehidupan bangsa dan negara ini. Publik Indonesia pun dinilainya sangat terbuka “menerima” puisi, sebagaimana pantun, drama, dan prosa.
“Membaca puisi di hadapan publik menjadi ajang yang banyak diminati di Indonesia,” demikian yang ia tulis dalam pengantar buku kumpulan puisi, “Malu Aku Jadi (Orang) Indonesia” (1998).
Secara umum, pembabakan karya sastra di Indonesia dikenal dengan istilah Angkatan ‘45 dan Angkatan ‘66. Pada masa ‘45, masyarakat mengenal puisi-puisi karya Chairil Anwar. Sedangkan pada angkatan ‘66, ada W.S Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan lainnya.
Setelahnya, muncul genre puisi ‘mbeling’ yang mencuatkan nama Remy Silado pada 1970an, bersama Radar Panca Dahana, Joko Pinurbo dan sastrawan muda lain di berbagai daerah.
Di era 80an hingga 90an, puisi “Karawang-Bekasi” karya Chairil Anwar, masih kerap ditampilkan dalam panggung-panggung tujuhbelasan, lengkap dengan anak-anak yang berkostum ala pejuang sambil membawa bambu runcing warna merah putih. Pengalaman ini masih lekat dalam ingatan Miftahul Jannah, seorang pegiat seni di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan.
“Perkenalan dengan puisi terjadi saat saya masih (bersekolah) di SD. Ayah sebagai Ketua RT meminta saya untuk tampil membaca puisi di panggung tujuhbelasan. Saya lupa judulnya, tapi yang jelas temanya mengenai Islam karena beliau kebetulan (pengikut) Muhammadiyah. Saya membawakannya dengan penuh penghayatan, eh tahu-tahu saya lihat kok penontonnya sampai ada yang menangis,” kenang Miftah sambil tertawa.
Pengalaman Dian Warastuti lain lagi. Sebagai jurnalis sekaligus pencinta seni, Dian pernah menyaksikan W.S Rendra tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM), dua tahun menjelang kejatuhan Soeharto.
“Saya saksikan sendiri saat Rendra membacakan puisi-puisi Chairil Anwar di TIM. Benar adanya, gayanya persis burung merak. Dengan dua lengannya terbuka lebar, Rendra menyerupai merak yang indah. Kalau Sutardji penuh energi, jujur berbicara dan selalu membumi. Intinya, puisi-puisi yang tidak sekedar melankolis, tapi juga menghentak dan memberi gagasan, itu akan memberikan asupan energi batin, mengingatkan otak kita yang setiap saat bisa saja tumpul,” kata Dian.
Komunikasi Digital Telah Mengubur Puisi?
Jika kini puisi kalah beken dengan pantun tentu ada sebabnya. Menurut Miftah, ini tidak lepas dari budaya tiktok yang ‘merajai’ dunia komunikasi digital.
“Semua ekspresi tumpah ruah di Tiktok, mulai dari pantun-pantun receh hingga dracin (drama China). Bahasa di Tiktok lebih simpel, durasinya mungkin hanya satu menit, tapi efeknya luar biasa. Ada perputaran uang cukup besar di sana,” jelas Miftah, yang sehari-hari berprofesi pula sebagai pengisi suara untuk drama-drama Korea dan China.
Setidaknya ada tiga hari khusus untuk merayakan keberadaan puisi, seperti Hari Puisi Nasional (28 April), Hari Puisi Indonesia (26 Juli), dan Hari Puisi Dunia (21 Maret). Sepatutnya puisi tidak sekedar dirayakan, tetapi juga menjadi ruang bagi satu penyadaran karena basis puisi adalah pendayagunaan diksi atau pilihan kata.
“Kata, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW, mempunyai daya pengaruh kuat dan tajam sehingga penting dimaksimalkan sebagai cara berkomunikasi yang dewasa dan cendekia,” ungkap Ibnu Wahyudi, sastrawan dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Internalisasi berbagai nilai secara diam-diam akan terwujud melalui puisi yang ‘matang’. Setidaknya, puisi masih punya kekuatan untuk introspeksi diri, merenung, dan mengkritik.
“Sayangnya, dalam situasi saat ini puisi justru bertebaran melalui media-media sosial. Bentuknya banyak ditulis tanpa pemahaman akan hakikat puisi yang sangat menghargai diksi,” kata Ibnu.
Ia menilai, gerakan membaca puisi “bagus” perlu dilakukan dengan memperbanyak acara pembacaan puisi, penciptaan puisi, dan ceramah puisi di sekolah sampai universitas.
Sementara, Miftah berpendapat remaja sekarang malas berpuisi karena intonasi membacanya masih sama, tak ada perubahan.
“Deklamasi bukan sesuatu yang populer bagi remaja, meski kutipan-kutipan puisi sesekali masih muncul di kartu-kartu undangan perkawinan,” kata Ibu dua anak remaja ini.
Efek media sosial memang luar biasa dahsyat. Produk budaya apapun ada di sana. Daya jangkau lintas wilayah dan bahasa seolah makin luas. Jika ‘perlawanan’ Chairil Anwar atau kritik nyeleneh Rendra kelak muncul di Tiktok, boleh-boleh saja kan?