Sedang Membaca
Ulama Perempuan Melawan Penjajah (3): Rahmah el-Yunusiah; Pengibar Bendera Merah Putih Pertama di Sumatra Barat

Alumni Perguruan Islam Mathali'ul Falah Kajen, Pati dan Unisula Semarang. Saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Asal dari Jepara dan saat ini sedang berdomisili di desa wisata Tempur, Keling, Jepara.

Ulama Perempuan Melawan Penjajah (3): Rahmah el-Yunusiah; Pengibar Bendera Merah Putih Pertama di Sumatra Barat

Whatsapp Image 2022 01 25 At 22.55.30

Rahmah el-Yunusiyah lahir pada 20 Desember 1900 M di Padang Panjang, dari pasangan Rafi’ah dan Muhammad Yunus bin Imanuddin. Ayahnya adalah seorang ulama besar yang menjabat sebagai hakim di negeri Pandai Sikat, Padang Panjang.  Berasal dari keluarga yang berlatar belakang keagamaan kuat, pendidikan keagamaannya banyak didapat dari keluarganya sendiri, terutama dari kedua kakaknya, yaitu Zaenuddin Labay dan Mohammad Rasyid. Rahmah el-Yunusiah adalah sosok ulama perempuan yang mendapat gelar Syeikhoh karena kontribusinya yang begitu besar.

Padang Panjang dikenal sebagai pusat gerakan Islam pada saat itu, dan telah banyak melahirkan tokoh-tokoh perjuangan. Sehingga perjalanan kehidupan Rahmah sejak kecil sudah berada dalam lingkungan yang bukan hanya penuh dengan nuansa keagamaan, tetapi juga lingkungan sosial-politik yang kemudian membentuk kepribadiannya dalam melawan penjajah. Rahmah yang dikenal sebagai sosok ulama perempuan sekaligus tokoh reformator pendidikan Indonesia, mempunyai banyak jasa dalam perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Diniyah School Putri yang didirikannya banyak melahirkan tokoh perjuangan, selain dirinya ada juga Rasuna Said yang merupakan patner Rahmah dalam mengembangkan lembaga pendidikan tersebut.

Dalam buku Ulama Perempuan Indonesia, dijelaskan bahwa di antara perjuangan Rahmah el-Yunusiah dalam melawan penjajah adalah saat pemerintah kolonial Belanda melalui Van Straten, sekretaris atau controleur Padang Panjang menawarkan kepadanya agar Diniyah Putri yang dikembangkannya didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar sehingga dapat menerima subsidi dari pemerintah, namun dia menolak. Baginya, Diniyah Putri adalah sekolah kepunyaan umat, dibiayai oleh umat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah swt.

Baca juga:  Membicarakan Jilbab Nusantara: Antara Kerudung, Kerudung Panjang, atau Cadar

Menurut Rahmah el-Yunusiah, subsidi dari pemerintah bisa berakibat pada keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan dan ruang gerak Diniyah Putri. Oleh sebab itulah, pada 1933 M dia memimpin panitia penolakan Ordonansi Sekolah Liar.  Yang mengakibatkan sekolah tak berizin dari pemerintah ditutup di Padang Panjang. Aktivitasnya ini membuatnya dituduh membicarakan politik, sehingga didenda 100 gulden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Putri. Tiga orang guru Diniyah Putri: Kanin RAS, Chasjiah AR, dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar.

Saat mengikuti Kongres Perempuan Indonesia pada 1935 M di Batavia sebagai utusan Serikat Kaum Ibu Sumatra (SKIS). Rahmah el-Yunusiah mengemukakan idenya untuk mengembangkan pendidikan agama ke berbagai kota. Idenya mendapat sambutan baik, sehingga dengan bantuan beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padang Panjang, dia dapat membuka cabang Diniyah Putri di Kwitang dan Tanah Abang pada 2 dan 7 September 1936 M.

Dijelaskan dalam buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Putri Padang Panjang, bahwa saat tentara Jepang datang di Minangkabau pada Maret 1942 M dan membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan, dan mengurangi kualitas hidup penduduk Pribumi. Rahmah banyak melakukan aktivitas-aktivitas perlawanan. Selain mengasuh sekolahnya, Rahmah juga ikut dalam berbagai kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial. Dalam situasi perang, dia bersama para anggota ADI mengumpulkan bantuan makanan dan pakaian bagi penduduk yang kekurangan.

Baca juga:  Mursyid Perempuan Tarekat Naqsyabandiyah di Madura

Rahmah el-Yunusiah juga memotivasi penduduk yang masih bisa makan untuk menyisakan beras setiap kali memasak, untuk dibagikan ke penduduk yang kekurangan makanan. Kepada murid-muridnya, dia menginstruksikan agar seluruh taplak meja dan kain pintu yang ada di Diniyah Putri dijadikan pakaian untuk penduduk. Dia bersama para anggota ADI juga menuntut pemerintah Jepang untuk menutup rumah bordil, dan menentang pengerahan perempuan Indonesia sebagai jugun ianfu (wanita penghibur). Tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah Jepang, dan tempat prostitusi di kota-kota Sumatra Barat berhasil ditutup.

Walaupun selama masa pemerintahan kolonial Belanda Rahmah menghindari aktivitas di jalur politik untuk melindungi kelangsungan sekolah yang dipimpinnya, dan memilih tidak bekerja sama dengan penjajah. Namun dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dia memandang perlunya kerjasama dengan Jepang untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dia akhirnya memasuki lembaga militer yang dibuat oleh Jepang dan memasuki lembaga lain, seperti sosial-politik yang digunakan untuk perjuangan kemerdekaan. Sehingga dia pernah bergabung dengan laskar rakyat Gyu Gun Ko En Kai. Menjadi ketua Haha No Kai, yang merupakan organisasi perempuan Padang Panjang yang membantu para pemuda Indonesia yang terhimpun di Gyu Gun dalam perang revolusi perjuangan bangsa. Pada saat perang Asia Pasifik, gedung sekolah Diniyah Putri dijadikan rumah sakit darurat untuk menampung korban kecelakaan kereta api Desember 1944 dan Maret 1945.

Baca juga:  Perempuan dalam Perspektif Islam dan Psikoanalisis (1): Seni Memahami Hati Perempuan

Ketika mendengar berita proklamasi kemerdekaan dari Engku Syafe’i (ketua Chuo Sangi In), bangkitlah semangat juang Rahmah. Dia langsung mengibarkan bendera merah putih di halaman depan perguruan Diniyah Putri. Rahmah adalah orang pertama yang mengibarkan bendera Indonesia di Sumatra Barat, karena waktu itu jaringan komunikasi masih dikuasai Jepang. Tindakannya tersebut segera tersebar ke semua pelosok daerah Sumatra Barat, dan hari itu juga serentak langsung mengibarkan bendera merah putih di kantor-kantor oleh massa. Tentara Jepang pun tidak bereaksi melihat kenyataan itu. Massa bahkan siap dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Pada 5 Oktober 1945 M, Soekarno mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dan pada 12 Oktober 1945, Rahmah memelopori berdirinya TKR untuk Padang Panjang dan sekitarnya. Beliau memanggil dan mengumpulkan bekas anggota Gyu Gun, mengusahakan logistik dan pembelian beberapa kebutuhan alat senjata dari harta yang dimilikinya. Bersama dengan bekas anggota Haha No Kai, Rahmah mengatur dapur umum di kompleks perguran Diniyah Putri untuk kebutuhan TKR. Anggota-anggota TKR ini menjadi tentara inti dari Batalyon Merapi di bawah pimpinan Anas Karim. Setelah kemerdekaan, beliau membentuk tentara keamanan rakyat. Mengayomi barisan-barisan pejuang Islam yang dibentuk waktu itu, yaitu laskar Sabilillah dan Hisbullah. Memimpin dapur umum TNI dan barisan pejuang. Itulah kontribusi beberapa kontribusi Rahmah el-Yunusiah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top