Sedang Membaca
Perempuan dan Kebebasan Berekspresi, Zaman Nabi dan Kini
Umi Nurchayati
Penulis Kolom

Alumni PP. Almunawwir Krapyak dan FAI UMY.

Perempuan dan Kebebasan Berekspresi, Zaman Nabi dan Kini

Kartini, Agnes Mo,. Najwa Shihab

Semakin hari rasanya hidup semakin ribet saja, apalagi sebagai seorang perempuan. Apa-apa yang sejak kecil biasa dilakukan menjadi hal yang dilarang. Suatu hari yang cerah tatkala pergi jalan-jalan di sebuah bendungan saya dibuat heran ketika tak sengaja menjumpai seorang ibu melarang anak gadisnya yang masih balita bermain mobil-mobilan, pun seorang bayi laki-laki yang tidak diperkenankan ayah ibunya memilih celana berwarna pink.

Rasanya hal seperti itu tak pernah kutemukan dalam masa keciku, membatasi mainan hanya dengan boneka. Semasa kecil, saya juga bermain helikopter yang dijalankan dengan remote control dan mobil-mobilan, sampai beranjak bermain Tamiya.

Saya hanya bertanya, kenapa dunia semakin ribet? Coba bayangkan jika celana yang cukup dipakai sang bayi hanya ada warna pink, tentu akan mempersulit diri bukan. Lebih tepatnya sejak kapan barang mainan dan warna pakaian memiliki jenis kelamin?

Keanehan-keanehan menjadi semakin banyak saya jumpai seiring bertumbuh dewasa dan bergaul dengan lingkungan yang semakin beragam.

  1. Perempuan dan Tubuh Perempuan

Menjadi perempuan menjadi cukup sulit dengan kondisi yang tidak mendukungnya. Suatu ketika seorang teman diajak menikah oleh kekasihnya. Ia menanyakan pada calon pasangannya tentang perbedan usia, kebetulan mereka hampir seumuran. “Aku sih nggak masalah selisih umur berapa tahun yang penting masih masa subur belum lebih dari 30 tahun,” ujar kekasih sang gadis.

Mendengar cerita itu aku mulai berpikir, ‘masa subur’ yang dimaksud kekasih teman saya itu tentu terkait dengan masa reproduksi atau memiliki keturunan. Ya, itu terserah dia karena ia yang akan menikah. Tetapi dengan nada jawaban yang diberikan seolah-olah ia mulai akan menentukan kapan memiliki momongan.

Pembaca tentu masih ingat dengan wawancara seleb Atta Halilintar yang ingin memiliki 11 anak dari pernikahannya dengan Aurel. Pernyataan Atta waktu itu menuai banyak kritik dari para aktivis perempuan. Bagaimana tidak, karena tentu saja istrinya yang harus mengandung, melahirkan, dan menyusui berkali-kali. Iya benar, ketiganya yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui adalah kodrat perempuan. Tapi tidakkah laki-laki seperti Atta juga berpikir memberikan hak menjawab urusan memiliki anak itu kepada istrinya yang perempuan, dimana ia yang akan melahirkan dan menyusui. Atau paling tidak, sebelum menjawab Atta bisa berdiskusi dulu dengan Aurel.

Baca juga:  Mengenang Keteladanan Gus Sholah

Kiranya menjadi perempuan adalah menjadi individu yang siap diatur. Bahkan untuk tubuhnya sendiri perempuan benar-benar tak punya kuasa. Perempuan selalu diikat oleh konstruksi dan imagi, yang keduanya menjadi harus dipikirkan oleh perempuan ketika ingin mengekspresikan dirinya.

Betapa banyak iklan produk kecantikan hanya menjual tubuh perempuan, diobral dengan definisi cantik sesuai imagi pemilik produk. Sampai di mimbar-mimbar agama juga tak kalah hebat. Berapa banyak pemuka agama terus mengatur apa yang harus dikenakan seorang perempuan. Anehnya sang pemilik produk dan pemuka agama yang terus kita amini adalah laki-laki. Dan perempuan mengikuti imagi itu.

Suatu ketika saya teringat kata-kata Simone de Beauvoir, seorang filsuf perempuan asal Prancis. Ia mengatakan bahwa dilahirkan sebagai perempuan bukanlah suatu keajegan, melainkan adalah proses menjadi yang tidak pernah usai. Sedang tubuh yang membuat konstruksi sosial sedemikian rupa bagi perempuan adalah suatu kesatuan.“One is not born, but rather becomes a woman,” begitu kata Beauvoir dalam karyanya yang terkenal, ‘The Second Sex’.

Beauvoir seolah-olah ingin mengatakan bahwa tanpa tubuh perempuan itu menjadi tidak ada. Beauvoir sang feminis eksistensial itu meyakini bahwa esensi tak mungkin mendahului eksistensi. Tentu saja pandangan Beauvoir yang bernuansa materialis itu akan ditampik oleh para spiritualis, karena manusia sejatinya tidak hanya tubuh, masih ada dimensi roh yang mengikat menjadi satu kesatuan dengan tubuh.

  1. Upaya Memenjarakan Perempuan
Baca juga:  Sisi Lain Buya Hamka 

Sebagai seorang perempuan muslim saya mencoba merenung, kenapa doktrin-doktrin agama dari para pemuka agama justru banyak membuat perempuan kehilangan dirinya. Ia melebur menjadi seperti yang dikehendaki para pemuka agama. Perempuan dianggap sebagai sumber fitnah karena tubuhnya, sehingga perempuan dipandang semakin tertutup menjadi semakin baik. Pandangan seperti ini ingin mengatakan bahwa semakin tidak terlihat maka seorang perempuan itu semakin baik dan shalihah.

Inilah hal yang membuat peranan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat semakin dihilangkan. Tentu saja selain peran biologisnya untuk melahirkan dan menyusui. Tanpa disadari, penafsiran teks agama seperti ini justru menjauhkan dari maksud ajaran agama yang murni karena hanya melihat perempuan sebagai objek dengan memandang fisiknya saja dan sebagai pabrik produksi keturunan saja. Padahal manusia baik laki-laki atau perempuan sekaligus adalah makhluk intelektual dan spiritual. Pandangan tersebut jelas mengesampingkan potensi intelektual dan spiritual seorang perempuan.

Kalau kita mau melihat saja sesungguhnya teks yang mengatakan demikian membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam. Di sisi lain Al-Qur’an juga menegaskan bahwa kepada laki-laki beriman untuk menjaga pandangannya (QS. An-Nuur:30). Di sinilah perintah menjaga pandangan (ghadhul bashar) turun, sehingga menjaga pandangan tidak hanya dengan menundukkan pandangan, tetapi yang lebih penting adalah menjaga pikiran dan hati dari hal-hal yang tidak sepantasnya. Selayaknya itu dilakukan baik oleh laki-laki atau perempuan.

  1. Zaman Nabi yang Memerdekakan Perempuan
Baca juga:  Memilih Kacamata yang Pas untuk Melihat Persoalan Rohingya

Di sisi lain saya menemukan dimensi berbeda. Selama ini saya pelajari bahwa agama yang saya yakini yaitu Islam adalah agama yang sangat revolusioner. Saya mengamini itu karena tatkala masih kanak-kanak dalam madrasah diniyah di kampung selalu dikisahkan kisah kehidupan Ibunda Sayyidah Khadijah r.a dan Kanjeng Nabi Muhammad saw yang sangat harmonis dan inspiratif. Ibunda Khadijah adalah pengusaha besar dan Kanjeng Nabi Saw turut menjual dagangannya sebelum diangkat menjadi Nabi.

Dalam literatur sejarah, bahkan para perempuan di zaman Nabi Saw tidak kalah keren tampil di ruang publik. Sebut saja Sayyidah Aisyah r.a (Istri Nabi) yang menjadi guru para Sahabat selepas Nabi wafat. Ada juga para perempuan dalam periode awal islam yang mewakafkan harta dan jiwanya demi islam, diantaranya adalah Nusaibah binti Ka’ab, Qaribah binti Mu’awwidz, Asma binti ‘Amr bin Adi Ra, dan Salma binti Qais. Belum lagi para perempuan di zaman Nabi yang justru menjadi tulang punggung keluarga, seperti Zainab ats-Tsaqafiyah istri Abdullah bin Mas’ud.

Ibn Hajar Al-Asqalani, seorang masyhur ahli hadis dalam karyanya Fath al-Bari memberikan keterangan bahwa Zainab ats-Tsaqafiah adalah istri dari Sahabat Nabi Saw yaitu Abdullah bin Mas’ud. Zainab adalah sahabat perempuan Nabi yang kaya raya yang berasal dari keluarga terpandang yaitu Bani Tsaqif.  Diketahui bahwa Zainab memiliki usaha rumahan yang cukup lancar sehingga ia menghidupi keluarganya, bahkan juga mengasuh beberapa anak yatim di rumahnya.

Jika di zaman Nabi perempuan dianggap sumber fitnah dan harus mengurung diri. Bukankah Zainab dan para perempuan lain zaman itu sudah dilarang pergi-pergi, apalagi bekerja?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top