Sedang Membaca
Outgrowing God: Betulkah Orang Beragama Gagal Dewasa?
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Outgrowing God: Betulkah Orang Beragama Gagal Dewasa?

Dalam tulisan sebelumnya, saya meringkaskan argumen Richard Dawkins dalam bukunya yang terakhir, “Outgrowing God”. Intinya, menurut Dawkins, orang-orang yang masih percaya Tuhan pada dasarnya gagal dewasa. Orang yang dewasa secara pemikiran tak butuh lagi Tuhan; cukup bertunjang saja pada sains dan rasio.

Pandangan Dawkins ini, tak bisa disembunyikan lagi, mewakili “kepongahan sikap” yang nyaris sama dengan kalangan beragama yang fundamentalis dan radikal.

Tak heran, jika orang-orang yang memutuskan untuk meninggalkan agama karena inspirasi dari Dawkins ini, cenderung memiliki sikap yang serupa: pongah. Mereka cenderung memandang dirinya di atas ketinggian moral-intelektual, mengatasi semua orang beragama yang mereka pandang sebagai kaum yang belum dewasa.

Mari kita telaah: Apakah benar klaim Dawkns dan kawan-kawan ini?

Sejarah agama bukanlah seluruhnya sejarah yang terang dan putih. Di sana, kita jumpai sejarah gelap yang menyedihkan. Umat beragama tak seluruhnya mampu melaksanakan ajaran agama mereka. Dalam banyak kasus, mereka terjebak dalam kepongahan doktrinal, pemahaman yang kekanak-kanakan, konflik antar golongan, dan sikap-sikap eksklusivisme. Ini harus diakui.

Dalam sejarahnya, umat beragama pernah mengalami masa-masa gelap kesombongan, dan, karena sikap itu, terlibat dalam konflik agama yang berkepanjangan. Belajar dari kesalahan sejarah inilah, mereka mencoba melakukan otokritik, dan menjalani proses pendewasaan, atau, meminjam istilah Dawkins, “outgrowing”.

Umat Katolik, misalnya, membuat terobosan penting pada 1965 dengan Konsili Vatikan II yang menyatakan, “inter alia”, bahwa gereja bisa menerima keselamatan di luar gereja Katolik. Dengan terobosan ini, gereja Katolik di seluruh dunia mulai membuka diri terhadap agama-agama lain, termasuk Islam.

Abad ke-20 ditandai, antara lain, oleh usaha semua agama untuk mengadakan dialog. Langkah penting ke arah ini terjadi pada 1893 (empat tahun sebelum kelahiran Kiai As’ad Samsul Arifin, sosok penting dalam sejarah kelahiran NU) dengan diadakannya pertemuan para tokoh yang mewakili agama-agama besar dunia dalam sebuah forum yang disebut “Parliament of the World’s Religions”. Pertemuan itu berlangsung di Chicago.

Sejak saat itu hingga sekarang berlangsung pelbagai usaha yang serius di seluruh penjuru dunia untuk melakukan dialog antaragama. Para teolog Kristen, misalnya, mencoba merumuskan teologi baru yang disebut “theologiae religionum”, teologi agama-agama (dalam bentuk plural), bukan hanya agama tertentu saja.

Usaha ke arah dialog ini juga berlangsung di dunia Islam. Dalam forum Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago itu, pihak Islam diwakili oleh Muhammad Alexander Russell Webb, seorang mualaf Amerika. Di Indonesia, rintisan ke arah dialog ini dimulai oleh Gus Dur sejak akhir dekade 70an. Tahun 80an saya ingat sebagai “tahun emas” dialog antaragama di Indonesia. Gus Dur menjadi salah satu aktor penting dalam gerakan ini. Sosok pemikir NU yang harus disebut dalam konteks gerakan dialog ini adalah Masdar F. Masudi.

Baca juga:  Perempuan yang Menulis Tafsir karena Mimpi Bertemu Rasulullah

Salah satu monumen peninggalan Gus Dur dari era ini adalah Dian/Interfidei, sebuah lembaga dialog antariman yang didirikan di Yogyakarta oleh sejumlah tokoh-tokoh antaragama. Para intelektual muslim, baik dari NU atau Muhammadiyah, meneruskan rintisan Gus Dur ini untuk membangun dialog, bukan saja dengan agama-agama dunia, tetapi juga agama dan kepercayaan lokal.

Dari rintisan Gus Dur inilah lahir kesadaran yang sekarang sudah menyebar di banyak kalangan di NU untuk melakukan dialog dengan pihak-pihak di luar Islam. Ibu Sinta Nuriyah Wahid meneruskan warisan dialog Gus Dur itu dengan mengadakan sahur bersama yang kepanitiaannya melibatkan teman-teman dari luar Islam. Secara simbolik, ini gerakan yang amat penting untuk memperkuat dialog.

Berkat terobosan Gus Dur inilah dimungkinkan lahirnya pemandangan ini: Banser menjaga gereja pada saat perayaan Natal selama bertahun-tahun. Seorang anggota Banser bernama Riyanto bahkan meninggal pada 2000 karena bom yang ia singkirkan meledak saat menjaga sebuah gereja di Mojokerto.

Langkah serupa juga kita jumpai dalam Muhammadiyah. Sosok-sosok seperti Buya Syafii Ma’arif, Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, Hajriyanto Y. Thohari, Haedar Naser, Siti Ruhaini Dzuhayatin, dan lain sebagainya, memainkan peran penting dalam dialog antaragama di Indonesia. Kita juga tak boleh melupakan sumbangan pemikiran Cak Nur dalam merumuskan gagasan Islam yang “samhah”, toleran.

Sementara itu peran Prof. Mukti Ali, mantan Menag di zaman Orba dulu, alumni Pesantren Tremas, Pacitan, dan murid dari sarjana besar perbandingan agama Wilfred Cantwell Smith itu, juga amat besar dalam memantik wacana dialog antaragama di tanah air. Dialah berjasan besar dalam mengenalkan busang studi yang disebut perbandingan agama di IAIN.

Pada 1997, Presiden Muhammad Khatami melontarkan ide “dialog antar peradaban” (hiwar al-hadarat) sebagai respon terhadap teori “benturan peradaban” yang dikemukakan oleh profesor ilmu politik dari Universitas Harvard, Samuel P. Hutington. Ajakan ini, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari komitmen moral-etik Khatami sebagai seorang beragama. Agama (dhi. Islam), bagi Khatami, tidak seharusnya menjadi sumber konflik. Ia seharusnya menjasi sumber dialog (al-hiwar).

Raja Abdullah dari Saudi Arabia, negeri yang dikenal dengan ideologi Wahabisme yang keras itu, juga ikut dalam “gerbong global” dialog antaragama ini. Pada awal 2002, dia mulai mengampanyekan pentingnya dialog antaragama dan, bersama para tokoh dari berbagai agama dunia, menggagas berdirinya lembaga dialog antar-agama yang berpusat di Wina, bernama KAICIID Dialogue Centre.

Pada Februari 2019, berlangsung pertemuan antara Syaikh al-Azhar Dr. Ahmad Thayyib dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi untuk membangun persaudaraan kemanusiaan universal. Pertemuan ini menghasilkan dokumen bertitel, “Human Fraternity for World Peace and Living Together”. Versi Arab dokumen ini pernah saya jadikan teks pengajian selama bulan Ramadan pada tahun lalu (2019).

Baca juga:  Idul Fitri dan Apresiasi Liyan

Dalam dokumen ini, dikemukakan sejumlah poin penting, antara lain kritik terhadap kekerasan dan terorisme atas nama agama. Gejala politisasi dan “pemersenjataan” (weaponization) agama juga menjadi salah satu hal yang disorot secara kritis dalam dokumen ini. Ketika membaca teks ini, tak pelak lagi, kita akan menangkap kesan bahwa sebetulnya yang menjadi sorotan dari dokumen ini pertama-tama adalah masalah kekerasan dan ideologisasi (al-adlajah) agama. ISIS adalah salah satu contoh kasus yang terburuk.

Apa tujuan saya menceritakan hal-hal ini?

Perkembangan-perkembangan global dalam masyarakat agama ini saya “jentrehkan” sekedar untuk menunjukkan: bahwa umat beragama, secara historis, bertumbuh dewasa (outgrowing). Ada proses kritik dan otokritik, reformasi, pembaharuan, tajdid, dan penyegaran pemikiran keagamaan yang berlangsung tanpa henti, sejak dahulu, dalam komunitas agama, termasuk Islam. Inilah yang menjadikan perdebatan ide-ide dalam masyarakat agama menarik perhatian saya sejak dulu.

Dengan kata lain, masyarakat beragama pada dasarnya sudah sejak dahulu mengalami proses “outgrowing”. Soal Dawkins tahu hal ini atau tidak, itu perkara lain. Kesalahan mendasar Dawkins, dan ini diikuti oleh para simpatisannya di banyak tempat (termasuk di Indonesia), terletak dalam dua hal berikut ini.

Pertama, ia mangasumsikan bahwa agama dan masyarakat beragama adalah statis, mandeg, tidak mengalami perkembangan dan pendewasaan. Ia, secara implisit, berasumsi: semua orang beragama adalah “ignoramus”, orang-orang bodoh yang, begitu beriman, langsung menghentikan akalnya: “as if religious people are incapable of reasoning”.

Pandangan Dawkins seperti ini, selain tidak historis (karena melakukan “esensialisasi a-historis” terhadap masyarakat beragama), juga menggelikan. Tentu saja banyak orang awam dan bodoh dalam masyarakat agama, dan ini sesuatu yang alamiah dan wajar di mana-mana. Dalam setiap komunitas apa pun, selalu ada orang bodoh. Tetapi mereka bukanlah satu-satunya jenis manusia di sana.

Dalam agama juga berkembang tradisi keilmuan dan intelektual yang canggih. Sejarah agama bukanlah sebatas sejarah konflik dan perang antarsekte, tetapi juga sejarah tentang peran besar yang dimainkannya dalam membangun dan memajukan peradaban ilmu –apa yang disebut oleh sarjana ahli Ibnu Khaldun, Franz Rosenthal, sebagai “knowledge triumphant”.

Sebagaimana dicatat oleh para sarjana yang menekuni sejarah sains, lahirnya sains modern tak bisa dilepaskan dari warisan peradaban Yahudi-Kristen-Islam. Bukan hanya itu: konsep ketuhanan sebagaimana dimiliki oleh agama-agama semitik inilah yang justru memungkinkan lahirnya peradaban sains di Barat. Konsep Tuhan personal yang menciptakan alam dengan seluruh hukum-hukumnya yang teratur dan rasional sebagaimana dikenalkan oleh agama-agama semitik, itulah yang memfasilitasi kultur sains di Barat saat ini.

Baca juga:  Dakwah Sebagai Media Transformasi Sosial (1)

Saya malah ingin mengatakan bahwa sains pada dasarnya adalah “a secularized form of theology”, bentuk yang telah disekularkan dari teologi dan metafisika dalam agama-agama semitik.

Dawkins sepertinya membayangkan: kepercayaan kepada Tuhan hanya bisa dilakukan oleh seseorang dengan satu cara saja, yaitu cara anak-anak atau remaja ingusan; seolah-olah pandangan ketuhanan yang sederhana pada masa kanak-kanak itu akan bertahan secara permanen hingga kapanpun. Dawkins sepertinya mengabaikan fakta bahwa kepercayaan kepada Tuhan ini menjadi telaah teologi dan filsafat selama berabad-abad dan menghasilkan ribuan jilid literatur yang kaya.

Ulama-ulama besar dalam sejarah Islam seperti al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, al-Razi, al-Syahrastani, al-Iji, al-Taftazani, dan lain-lain, tentu mengembangkan pemahaman ketuhanan yang melampuai (outgrowing) pemahaman sederhana ala orang awam. Karya-karya yang mereka tinggalkan mencerminkan salah satu kecemerlangan manusia dalam menggunakan akal yang dianugerahkan Tuhan.

Teolog besar modern seperti Paul Tillich, Karl Rahner, Karl Barth, Wolfhart Pannenberg, Hans Küng (untuk menyebut beberapa nama saja), telah mengembangkam suatu sistem teologi yang sangat kompleks dan canggih, suatu pekerjaan pikiran yang membutuhkan imajinasi intelektual yang tak kalah besar dari imajinasi yang dibutuhkan oleh Einstein untuk melahirkan teori relativitas.

Persoalan pada orang-orang seperti Dawkins hanyalah satu: semua pekerjaan para teolog besar itu belum mencukupi untuk memenuhi harapan dia mengenai apa yang ia sebut “outgrowing”. Bagi dia, hanya ada satu tanda saja bagi seseorang yang telah dewasa: ikuti sains, tinggalkan Tuhan dan agama. Titik. Tak ada diskusi lagi.

Pada titik ini, kita berjumpa dengan kepongahan yang mirip dengan kaum fundamentalis agama. Sikap mereka bisa diringkaskan secara sederhana kira-kira demikian: Atau kamu mengikuti mazhab saya, atau kamu kafir!

Kekeliruan Dawkins kedua adalah bahwa sains (dalam pengertian ilmu-ilmu kealaman) dengan sendirinya akan meniscayakan seseorang untuk meninggalkan agama. Bagi dia, hanya tersedia dua pilihan sahaja: agama atau sains. Jika memilih agama, anda bodoh, belum dewasa, belum “outgrowing”. Jika memilih sains, anda dewasa, matang, dan harus meninggalkan agama.

Pandangan Dawkins ini hanya mewakili satu model saja dalam “interface” dan hubungan antara agama dan sains. Dawkins mewakili model konflik dalam hubungan ini. Tetapi model ini bukanlah satu-satunya.

Dalam tulisan berikut, saya akan tunjukkan model-model lain yang lebih bernuansa dalam melihat hubungan antara sains dan agama. Saya juga akan memperlihatkan beberapa contoh saintis modern yang tetap beriman; tak melihat konflik apapun antara pekerjaan sains dan kepercayaan yang mereka peluk.

Sampai berjumpa di tulisan selanjutnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top