Sedang Membaca
“Fiksasi” dalam Hukum Islam: Membaca Kitab “Mughnil Muhtāj”
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

“Fiksasi” dalam Hukum Islam: Membaca Kitab “Mughnil Muhtāj”

Saya akan mulai esei ini dengan sebuah “disclaimer.”

Kata “fiksasi” dalam catatan ini bukanlah “istilah teknis” dalam ilmu hukum. Saya tidak tahu istilah yang lebih standar dalam teori hukum modern untuk mengungkapkan pengertian yang akan saya tulis di sini. Yang jelas, istilah ini tidak saya pakai dalam pengertian “legal certainty” (kepastian hukum), istilah kunci dalam teori “rule of law”. Apa yang saya maksud dengan “fiksasi” akan menjadi jelas dalam uraian saya berikut ini.

Dalam setiap sistem hukum, baik hukum agama atau sekuler, kita jumpai kecenderungan umum dan alamiah menuju apa yang ingin saya sebut sebagai “fiksasi”. Yang saya maksud dengan istilah ini adalah: kecenderungan membuat sesuatu yang semula kabur, tidak jelas, remang-remang, ambigu dalam sebuah aturan atau hukum menjadi jelas, terang, pasti, “fixed”. Fiksasi adalah pemastian dan penetapan.

Sebab hukum memang hadir dalam masyarakat manusia agar ada kepastian di sana; kepastian berkenaan dengan hak dan kewajiban, baik bagi individu atau kelompok. Dengan kepastian, orang-orang tak lagi cemas, tak lagi khawatir menjadi “korban” dari orang-orang “kuat” yang biasanya diuntungkan oleh ambiguitas aturan.

Mereka akan mendapatkan rasa aman.

Oleh karena itu, jika muncul kekaburan dalam aturan, para ahli hukum biasanya akan lekas-lekas menghalaunya. Caranya: melakukan fiksasi atau pemastian. Fiksasi adalah “instink sosial” yang bekerja dalam setiap masyarakat, di manapun dan kapanpun. Kekaburan adalah ancaman bagi sebuah kepastian; dan kepastian adalah fondasi penting bagi sebuah “order”, tata, keteraturan dalam masyarakat.

Sebab, hanya dengan fiksasi inilah jaminan akan rasa aman bisa dipulihkan kembali.

Ada perkara lain yang juga penting: kekaburan dalam hukum atau aturan biasanya menjadi “kuda troya” yang akan menyelundupkan “musuh” bernama ketidak-adilan. Kekaburan biasanya akan dimanfaatkan oleh “the privileged”, orang-orang yang diuntungkan, entah karena kekuasaan, status sosial, atau kekayaan mereka, untuk melakukan kecurangan. Walhasil: setiap kekaburan hukum akan menguntungkan kelompok kuat, dan merugikan kelompok lemah.

Kecenderungan fiksasi ini terjadi juga dalam hukum Islam alias fiqh (atau “fekih” dalam pelafalan yang saya sukai dan dulu sering digunakan oleh alm. Kiai Sahal Mahfudz dari Kajen, Pati, Jawa Tengah). Dalam fiqh, fiksasi berlangsung pada banyak kasus. Saya akan menampilkan contoh kecil di sini: nafkah bagi isteri.

Baca juga:  Digitalisasi Dakwah dan Belajar dari Ceramah Ustazah Oki

Dalam “Mughni-l-Muḥtāj”, salah rujukan penting dalam mazhab Shafi‘i yang ditulis oleh al-Khaṭīb al-Shirbīnī (w. 977 H/1570 M), kita jumpai sebuah contoh kasus yang menandai gejala fiksasi ini. Contoh ini berkenaan dengan soal nafkah itu. Ini bisa dilihat dalam bab “kitab al-nafaqāt” pada juz ke-3, halaman 559 (dalam edisi Dār al-Ma‘rifah, Beirut, 1997). Berkenaan dengan masalah ini, hukum Islam yang standar “mengkonstruksikan” suami sebagai “bread winner”, pencari/pemberi nafkah. Ini adalah konstruksi peran suami yang tidak hanya kita jumpai pada Islam, melainkan dalam hampir semua masyarakat tradisional di manapun. Suami dipandang sebagai kepala keluarga.

Catatan selingan: Tentu saja, dalam perkembangan modern, muncul sejumlah pemikir muslim yang, dengan menggunakan perspektif keadilan jender, mulai menafsir-ulang konstruksi semacam ini dengan, misalnya, membawa konsep baru tentang “mubadalah,” seperti dikemukakan oleh Kiai Faqih Abdul Kodir dari Cirebon. Tetapi ini tema lain di luar pembahasan saya di sini.

Pertanyaannya: Adakah batasan yang jelas, “fixed”, bagi nafkah yang mesti diberikan oleh suami kepada isterinya? Jika ada, berapa? Apakah batasan ini berlaku “harga mati,” atau kontekstual?

Di sinilah ada debat kecil mengenai masalah ini dalam lingkungan mazhab Shafi‘i — mazhab fiqh yang banyak dianut di kawasan Asia Tenggara. Debat ini muncul karena baik dalam Qur’an maupun hadis, tidak dijumpai keterangan tentang “batasan” yang “fixed”, jelas, soal nafkah ini. Timbullah situasi “ambigu”, kabur. Tugas ahli hukum, seperti sudah saya sebutkan, adalah menghalau kekaburan ini.

Ada dua mazhab mengenai batas ini: “mazhab kifāyah” dan “mazhab amdād”. Mazhab kifāyah mengatakan: tidak ada batas yang “fixed” bagi nafkah yang harus ditanggung suami; yang penting: secukupnya, “al-kifāyah”. Mazhab ini memakai hadis berikut ini sebagai hujjah. Hadis ini terkait dengan “complaint” yang diajukan oleh Hindun binti ‘Utbah, isteri Abu Sufyan (ayah dari Mu‘awiyah, pendiri dinasti pertama dalam sejarah Islam: Dinasti Bani Umayyah), kepada Kanjeng Nabi.

Dalam hadis ini dikisahkan, Hindun berkeluh kesah mengenai perangai suaminya yang pelit luar biasa. Suaminya tak mau memberinya nafkah cukup. Ia terpaksa “mengambil diam-diam” harta suaminya untuk menafkahi dirinya. Solusi yang diberikan Kanjeng Nabi adalah: “Khudhī mā-yakfīki wa-waladaki bi-l-ma‘rūfi”; ambillah secukupnya secara “baik-baik” untuk dirimu dan anak-anakmu. Nabi, seperti bisa kita baca dalam hadis ini, tidak memberikan batasan yang jelas. Nabi menggunakan istilah yang bersifat “umum” — “mā-yakfīki”. Dari sinilah muncul istilah “kifāyah” (secukupnya).

Baca juga:  Kita dan Tragedi 65 (8): Upaya Generasi Muda NU Menjadi Koncone Wong PKI

Inilah pendapat Imam Shafi‘i dalam apa yang disebut “qaul qadīm”, yaitu pendapat yang ia pegangi saat masih berada di Irak, sebelum berpindah ke Mesir pada 815 M, pada saat berusia 48 tahun (Imam Shafi‘i wafat dalam usia yang belum terlalu sepuh: 53 tahun).

Tetapi, pendapat Imam Shafi‘i berubah dalam perkembangan belakangan. Perubahan ini menandai suatu gejala yang dalam awal tulisan ini saya sebut “fiksasi,” gejala pemastian. Inilah pendapat yang disebut “qaul jadīd,” pendapat baru. Dalam pendapat baru ini, nafkah yang semula “mengambang,” karena tak memiliki batas yang jelas (yaitu: kifāyah), di-fiksasi, dipastikan. Inilah pendapat yang kemudian melembaga menjadi semacam “ortodoksi” atau ajaran resmi dalam mazhab Shafi‘i.

Batasan nafkah dalam “qaul jadīd” adalah sebagai berikut: Bagi suami yang berkecukupan, ia harus memberi nafkah dua “mudd” beras atau makanan pokok lain, per hari; suami yang”kere,” satu mudd; sementara suami yang mendingan, satu setengah mudd. Dalam sistem metrik, satu mudd setara dengan 650 gram. Ini di luar sejumlah tanggungan lain: pakaian, gerabah, perabot rumah tangga, dan pembantu (jika isteri bersangkutan termasuk orang yang biasa hidup dengan pembantu). Dari kata “mudd” inilah muncul istilah “amdād”. Jika pendapat pertama disebut sebagai “mazhab kifāyah”, pendapat kedua ini disebut “mazhab amdād”.

Inilah “batasan” nafkah yang saat ini kita jumpai dalam semua literatur mazhab Shafi‘i, termasuk dalam kitab “Mughni-l-Muhtāj” yang saya pakai sebagai rujukan untuk catatan ini. Sebagian besar ulama Shafi‘iyyah mengikuti “qaul jadīd” ini.

Tetapi ada, dan ini yang menarik, satu ulama yang tetap cenderung memegangi “qaul qadīm”, yaitu Shihabuddin al-Adhra‘i (w. 783 H/1381 M), seorang ulama yang berasal dari Aleppo, Syria. Yang menarik adalah alasan yang digunakan oleh al-Adhra‘i. Menurutnya: qaul qadīm lebih sesuai dengan sunnah Nabi; istilah yang ia pakai adalah: “ta’assiyan wa-t-tibā‘an”.

Baca juga:  Relativisme Budaya dan Kemunduran: Tanggapan terhadap Hamidulloh Ibda

Di sini kita melihat dua hal yang mungkin dari permukaan tampak saling bersitegang: jika mengikuti sunnah Nabi, tak ada batasan tertentu bagi nafkah; jika mengikuti imperatif kepastian dalam hukum, dituntut kejelasan bagi nafkah itu. Mazhab Shafi‘i, sebagaimana kita tahu, mengikuti jalan kedua, yaitu imperatif kejelasan dan fiksasi. Dibandingkan mazhab-mazhab lain, mazhab Shafi‘i memang lebih menonjol dalam aspek fiksasi ini.

Ini tampak, misalnya, dalam kasus lain, yaitu alasan (‘illat) kebolehan meng-”qaṣar” salat dalam perjalanan. Mazhab Shafi‘i berpendapat: ‘illat kebolehan itu adalah “jarak” (al-masāfah), bukan “kepayahan” karena perjalanan (al-masyaqqah). Konsep jarak jelas lebih “fixed” (“munḍabiṭ”) tinimbang “kepayahan” yang ambigu.

Inilah contoh fiksasi hukum (ḍabṭ al-ḥukm) dalam kasus yang amat mikro: nafkah bagi isteri. Meskipun ini kasus mikro, tetapi ia bisa mewakili sebuah kecenderungan besar dalam hukum Islam secara lebih luas. Fiksasi dalam konsep “nafkah” ini akan menjamin kepastian bagi seorang isteri. Kekaburan batasan dalam nafkah bisa saja menjadi “celah” bagi suami yang “nakal” untuk berlaku pelit dan bertindak tak adil terhadap isterinya. Fiksasi menjamin keadilan yang merupakan fondasi amat penting dalam syariat Islam.

Tetapi, yang tak boleh kita lupakan, setiap fiksasi hukum biasanya juga akan membawa dampak sampingan yang problematis. Saya tak akan membahasnya dalam catatan ini; mungkin perlu catatan terpisah. Di sini, saya hanya ingin menunjukkan bagaimana “fiksasi” yang merupakan gejala umum dalam cara kerja hukum itu berlangsung dalam konteks fiqh Islam.

Fiksasi bisa juga kita pandang sebagai prosedur “legal-teoritis” untuk menjembatani antara doktrin hukum yang bersifat umum dengan situasi kongkret yang menuntut batas-batas yang jelas. “Keharusan menafkahi isteri secukupnya” adalah doktrin yang bersifat umum. Agar doktrin ini memiliki “kaki” yang jelas, ia butuh “fiksasi”.

Tugas para fuqaha’-lah untuk melakukan fiksasi ini, agar doktrin hukum yang bersifat umum itu bisa diterjemahkan dalam kehidupan kongkret.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top