Memang menyedihkan sekali mendengar kabar bahwa Didi Kempot meninggal dalam usia yang masih cukup muda, dalam umur yang kurang lebih sama dengan Imam Ghazali, ulama besar yang kitabnya, Ihya’ Ulumiddin, saya baca setiap malam pada bulan puasa ini — umur 53 tahun.
Didi Kempot meninggal pada saat ketika dia justru mulai menanjak (kembali) karirnya, ketika dia mulai memanen hasil dari perjuangannya bertahun-tahun, jatuh bangun, membangun “karir musik” dari tangga yang benar-benar paling bawah: ngamen di trotoar.
Ribuan orang, saya kira, menangisi kepergian seniman yang bagi saya sangat unik ini. Yang lebih menakjubkan adalah bahwa di antara ribuan penduka itu terdapat banyak anak-anak muda dari generasi millenial yang selera musiknya sama sekali tak ada sambung-menyambungnya dengan karakter musik campur sari atau keroncong-dangdut-nya Didi Kempot.
“The genius of Didi Kempot,” menurut saya, adalah bahwa dia bisa melakukan sesuatu yang “very unlikely,” sesuatu yang tampaknya sulit terjadi. Jika seorang penyanyi pop atau rock sukses menyihir anak-anak muda millenial di perkotaan, itu biasa, normal. Tetapi Didi Kempot datang dari latar sosial yang sama sekali tak “gathuk” atau nyambung dengan konteks kehidupan anak-anak muda perkotaan.
Tetapi, voila, Didi Kempot berhasil mendesakkan dirinya yang datang dari latar “kampung” dan corak musik “pinggiran” (campur sari) itu ke lanskap sosial perkotaan yang identik dengan budaya pop modern. “The genius of Didi Kempot is to do an unlikely thing in music.”
Hal lain yang kurang normal pada Didi Kempot adalah bahwa dia justru mulai “cemlorot” dan sukses pada usia yang sudah tidak muda lagi. Ini jelas sesuatu yang tak lazim. Biasanya para pemusik meraih sukses pada usia-usia yang masih cukup muda, di kisaran umur 20an dan 30an. Didi Kempot justru mulai “moncer” (kembali) saat sudah berusia kepala lima. Ini adalah “another unlikely thing” lagi yang mengagumkan pada sosok ini.
Dalam sebuah wawancara di acara Kick Andy setahun lalu, Didi Kempot berkisah bahwa pada tahun 2000an, dia justru lebih populer di Suriname ketimbang di negerinya sendiri, dan ini berlangsung selama bertahun-tahun. Ini juga “very unlikely”.
Lebih dari segala-galanya, yang menakjubkan pada Didi Kempot adalah produktivitasnya dalam menulis lagu. Dia menulis lebih dari 700 lagu orisinal, sebagian besar dalam bahasa Jawa. Hampir semua lagu-lagu itu mengenai tema yang sama, tetapi toh tidak membuat bosan pendengarnya: cinta yang gagal dan dikhianati.
Ini tema yang sudah kita kenal sejak novel Sitti Nurbaya-nya Marah Rusli atau Di Bawah Lindungan Ka’bah-nya Hamka. Tema yang klise, tetapi didekati dengan cara yang sama sekali tidak klise. Ini adalah tema universal yang kita jumpai dalam lirik-liriknya Adele dan para penyanyi dunia lain. Tetapi Didi Kempot toh tidak kehilangan “orisinalitas” ketika menggarap tema yang sudah “terlalu gosong” ini.
Tak pelak lagi, salah satu kesuksesan Didi Kempot adalah liriknya yang menyuarakan cinta yang gagal, cinta yang ambyar, “a brokenness of heart.” Tentu saja, ada hal-hal lain di balik kesuksesan musikal Didi Kempot dalam “usia kemusikan” yang sudah cukup sepuh ini; misalnya: orang-orang di balik layar yang melambungkan sosok ini di kalangan anak-anak millenial.
Yang membuat saya bertanya-tanya adalah: begitu sulitkan menemukan cinta saat ini, sehingga lagu-lagunya Didi Kempot begitu populer? Begitu banyakkah orang-orang yang gagal dalam cinta sekarang? Apakah cinta yang berhasil dimenangkan adalah sesuatu yang “unlikely” pada hari-hari ini? Jika iya, apa penyebabnya?
Janjine lungane ra nganti suwe-suwe
Pamit esuk lungane ra nganti sore
Janjine lungane ra nganti semene suwene
Nganti kapan tak enteni sak tekane
Saya tak tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Yang jelas, Didi Kempot, melalui lagu-lagunya yang bernada melodramatis (sedih berlarat-larat), telah mewakili “perasaan” jutaan orang yang menderita karena “kasih tak sampai,” karena cinta yang dikhianati.
Di tengah-tengah zaman ketika komunikasi antara laki-laki dan perempuan terbuka dengan leluasa karena adanya Facebook dan Instagram (bandingkan dengan keadaan di pesantren, di mana DULU [ndak tahu sekarang] mencari celah untuk “surat-suratan” antara santriwan dan santriwati begitu susah!), ternyata cinta yang “beneran” sulit ditemukan.
Atau jika berhasil ditemukan, akhirnya toh dikhianati juga. Apa yang salah dengan zaman millenial ini?
Mas Didi, engkau benar-benar khusnul khatimah…