Dalam sebuah percakapan personal saat saya berkunjung ke rumahnya di Yogyakarta, Dr. Amin Abdullah, intelektual terkemuka Muhammadiyah asal Pati yang dikenal dengan gagasannya tentang “integrasi ilmu-ilmu” itu, pernah melontarkan sebuah observasi menarik tentang anak-anak muda NU, baik yang menempuh pendidikan tinggi di IAIN/UIN atau Ma’had Aly (perguruan tinggi yang dikelola pesantren). Demikian kira-kira komentar dia: “Anak-anak pesantren yang sudah belajar ushul fiqh, begitu diberikan sentuhan sedikit metode dan pendekatan ilmu-ilmu sosial, akan langsung jalan sendiri.”
Pak Amin menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Turki. Ia menulis disertasi tentang perbandingan antara teori etika al-Ghazali dan filsuf besar Jerman, Immanuel Kant. Ketika baru pulang dari Turki, ia pernah diundang untuk ceramah di sebuah pesantren di daerah Kesugihan, Cilacap. Nama pesantren ini amat unik: Pesanten al-Ihya’ ‘Ulumaddin; tentu saja diambil dari salah satu karya al-Ghazali yang paling terkenal, yaitu Ihya’. Pak Amin menulis makalah yang lumyan panjang mengenai pikiran-pikiran al-Ghazali. Di sana, ia tidak sekedar mengulas al-Ghazali, tetapi juga kritik terhadap gagasan-gagasan ulama besar dari Tus itu.
Dua anekdot ini sengaja saya pakai sebagai pembuka untuk bagian kedua dari respon saya terhadap tuduhan bahwa al-Ghazali sumber kemunduran dunia Islam. Dalam bagian pertama, saya sudah membeberkan situasi dan peta pemikiran yang saya jumpai di kalangan para anak-cucu al-Ghazali dan al-Asy’ari di Indonesia; persisnya di kalangan santri, anak-anak muda, intelektual, dan aktivis NU. Saya menggunakan pendekatan “induktif” untuk menjawab tuduhan itu: yaitu dengan menunjukkan situasi empirik di lapangan.
Melalui tulisan seri pertama kemaren, saya telah mencoba menunjukkan bahwa secara de facto, anak-cucu al-Ghazali di Indonesia justru menampakkan sikap keilmuan dan keagamaan yang terbuka. Tuduhan bahwa ajaran-ajaran al-Ghazali menimbulkan kemunduran cara berpikir di dunia Islam, tidak terbukti, sekurag-kurangnya dalam konteks komunitas nahdliyyin. Komentar Amin Abdullah dalam pembukaan tulisan ini memperlihatkan kenyataan yang menarik: Justru ada kesediaan anak-anak santri (walau tidak semua) untuk menerima jenis “pengetahuan” dan “pendekatan” baru yang lebih terbuka dalam memahami teks-teks agama.
Sosok-sosok seperti Kiai Husein Muhamad, Afifuddin Muhajir, Faqihuddin Abdul Kodir, Ahmad Nakhe’i, Nur Rofiah, Badriyah Fayumi, Maria Ulfah Ansor, Musdah Mulia, Abdul Moqsith Ghazali, Zuhairi Misrawi, M Jadul Maula, M Imam Aziz, Irwan Masduki, Marzuki Wahid, dll. adalah santri-santri yang semula “nggula wentah”, mencari ilmu-ilmu keislaman tradisional di pesantren. Tetapi, dengan sentuhan “metodologi modern”, mereka kemudian berhasil melakukan “dinamisasi” (ini adalah istilah yang pernah dipakai oleh Gus Dur dulu) terhadap ilmu-ilmu tradisional.
Kasus Pesantren al-Ihya’ ‘Ulumaddin di Cilacap yang saya sebut di awal tulisan ini, mendedahkan fakta yang menarik: pesantren tradisional NU mau mengundang sarjana modern dari kalangan Muhammadiyah dan menyampaikan ceramah yang berisi kritik atas al-Ghazali. Pesantren ini mecatatkan sejarah yang unik dalam trajektori pemikiran keagamaan di NU. Di pesantren inilah berlangsung salah satu diskusi penting pada tahun 80an tentang apa yang oleh Masdar F. Mas’udi pada saat itu sebagai “kontekstualisasi” Kitab Kuning (KK).
KK adalah sebutan untuk kitab-kitab berbahasa Arab yang menjadi bahan ajar di pesantren. Gagasan tentang kontekstuakisasi KK dilontarkan oleh Masdar F. Mas’udi, seorang pemikir NU muda yang sedang “cemlorot” pada awal tahun 90an. Ia dikenal, antara lain, melalui bukunya yang cukup “mengguncang”: “Agama Keadilan”. Dalam buku ini, ia banyak melontarkan kritik dan pembacaan ulang atas teologi tradisional NU (baca: akidah Asy’ariyah).
Gagasan kontekstualisasi ini mendapat dukungan dari banyak kiai, antara lain Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Mustholih Badawi (pengasuh Pesantren al-Ihya’ Kesugihan, Cilacap) dan, tentu saja, Gus Dur. Inti gagasannya ialah: melakukan penafsiran dan pembacaan kembali kitab-kitab lama yang diajarkan di pesantren dalam terang perkembangan sosial yang baru. Gagasan ini kelihatannya sederhana, tetapi “gaung intelektual”-nya sangat panjang, dan masih terus bergema hingga sekarang. Gagasan inilah yang, menurut saya, menciptakan suasana pemikiran yang “kritis” di kalangan generasi muda NU pada zaman itu.
Suasana ini terus bertahan hingga sekarang. Keterbukaan anak-anak NU terhadap bacaan-bacaan baru sejatinya terjadi, antara lain, karena jasa generasi Masdar F. Mas’udi pada tahun 90an untuk melalukan kontekstualisasi Kitab Kuning. Tentu saja peran Gus Dur tidak bisa diabaikan. Dialah yang menyuntikkan rasa peraya diri pada anak-anak NU untuk melakukan penjelajahan pemikiran.
***
Dalam bagian ini, saya akan masuk ke “cluster” kedua dan ketiga. Fokus bagian ini akan diarahkan kepada masalah-masalah kebudayaan dan politik. Dalam sektor ini, sekali lagi saya akan menunjukkan dinamika yang menarik di dalam tubuh warga nahdliyyin. Saya akan mulai dengan sektor kebudayaan, sebab perdebatan yang cukup hangat dalam pemikiran Islam sejak kira-kira lima belas tahun terakhir ini berkaitan dengan masalah hubungan antara Islam dan kebudayaan lokal.
Sebagaimana kita tahu, dalam beberapa tahun terakhir ini, ada kecenderungan di sebagian kalangan Islam ke arah “neo-puritanisme”. Tren ini muncul di kalangan sebagian muslim perkotaan, dan sebagian dari mereka berasal dari kelas sosial yang cukup terdidik, dan secara ekonomi tergolong relatif “well-off”, mampu.
Saya sebut “neo-puritanisme”, sebab ini adalah sebentuk gerakan pemurnian baru yang marak bersamaan dengan bangkitnya arus salafisme di Indonesia. Gerakan neo-puritanisme ini muncul dalam bentuk sikap “permusuhan” terhadap praktek-praktek kebudayaan lokal. Bagi kelompok-kelompok neo-puritan ini, kebudayaan lokal dipandang sebagai hal yang akan “mengotori” kemurnian akidah Islam. Karena itu, praktek-praktek kebudayaan lokal ini (seperti ritual sedekah bumi, laut, dan ritual-ritual lain yang sering kita saksikan dalam masyarakat agraris), sebisa mungkin harus dibersihkan.
Jika pada level pemikiran kita telah melihat sikap keterbukaan terhadap ide-ide baru di kalangan anak-anak NU, tren serupa juga kita lihat dalam isu-isu kebudayaan. Dalam sektor ini, sangat tampak sekali “pembelaan otentik” yang dilakukan oleh anak-anak NU terhadap kebudayaan lokal. Gagasan Islam nusantara yang kontroversial itu, sejatinya, muncul sebagai semacam “counter narrative” terhadap kecenderungan arabisasi Islam di Indonesia.
Inti gagasan ini adalah: melihat kembali kekayaan kultural Islam yang tumbuh dan berkembang di kawasan nusantara. Melalui wacana ini, waraga nahdliyyin hendak menegaskan bahwa umat Islam di kawasan nusantara memiliki “agency”, kemampuan untuk merumuskan corak Islam sendiri yang khas, yang sesuai dengan konteks lokal. Kiblat kutural dan pemikiran Islam tidak melulu harus diarahkan ke Timur Tengah. Umat Islam di luar kawasan Arab juga memiliki hak untuk “menulis” corak keislaman mereka sendiri.
Dalam lima hingga enam tahun terakhir ini, saya menyaksikan gairah yang amat mengesankan di kalangan teman-teman NU untuk “memburu” dan mengkaji kembali naskah-naskah Islam yang berkembang di nusantara. Karya-karya ulama nusantara yang menggunakan bahasa-bahasa lokal (Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Makssar, Sasak, Banjar, dll.) mulai mendapatkan perhatian dari para filolog nahdliyyin. Munculnya perhatian atas kebudayaan lokal ini berbarengan dengan naiknya resputasi filologi sebagai pendekatan ilmiah yang digemari oleh generasi baru sarjana NU. Di sini, saya melihat semacam “philological turn”, belokan ke arah filosogi sebagai metode baru untuk menggali kebudayaan lokal.
Sosok-sosok seperti Oman Fathurrahman, Mahrus El Mawa, Adib Misbachul Islam, Zainul Milal Bizawie, Ahmad Ginanjar Sya’ban, Ali Abdillah, Idris Masudi, Fathurrochman Karyadi, dll., telah memainkan peranan intelektual yang penting dalam belokan filologis di kalangan generasi baru NU ini. Selain nama-nama di atas, saya harus menyebut tiga nama yang juga sangat penting sumbangan pemikirannya dalam membangkitkan perhatian anak-anak NU kepada kebudayaan lokal: yaitu Bisri Effedi, Agus Sunyoto dan Muhammad Jadul Maula. Dengan caranya masing-masing, ketiga sosok ini telah membawa “kebudayaan lokal” ke dalam percakapan anak-anak NU.
Di sini kita melihat adanya evolusi pemikiran di kalangan anak-anak muda NU. Jika pada dekade 80an dan 90an antusiasme intelektual mereka terarah “keluar” (outward looking), sebagaimana tampak dalam ke-“adreng”-an mereka untuk “melahap” gagasan-gagasan kritis yang datang dari dunia Arab dan Barat, maka dalam sepuluh terakhir ini muncul “arus balik”. Saya hendak menyebutnya sebagai arus “going local” — menoleh ke “dalam” untuk menelaah kekayaan tradisi lokal. Ini tidak berarti bahwa mereka meninggalkan sama sekali bacaan-bacaan dari “dunia luar” (baca: Arab dan Barat). Mereka hanya berusaha mengimbangi “pemikiran luar” itu dengan kekayaan yang berasal dari “dalam” kebudayaan sendiri.
Apakah pentingnya gerak “ke dalam” semacam ini? Bukankah ini sebentuk kemunduran, karena bisa menghidupkan semangat “kepribumian” dan atavisme yang kontra-produktif? Di zaman ketika semua orang mengelu-elukan globalisasi dan pentingnya menjadi “modern”, tidakkah gerakan “going local” semacam ini justru bisa memantik romantisasi yang tidak sehat atas segala yang “lokal”?
Tentu saja, gerak melihat ke “dalam” ini bisa berujung kepada ekses-ekses yang negatif jika tidak disertai sikap kritis; dari sana, bisa timbul romantisasi yang berlebihan terhadap masa lalu; terhadap kebudayaan pribumi. Tetapi, sejauh pengamatan saya selama ini, antusiasme anak-anak NU untuk mempelajari kebudayaan dan ekpresi-ekpresi Islam lokal masih berjalan dalam semangat yang sehat, yaitu menghargai artikulasi Islam yang berasal dari negeri sendiri; tidak menganggap bahwa hanya artikulasi Islam yang berasal dari Arab lah yang boleh dianggap valid dan “mu’tabar”. Sikap semacam ini merupakan terjemahan langsung dari gagasan Gus Dur tentang “pribumisasi Islam”.
Yang menarik, dalam konteks Indonesia (dan saya melihat tren serupa di negeri-negeri lain pula), ada semacam korelasi antara wawasan keagamaan yang menghargai kultur lokal dengan sikap toleransi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda, terutama kaum minoritas. Golongan-golongan Islam yang intoleran terhadap kelompok minoritas, secara de facto, juga memiliki sikap tidak bersahabat terhadap kultur lokal.
Sebaliknya, kalangan yang mampu menoleransi kultur lokal biasanya juga memiliki sikap toleran terhadap kelompok minoritas. Jika kita telaah lanskap Islam Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, tampak sekali bahwa suara yang paling lantang membela minoritas di Indonesia umumnya datang dari tokoh-tokoh nahdliyyin (dan, tentu, saja Muhammadiyah; saya langsung terpikir tentang sosok Muhammad Najib Burhani, pemikir Muhammadiyah yang menulis buku “Menemani Minoritas”). Begitu juga, suara yang menekankan pentingnya penghargaan terhadap kebhinnekaan, umumnya juga berasal dari kalangan nahdliyyin. Sekali lagi, anak-anak cucu al-Ghazali lah yang paling antusias mengusung gagasan pribumisasi Islam yang kemudian juga berkorelasi dengan sikap menghargai minoritas.
***
Dalam sektor politik, gagasan dan tindakan para anak-cucu al-Ghazali juga tak kalah mengesankan bagi saya. Ketika muncul gerakan yang menuntut formalisasi syariat Islam di Indonesia pada tahun-tahun awal era reformasi, suara yang keras menentang ide ini, sekali lagi, datang dari kalangan nahdliyyin. Kiai Hasyim Muzadi dan Kiai Said Aqil Siradj, dan diukung oleh kiai, tokoh, dan intelektual NU yang lain, secara konsisten selalu menyuarakan ketidak-setujuan terhadap formalisasi syariat.
Kiai Afifuddin Muhajir, misalnya, melontarkan gagasan yang menarik: syariat Islam tidak bisa dilaksakanan di Indonesia tanpa melalui proses “taqnin” atau legislasi atau pengundangan oleh parlemen. Sebab Indonesia bukanlah negara Islam. Hanya karena syariat Islam dianggap sebagai hukum yang sakral oleh umat Islam, tidak otomatis ia bisa diterapkan begitu saja. Ia harus melalui proses legislasi, “taqnin”. Bagi saya, seorang kiai “pondokan” bisa berpikir seperti ini, jelas amat mengesankan. Ini bukan kiai lulusa Amerika atau Eropa. Ini kiai “ndeso”. “Ulama kota” belum tentu berani berpikir sejauh ini!
Dalam sepuluh tahun terakhi ini, terjadi diskusi yang menarik di kalangan kiai, santri, dan para pemikir NU tentang pentingnya merumuskan kembali “fiqh siyasah” (fiqh kenegaraah, fiqh politik) agar sesuai dengan konteks Indonesia — apa yang oleh santri-santri Pondok Lirboyo, Kediri, disebut “fiqh kebangsaan.” Saya amat suka dengan istilah ini: fiqh al-wathaniyyah, fiqh kebangsaan.
Dalam fiqh semacam ini, dirumuskan sejumlah gagasan yang menarik. Sebagai catatan selingan: munculnya fiqh semacam ini menandakan bahwa fiqh tidak bersifat “jumud” atau stagnan, sebagaimana disangka oleh sebagian kalangan selama ini. Fiqh memang bisa saja jumud, bahkan “radikal” seperti fiqh dalam gagasan kaum jihadis atau kelompok-kelompok muslim revivalis. Tetapi fiqh juga bisa menjadi pengetahuan yang dinamis di tangan anak-anak cucu al-Ghazali, seperti dalam contoh Kiai Afif itu.
Salah satu gagasan baru yang muncul dari fiqh baru ini ialah memahami kembali istilah “kafir”. Istilah “kafir”, dalam wawasan fiqh kebangsaan itu, seharusnya tidak dipakai untuk menyebut warga negara non-Muslim. Dalam konteks kebangsaan, bukan dalam konteks akidah dan agama, semua orang yang tinggal di Indonesia sudah selayaknya disebut “warga negara” sahaja, bukan seorang “kafir” atau sebutan-sebutan sektarian lain. Gagasan fiqh kebangsaan semacam ini jelas amat penting dalam kerangka membangun negara modern.
Dalam sebuah negara modern, semua penduduk dipandang sebagai “warga negara” (citizen, muwathin), dengan hak-hak konstitusional yang sama, tanpa melihat latar agama atau sektenya. Dalam konteks kebangsaan, tidak ada lagi label “kafir” atau “muslim”; yang ada adalah “warga negara”. Dengan fiqh kebangsaan semacam ini, diam-diam para kiai NU sudah memasuki “filsafat politik” yang amat krusial — mereka diam-diam telah merumuskan teor “citizenship” atau kewarganegaraan baru berdasarkan tradisi mereka. Dalam tradisi ini, tentu saja ada unsur-unsur yang berasal dari ajaran al-Ghazali.
Dua kiai NU layak disebut dalam konteks perumusan fiqh baru di bidang politik ini, yaitu Kiai Masdar F. Mas’udi dan Afifuddin Muhajir. Kiai Afif adalah seorang ‘alim dalam bidang ushul fiqh. Ia adalah guru dari pemikir NU muda yang cemerlang: Abdul Mosith Ghazali. Ia mengajar di Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Asembagus, Situbondo. Ia telah menulis karya yang amat penting: “Fiqh Tata Negara” (2017). Sementara itu, Kiai Masdar, seorang pemikir dari generasi sebelum Kiai Afif, juga menulis karya yang tak kalah penting: “Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam” (2010).
Dua buku ini, di mata saya, merupakan sumbangan besar dari anak-anak cucu al-Ghazali di Indonesia untuk merumuskan gagasan kenegaraan baru yang sesuai dengan realitas di Indonesia dan “kemoderenan” (ini istilah yang saya pinjam dari Cak Nur). Gagasan kenegaraan mereka ini jauh lebih masuk akal dan maju daripada gagasan kenegaraan yang dimiliki kalangan Muslim revivalis atau salafis — kelompok yang umumnya mewarisi pikiran-pikiran Ibn Taymiyah (w. 728 H/1328 M) ketimbang al-Ghazali.
Salah satu momen penting yang harus terus diingat, karena ia memiliki “makna teologis” yang besar dalam memaknai ulang gagasan fiqh siyasah tradisional, adalah langkah berani yang pernah diambil oleh seorang Kiai Ahmad Ishomuddin,, seorang kiai lulusan Pondok Langitan, Tuban, dan salah satu Rais Syuriyah PBNU dalam periode kepengurusan sekarang. Pada 2017, ia memberikan kesaksian bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat yang terakhir ini diadili dengan tuduhan penodaan agama. Kiai Ishom memberikan kesaksian yang meringankan: bahwa apa yang dilakukan oleh Ahok tidak masuk dalam kategori penodaan. Di saat banyak kalangan Islam (umumnya non-NU) menghujat Ahok, seorang kiai NU berani tampil dengan pendapat yang berseberangan.
Apa yang dilakukan oleh Kiai Ishom, seorang santri yang sudah pasti pernah ngaji kitab Ihya’ karya al-Ghazali, tidak bisa dipaham kecuali dalam konteks fiqh kebangsaan baru yang sudah sejak lama didiskusikan oleh santri, aktivis, dan intelektual NU sejak beberapa tahun yang lalu. Pengaruh gagasan “pribumisasi” Gus Dur, ide kontesktualisasi Kitab Kuning dari Masdar F. Mas’udi, dan pentingnya “fiqh maqashidi” (fiqh yang berbasis pada teori “maqashid” atau tujuan-tujuan utama syariat) yang digaungkan oleh Kiai Afifuddin Muhajir — semuanya itu bermuara pada tindakan Kiai Ishom tersebut. Sebab, kesaksian Kiai Ishom yang membela Ahok ini bukanlah “a random move”, tindakan asal-asalan yang muncul ujug-ujug begitu saja. Ada “konteks kultural” yang melatarinya.
Pertanyaannya: Kenapa yang berani melakukan tindakan-tindakn seperti ini adalah anak-ana cucu al-Ghazali yang dituduh sebagai “biang” kemunduran Islam itu? Kenapa bukan tokoh-tokoh Islam dari kelompok lain? Jika benar al-Ghazali dan al-Asy’ari menjadi sumber kemunduran Islam, kenapa anak-anak cucu mereka justru paling depan dalam mengusung ide-ide fiqh kebangsaan yang sangat maju dalam konteks negara modern? Sebaliknya: Kenapa ide-ide konservatif dalam aspek kebangsaan justru umumnya datang dari kelompok-kelompok tidak pernah mengkaji pikiran-pikiran al-Ghazali, atau malah mungkin memusuhinya? Kenapa?
Sebelum melontarkan tuduhan terhadap al-Ghazali semacam itu, anda harus melihat fakta empiris di lapangan seperti yang saya bentangkan di atas. Secara de facto, dalam konteks Indonesia, anak-anak cucu al-Ghazali lah yang justru paling maju dalam isu-isu kebudayaan dan politik kebangsaan. Konservatisme justru datang dari kelompok-kelompok yang tidak “ngaji” ajaran-ajaran al-Ghazali. Think about it!
Sekian.