“… bahwa yang dibutuhkan oleh umat dalam berbagai lapangan perjuangannya … adalah seorang pemimpin Muslim yang memiliki semangat jihad, mampu menyiapkan pasukan dan meneriakkan komando perang.”
(Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani dalam Hakadza Zhahara Jil Shalah al-Din wa Hakadza ‘Adat al-Quds)
Umat Islam di berbagai era sering dilanda dilema dalam mencari sosok pemimpin ideal. Sering kali, untuk mengatasi masalah tersebut, mereka melihat pada sosok-sosok pemimpin dalam sejarah Islam. Salah satunya adalah Shalahuddin al-Ayyubi, seorang jenderal perang muslim dalam Perang Salib dan pendiri Dinansti Ayyubiyah. Dalam berbagai narasi, kata Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani, al-Ayyubi dimunculkan oleh para peneliti, dai, dan kaum cendekia untuk menumbuhkan semangat Islami umat dalam menghadapi berbagai tantangan kekinian.
Narasi yang dimunculkan dalam sosok al-Ayyubi dilakukan dengan cara: memaparkan gerakan dan invansi tentara Salib yang menimbulkan huru-hara, kerusakan, serta pembantaian umat secara besar-besaran, kemudian melewati rentang waktu yang cukup panjang (sekitar setengah abad) dan mulai membicarakan gerakan jihad militer muslim yang dipelopori oleh keluarga Zanki serta al-Ayyubi, yang pada akhirnya keluar sebagai pemenang; mengalahkan tentara Salib dan merebut kembali tanah-tanah juga kota-kota suci.
Pola narasi dan pemahaman seperti ini, menurut Dr. Al-Kilani, akan berbahaya karena dua faktor:
Pertama, umat akan terlalu fokus pada masalah eksternal, sedangkan abai pada berbagai masalah internal yang justru menjadi titik lemahnya komunitas serta menciptakan mentalitas masyarakat yang layak kalah. Umat yang seperti ini mustahil dapat menghadapi bahaya yang datang dari luar.
Kedua, aksi individu akan lebih ditonjokan daripada aksi kolektif. Pemahaman ini juga akan melahirkan persepsi yang salah mengenai peran yang harus dimainkan oleh para pemimpin dan umat dalam memikul tanggung jawab bersama untuk menjawab dan menyelesaikan tantangan-tantangan yang ada. Penyelesaian konflik dan tantangan akan diserahkan sepenuhnya kepada para elit pemimpin, sedangkan umat dirasa tidak memiliki peran dan tanggung jawab yang harus dipenuhi bersama.
Masyarakat yang dinamis serta berbagai macam masalah dan konflik sosial yang ada merupakan sunnatullah. Dr. Al-Kilani menjelaskan bahwa al-Qur’an dan hadis Nabi telah berbicara mengenai perubahan-perubahan sosial, juga menjelaskan bagaimana cara menyelesaikan konflik tersebut. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah (keadaan) yang ada pada suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. al-Ra’d: 11)
Dan firman Allah lainnya berbunyi:
“Yang demikian itu karena Allah sekali-kali tidak akan merubah nikmat yang telah dianugerahkannya kepada suatu kaum, hingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. al-Anfal: 53)
Sedangkan sabda Nabi yang berbicara mengenai fenomena dan perubahan sosial digambarkan dalam sabdanya yang berbunyi:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging; jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh. Jika dia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Dr. Al-Kilani, perubahan akan berjalan efektif jika menginkuti firman Allah dan sabda Nabi di atas. Polanya sebagai berikut:
Pertama, perubahan dimulai dari internal/diri sendiri sebagai manusia (al-anfus, sebagaimana yang disebutkan dalam firman pertama), kemudian dilanjutkan dengan perubahan-perubahan yang bersifat eksternal, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagainya. Muatan pada diri manusia berupa pemikiran, nilai, budaya, kebiasaan, tradisi, dan lain-lainnya.
Kedua, perubahan akan berjalan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk sesuai dengan kondisi masyarakat (al-qaum) secara kolektif, bukan ditentukan oleh individu-individu elit pemerintah. Perubahan yang dilakukan secara kolektif akan berdampak secara lebih signifikan di berbagai bidang eksternal.
Ketiga, sabda Nabi menggunakan kata al-qalb (hati) karena kata tersebut memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan pikir dan kekuatan kemauan. Dua kekuatan tersebut merupakan hal yang penting sebelum melahirkan gerakan atau perilaku praktis, yang dilakukan oleh anggota-anggota badan.
Kembali pada pembacaan sosok pemimpin ideal dalam sejarah, maka ada dua kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, era kejayaan sepanjang sejarah Islam disebabkan dua unsur yang saling berkombinasi, yaitu unsur ikhlas dalam niat serta kemauan, dan unsur tepat dalam pemikiran. Kedua, keberhasilan berbagai fenomena politik didadasarkan pada gerak kolektif yang dijalan oleh para elit pemimpin dan umat. Keduanya harus menyadari serta menunaikan peran dan tanggung jawab masing-masing.