Wayang Potehi Fu He An dari Gudo, Jombang, Jawa Timur, merupakan satu kelompok wayang potehi yang masih hidup dan bersemangat mendiseminasikan warisan budaya tersebut di tengah makin acuhnya masyarakat terhadap kesenian tradisional. Tidak hanya berpentas di hajatan perorangan atau undangan instansi pemerintah, Wayang Potehi Gudo secara berkala juga memberi edukasi kepada siswa-siswa di sekolah-sekolah dan para santri di pesantren-pesantren. “Tepuk tangan …..”.
Orang kerap bertanya, bagaimana cara melestarikan tradisi? Jawabnya sebetulnya mudah, tradisi tersebut harus dipraktikkan terus-menerus. Praktik yang berkesinambungan akan membuahkan kebiasaan, dan akhirnya menyatu dengan diri. Akan tetapi, mempraktikkan segala sesuatu (apalagi seni tradisi) secara rutin dan berkesinambungan bukanlah sebuah kerja yang mudah. Butuh dana, butuh waktu, butuh tenaga, butuh niat, butuh komitmen.
Kelompok Wayang Potehi Fu He An berusaha untuk menjaga komitmen itu. “Selalu bersyukur karena kami hampir selalu berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di Jombang, khususnya. Pentas terakhir tanggal 7 Oktober 2024 lalu merupakan pentas kami yang ke-279, di Klenteng Hong San Kiong, Gudo, Jombang,” kata Toni Harsono, Pimpinan Wayang Potehi Fu He An, ketika dihubungi, Kamis (24/10/2024).
Wayang Potehi Fu He An yang lebih kondang disebut Wayang Potehi Gudo juga turut andil dalam gelaran Jombang Cultural Carnival (JCC) pada Sabtu, 19 Oktober 2024. Karnaval dimulai dari Stadion Merdeka, lalu melewati Jalan Gus Dur, bundaran Ringin Contong, Jalan Wachid Hasyim, Jalan Dr. Sutomo, dan finis di perempatan SMAN 2 Jombang. Beberapa orang anggota perkumpulan memainkan alat-alat musik khas wayang potehi di atas mobil terbuka dan beberapa orang melantunkan lagu. Hiasan mobil selalu serba merah, sama dengan panggung pementasan mereka, dengan tulisan beraksara Cina. Merah, melambangkan sikap berani dalam menyuarakan kebaikan.
Pada 11 Juni 2024, mereka tampil di agenda sampingan hajatan “Majelis Umum Negara Pihak pada Konvensi UNESCO 2003 untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda ke-10” di Paris, Prancis. Program yang dihadiri para perwakilan dari 183 negara dan lembaga-lembaga non pemerintah yang telah diakreditasi oleh UNESCO tersebut menjadi ajang bergengsi untuk bagi Fu He An untuk unjuk kemampuan sekaligus menjelaskan informasi mengenai wayang potehi serta bagaimana diseminasinya di Indonesia.
Adalah Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia yang mengusulkan Fu He An berpentas di majelis UNESCO, didukung oleh Kedutaan Besar Indonesia di Paris. Selain wayang potehi, acara sampingan lain yang menarik adalah lokakarya pembuatan ragoum/ragum, permadani tradisional dari Kuwait.
Sebelum pentas di Paris, Wayang Potehi Gudo tampil di acara seminar internasional dan festival tradisi lisan yang digelar Asosiasi Tradisi Lisan dan Universitas L’Orientale di Napoli Italia dan didukung Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI.
Ketika tampil di Napoli, Toni Harsono dan kawan-kawan juga menyanyikan lagu-lagu daerah seperti Rek Ayo Rek dan Bengawan Solo, dipandu oleh Dyah Puspitasari dan Chaterine Laurensia, awak Wayang Potehi Gudo.
Harapan saya, mereka akan mengulangi momen itu, akan tetapi saya cukup terkejut karena mereka menembangkan Shubanul Wathon atau Yalal Wathon, “lagu wajib” yang selalu dilantunkan dalam acara-acara Nahdlatul Ulama (catatan lengkap pentas di Paris dimuat di Media Indonesia, Minggu 16 Juni 2014).
Indonesia biladi
Anta ‘unwanul fakhoma
Kullu may ya’tika yauma
Thomihay yalqo himama
(Indonesia negeriku
Engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu
‘Kan binasa di bawah durimu).
Akulturasi Budaya
Akulturasi budaya Nusantara dan Cina telah menghasilkan watang potehi, yang sudah tercatat menjadi warisan budaya takbenda Indonesia pada tahun 2003. Potehi adalah boneka kayu dengan kantong kain, suatu jenis wayang golek. Boneka kayu potehi agak kecil, dengan bagian kepala bersambung dengan kantung kain, dan di luarnya dikenakan pakaian panggung sesuai karakter tokoh. Tangan seniman dimasukkan ke dalam kantung untuk mengendalikan gerak boneka.
Seni pertunjukan boneka tradisional yang berasal dari perantau etnis Tionghoa tersebut telah mengakar kuat di Indonesia sejak tahun 1920. Pusat pertunjukannya terdapat di Klenteng Hong San Kiong Gudo, Kabupaten Jombang. Istilah “potehi” sendiri berasal dari gabungan kata “pou” yang berarti kain, “te” yang berarti kantong, dan “hi” yang berarti wayang. Oleh karena itu “potehi” memiliki makna bentuk boneka wayang yang terbuat dari kain berbentuk kantong (machung.ac.id, diakses 4 November 2024).
Dalam pertunjukannya, wayang ini dimainkan dengan lima jari, di mana tiga jari tengah mengendalikan gerakan kepala, sementara ibu jari dan kelingking menggerakkan tangan boneka. Budaya ini telah mengalir sepanjang sejarah, sudah ada sejak masa Dinasti Jin (265-420 M) dan terus berkembang selama sekitar 3000 tahun (machung.ac.id, diakses 4 November 2024).
Wayang potehi generasi awal termasuk tradisi lisan primer, tradisi yang pewarisannya dilakukan secara lisan, yakni melalui tuturan atau tanpa catatan tertulis sama sekali. Namun, wayang potehi saat ini masuk dalam tradisi lisan sekunder karena pewarisannya dibantu dengan catatan, terutama narasi kisahnya.
Menurut Dwi Woro Retno Mastuti yang sejak lama meneliti wayang potehi, banyaknya saudagar Arab, Persia, dan Cina yang datang ke Indonesia pada abad ke-9 untuk berdagang maupun mencari penghidupan baru telah menghasilkan akulturasi budaya. Saudagar Cina mengenalkan wayang potehi melalui berbagai interaksi sosial di berbagai daerah.
Pengaruh China pada seni pertunjukan di Indonesia sangatlah besar, hingga menjadi tidak terasa karena sudah membaur dan menjadi keseharian. Budayawan Remy Sylado (almarhum) pernah mengatakan bahwa budaya Cina dan Indonesia saling mengait dalam produk-produk seni pertunjukan, bahkan ke dalam bahasa dan lirik lagu. “Banyak yang tidak tahu kalau lagu Batak A Sing Sing So itu lagu China. Xing Xing Xuo itu artinya bintang berekor. Lalu sudah jadi lagu Batak,” kata Remy, dalam buku Sinologi dalam Fiksi, penerbit Nuansa Cendekia Bandung.
Toni Harsono merupakan generasi ketiga di keluarganya yang masih melestarikan wayang. Generasi pertama adalah Tok Wu Kwi yang berasal dari Cina. Ia masih ingat ketika kecil kerap diajak ayahnya untuk mendalang ke berbagai daerah. Ia melihat ayahnya yang keren saat menjadi dalang dan ingin meneruskan pekerjaan itu. “Saya belajar dari ayah. Tokoh-tokohnya ya diceritakan begitu saja lalu saya ingat. Saya sendiri yang membuat wayang-wayangnya,” tutur Toni.
Widodo Santoso, dalang Wayang Potehi Fu He An, berbagai upaya dilakukan agar tradisi ini tidak punah. Sanggar menggelar workshop untuk anak-anak sekolah. “Yang paling muda anak SD kelas 5. Sekarang ini yang belajar malah mayoritas orang Jawa, jarang yang keturunan Cina,” katanya.
Toni merasa senang karena banyak kalangan mau mempelajari wayang potehi, tidak hanya keturunan Tionghoa, dan banyak di antara mereka beragama Islam. Artinya, potehi itu universal. Potehi juga sudah banyak dibahas dalam forum ilmiah dan masuk dalam jurnal-jurnal akademis. “Meskipun seni ini dari Tionghoa, tapi ceritanya mengajarkan pesan baik dan untuk kebaikan. Cerita toleransi dan cinta Tanah-Air. Makanya Potehi Gudo ini awet, tidak bakalan hilang di sini. Jombang itu rukun,” tegas Toni.
Cerita yang terdapat dalam wayang potehi adalah kisah kerajaan pada masa lampau yang bersifat serial. Beberapa contoh cerita dalam wayang potehi adalah: Sie Kong, menceritakan seorang pemuda bernama Sie Kong, pangeran muda. Sie Kong menjadi buronan karena perbuatannya, namun kemudian menjadi jendral perang di suatu kerajaan. Ada lagi kisah Cap Pwe Lo Hwan Ong, menceritakan pendirian kerajaan tong pertama yang bermula dari pemberontakan 18 raja (kedirikota.go.id).
Kostum wayang potehi menyesuaikan peran yang dibawakan oleh tokoh tersebut, karena kostum merupakan cerminan dari lakon atau peran. Tokoh-tokoh tersebut meliputi pendekar, prajurit, jendral perang, panglima, raja atau kaisar, permaisuri, dewa, rakyat jelata, perdana menteri, dan siluman. Kostum raja tentu berbeda dengan kostum siluman.
Toni Harsono menunjukkan sejumlah unggahan di YouTube, berisi pentas-pentas Wayang Potehi Gudo di berbagai tempat, juga beberapa video edukasi di sekolah umum, sekolah Kristen, dan pesantren. “Kami terus berupaya di tengah keterbatasan,” katanya.
Memang betul pertanyaan ini: siapa yang mampu menghidupi seni tradisi? Sejauh mana kelompok kesenian tradisional mampu bertahan hanya dengan mengandalkan tiket pertunjukan, sedangkan pertunjukan pun sulit digelar jika tanpa sponsor?
Padahal, kelompok seni tradisional tersebut telah melalui perjalanan yang sangat panjang, bahkan keseniannya hadir sejak masa kolonial dan terus diwariskan. Padahal, kelompok-kelompok seni tradisi tersebut mampu menunjukkan wajah bangsa, menebarkan marwah bangsa di dunia manca. Padahal, mereka telah menjadi simbol toleransi di masa lalu dan terus memberi contoh hingga kini. Sudah seharusnyalah negara hadir. Semoga kementerian kebudayaan, kementerian kebudayaan pertama di Indonesia, bisa menjawab.