Sedang Membaca
Ademnya Masjid Agung Pondok Tinggi di Sungai Penuh Jambi
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Ademnya Masjid Agung Pondok Tinggi di Sungai Penuh Jambi

Ademnya Masjid Agung Pondok Tinggi di Sungai Penuh Jambi 6

Sebagai muslim, kadang kami tidak terlalu memanfaatkan keringanan salat jamak (qosor) saat menjadi musafir. Bukan karena sombong, tetapi karena “berburu” masjid di suatu daerah itu mengasyikkan. Rasanya seperti yang kami alami, saya dan dua sahabat, ketika melancong ke Kerinci, Jambi, pada akhir Juli 2017.

Berburu masjid? Ya, maksudnya adalah mencari jejak sejarah tempat ibadah di tiap daerah. Kalau mencermati sejarah masuknya Islam ke Indonesia, yang kemudian mendapat pengikut secara masif sejak abad ke-16 bahkan abad ke-14, masjid tentulah menjadi sebuah keharusan. Maka, berburu masjid, terutama masjid-masjid tua, menjadi sesuatu pelancongan yang masuk akal dan menggairahkah.

Kadang-kadang saya datang bekal informasi minim, seperti ketika berencana untuk menjenguk Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci 2017 di Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi pada 26-29 Juli 2017. Satu-satunya informasi yang saya cari adalah tentang festival itu serta jadwal penerbangan menuju ke sana. Selain itu, tidak ada.

Maka itu, menemukan Masjid Agung Pondok Tinggi di Jalan Soekarno Hatta Sungai Penuh, Kerinci, secara tidak sengaja itu seperti……menemukan sahabat di pasar, saat membeli tempe dan bawang. Sepertinya berlebihan, ya? Tapi rasanya memang wuaaaah bener. Adem. Saya benar-benar belum pernah membaca informasi mengenai masjid ini, selain informasi bahwa ada masjid tua di Kerinci.

Jadilah, siang menjelang sore itu kami salat Asar di Masjid Agung Pondok Tinggi, meski sebetulnya sudah saya jamak sewaktu dzuhur tadi. Hehehe. (esoknya saya tidak menjamak salat lagi, tapi justru tidak menemukan masjid setua ini). Setelah salat, kami pun mencari-cari informasi tentang masjid yang berada di semacam perkampungan budaya, karena rumah-rumah tradisional masih banyak berdiri di sekitarnya.

Baca juga:  Kompleksitas Masjid dan Pemahaman Keagamaan Kita

Situs resmi Kemenag menuliskan, Masjid Agung Pondok Tinggi dibangun secara bergotong-royong oleh warga Desa Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh pada tahun 1874 M. Menurut masyarakat setempat, pembangunan dimulai pada Rabu, 1 Juni 1874, dan selesai pada 1902. Kala itu warga Sungai Penuh tak lebih dari 90 Kepala keluarga saja. Untuk melakukan pembangunan masjid, sebagian besar warga baik laki-laki dan perempuan bergotong-royong mengumpulkan kayu.

Untuk meningkatkan semangat kerja, warga dusun juga mengadakan pergelaran berbagai seni pertunjukan tradisional Kerinci, di antaranya pencak silat.
Setelah kayu terkumpul dan pondasi berhasil dibangun, warga kemudian mengadakan musyawarah untuk membentuk panitia pelaksana pembangunan masjid. Dalam musyawarah tersebut, disepakati empat orang pelaksana inti, yaitu Bapak Rukun (Rio Mandaro), Bapak Hasip (Rio Pati), Bapak Timah Taat, dan Haji Rajo Saleh (Rio Tumenggung). Sementara untuk arsitektur bangunan dipercayakan kepada M. Tiru seorang warga Dusun Pondok Tinggi. Untuk mengerjakan rancangan tersebut, dipilih 12 tukang bangunan yang dianggap memiliki keahlian mumpuni.

Ke 12 orang tukang bangunan tersebut bertugas membantu mengukur, memotong, dan memilah berbagai komponen bangunan. Sementara itu, masyarakat setempat turut serta membantu pembangunan secara bergotong royong, terutama dalam menyediakan bahan-bahan untuk keperluan pembangunan. Pembangunan Masjid Agung Pondok Tinggi baru selesai secara permanen pada tahun 1902.

Baca juga:  Cadar di Pesantren NU

Terdapat 36 Tiang

Sumber lain yakni dari situs Islamic Centre  menyebutkan, Masjid Agung Pondok Tinggi ditopang oleh 36 buah tiang besar dan kokoh, yang dibagi dalam tiga jenis:

Pertama, tiang Panjang Sambilea (sembilan) empat buah, membentuk segi empat yang paling dalam. Masing-masing dibuat dari batang pohon yang utuh dan kuat. Keempat tiang tersebut dinamai Tiang Tuo (Jawa: sokoguru). Tiang Tuo tersebut diberi paku emas untuk menolak bala, dan pada puncak tiang diberi kain berwama merah dan putih sebagai lambang kemuliaan.

Kedua, tiang Panjang Limau (lima) sebanyak delapan buah, membentuk segi empat di tengah, sehingga tampak berjajar rapi.

Ketiga, tiang Panjang Duea (dua) sebanyak 24 buah, membentuk segi empat yang paling luar disebut panjang duea karena panjangnya dua depa (sekitar dua meter). Tiang tersebut diatur sedemikian rupa sehingga pada setiap sisi segi empat yang paling luar itu, yakni sebelah timur selatan, dan barat, tampak berjajar masing-masing tujuh buah.

Di samping 36 buah tiang tersebut, masih ada lagi beberapa tiang sambut, yakni tiang yang bergantung, tidak menghunjam ke tanah tetapi terikat atau terpaut pada kayu-kayu alang. Dari struktur dan pengaturan tiang-tiang itu, kita dapat menyimpulkan bahwa susunan tiang itu sudah menggunakan ilmu daya lenting untuk mengantisipasi terjadinya goncangan akibat gempa bumi.

Baca juga:  Catatan Kecil dari Lembah Waeapo

Makna atap

Bentuk atap Masjid Agung Pondok Tinggi yang berupa atap tumpang bersusun tiga, makin ke atas makin kecil, dan paling puncak berbentuk limas. Ini melambangkan tatanan hidup masyarakat Kerinci yang berketuhanan, yakni: bapucak satau, barempe juroi, batingkat tigae. Artinya berpucuk satu, berjurai empat, dan bertingkat tiga.

Penjelasan filosofi hidup itu seperti ini:

  1. Berpucuk satu, maksudnya menghormati satu kepala adat dan men- junjung tinggi kepercayaan pada Yang Kuasa.
  2. Berjurai empat, maksudnya di Dusun Pondok Tinggi ada empat jurai Pada setiap jurai ada satu orang ninik mamak (pemangku adat) dar satu orang imam (ulama). Jadi, di Dusun Pondok Tinggi ada empat orang ninik mamak dan empat orang imam.
  3. Bertingkat tiga, menunjukan bahwa masyarakat Dusun Pondok Tinge tidak pemah melepaskan seko nan tega takak, yakni pusaka tiga tingkat yang terdiri atas: pusaka tengnai, pusaka ninik mamak, dan pusaka depati.

Masjid tua tidak hanya menyimpan sejarah, tapi juga petuah. Masjid yang dibangun ketika gairah berislam masih benar-benar murni dan tidak politis. Masyarakat memadukan semangat mengecap religiusitas dengan tradisi dan kearifan lokal yang telah terbentuk jauh sebelumnya. Pantas saja, salat di dalamnya berasa seperti minum es kopi arabica (cold brew). Nyessss jooozzzz….

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top