Saifir Rohman
Penulis Kolom

Lahir di Situbondo. Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Kini aktif sebagai Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Situbondo.

Praktik Fikih Selama Pandemi (2): Pandangan Fikih Seputar Salat Jamaah di Masa Pandemi

Whatsapp Image 2022 11 01 At 21.41.36

Pandemi mengubah banyak tatanan kehidupan. Hampir segala bentuk aktivitas fisik dari berbagai lini kehidupan mengalami perubahan itu. Termasuk urusan teknis dalam ritus peribadatan. Terutama ibadah yang biasa dijalankan secara kolektif atau berjamaah. Hal ini dimaksudkan tiada lain untuk menekan penyebaran virus. Dari sini, tak jarang muncul beragam pertanyaan yang membutuhkan jawaban otoritatif. Tulisan ini mencoba merangkum pertanyaan-pertanyaan, berikut jawabannya, khususnya tentang hal-hal seputar salat berjamaah.

Pertama, bagaimana hukum merapatkan shaf dalam salat berjamaah?

Dalam banyak hadis, Rasulullah Saw. memerintahkan agar barisan dalam salat berjamaah diluruskan dan dirapatkan. Al-Bukhari dalam Shahih-nya dan beberapa pakar  hadis lain meriwayatkan sebuah hadis dari jalur Anas bin Malik yang menarasikan bahwa suatu ketika salat jamaah hendak dimulai. Rasulullah sebagai imam lalu menoleh kepada para makmum, sembari bersabda, “Luruskan shaf, rapatkan. Sesungguhnya aku bisa melihat kalian dari balik punggung.

Sementara itu al-Nasa’i dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadis masih dari jalur Anas bin Malik. Dikatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Luruskan shaf kalian. Merapatlah kalian di antara shaf-shaf itu. Luruskan leher-leher kalian. Demi Allah yang mana jiwa Muhammad berada di genggaman-Nya, aku betul-betul melihat setan-setan itu masuk dari celah-celah shaf, seakan-akan mereka seperti anak-anak kambing.

Namun demikian, mayoritas ulama sepakat bahwa perintah merapatkan shaf yang terkandung dalam hadis tersebut dan hadis-hadis serupa bukanlah bermakna wajib, melainkan sebatas sunah (al-amr li al-nadb). Dalam Syarh Muslim, al-Nawawi menegaskan, “Ulama betul-betul telah sepakat atas kesunahan meluruskan dan merapatkan shaf,”.Atas dasar ini pula, mayoritas ulama berpendapat bahwa merapatkan shaf bukanlah syarat keabsahan salat berjamaah. Melainkan sekadar syarat untuk beroleh keutamaan salat berjamaah. Ringkasnya, salat jamaah tetap terbilang sah kendati dilaksanakan dengan shaf yang renggang.

Baca juga:  Menyerang Demi Tuhan? Inilah Sejarah dan Perkembangan Radikalisme Agama

Pendapat lain bahkan mengatakan bahwa merapatkan shaf hanyalah syarat untuk beroleh keutamaan shaf, bukan keutamaan jamaah. Demikian jawaban Syihab al-Din al-Ramli dalam Fatawa al-Ramli ketika ditanya perihal serupa. Tegasnya, menurut pandangan ini, meskipun tanpa merapatkan shaf, para jamaah tetap memperoleh fadilah salat berjamaah.

Lantas bagaimana hukum merenggangkan shaf? Mengutip hasil Bahtsul Masail Daring yang dihelat oleh Ma’had Aly Situbondo pada Ahad, 7 Juni 2020, “Merenggangkan shaf sebagai kebalikan dari merapatkan shaf yang diperintahkan, tidaklah haram. Melainkan, makruh. Itupun, makruh yang ringan, bukan yang berat.”

Yang perlu diingat hukum ini berlaku dalam kondisi normal, bukan new normal. Dalam konteks New Normal, apakah kemakruhan ini tetap berlaku? Jawabnya tidak. Kemakruhan itu hilang karena ada ‘udzur syar’i berupa keharusan menjaga jarak. Kaidahnya, sebagaimana dinyatakan antara lain oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain, ketika ada ‘udzur syar’i maka merenggangkan shaf tidak sedikitpun mengurangi fadilah berjamaah. Dengan kalimat lain, dalam kondisi darurat, Anda yang berjamaah tanpa merapatkan shaf pun tetap memperoleh keutamaan salat berjamaah.

Selanjutnya, apakah udzur yang dimaksud dapat pula menjadi alasan untuk tidak melaksanakan salat Jumat?

Telah dijelaskan bahwa merapatkan barisan bukanlah menjadi syarat sahnya salat berjamaah, termasuk salat Jumat. Maka ketidakmungkinan merapatkan shaf, lebih-lebih karena keharusan menjalankan protokol kesehatan, tidaklah menggugurkan kewajiban melaksanakan salat Jumat. Sebab, dengan kondisi shaf yang renggang sekalipun, salat Jumat tetap sah dilaksanakan. Hal ini tentunya mengecualikan wilayah-wilayah tertentu di mana penyebaran virus benar-benar tak terkendali.

Baca juga:  Pendidikan Pesantren (3): Corak Pendidikan Pesantren

Terakhir, di masa pandemi, bolehkah melaksanakan salat Jumat secara bergelombang?

Menurut jumhur ulama, salat Jumat harus dilaksanakan sekali di satu tempat di tiap-tiap kawasan. Dengan kata lain, pendapat Jumhur tidak membolehkan salat Jumat dilaksanakan lebih dari satu kali, baik dalam satu tempat maupun di tempat yang berbeda tetapi masih dalam satu kawasan yang sama. Konsekuensinya, jika ada salat Jumat digelar lebih dari satu kali dalam satu kawasan yang sama, yang terbilang sah hanya salat Jumat yang pertama kali dilaksanakan. Semantara lainnya, dianggap batal.

Namun lagi-lagi diktum ini masih menyisakan ruang pengecualian. Al-Nawawi dalam Minhaj al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, mengecualikan kawasan yang telampau luas sehingga sulit mengumpulkan jamaah Jumat pada satu tempat. Artinya, bagi kawasan tersebut diperkenankan melaksanakan salat Jumat di beberapa tempat, sesuai dengan kebutuhan. Dan tetap tidak boleh dilakukan dalam satu tempat yang sama, secara bergelombang.

Tetapi mengutip hasil Bahtsul Masail Daring  Ma’had Aly Situbondo pada Ahad, 7 Juni 2020, bahwa secara metodologis, tampak tak ada perbedaan antara salat Jumat lebih dari sekali (ta’addudul jum’at) yang dilaksanakan di satu tempat dengan yang dilaksanakan di beberapa tempat. Sehingga menurut keputusan forum yang ditashih salah satunya oleh Dr. (Hc.) KH. Afifuddin Muhajir ini, “Hal-hal yang menjadi alasan bolehnya ta’addudul jum’at di beberapa tempat juga menjadi alasan bolehnya ta’addudul jum’at di satu tempat secara bergelombang.”

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (1): Hak Syuf'ah

Forum yang diprakarsai oleh lembaga tinggi pendidikan pesantren pertama warisan K.H.R. As’ad Syamsul Arifin ini, memutuskan, boleh melakukan salat Jumat secara bergelombang apabila memenuhi syarat-syarat berikut. Pertama, benar-benar berada dalam kondisi darurat. Kedua, pergantian dari gelombang yang satu ke yang selanjutnya tidak menimbulkan penumpukan massa sehingga tidak bertentangan dengan tujuan physical distancing. Ketiga, jumlah jamaah pada masing-masing gelombang tidak kurang dari jumlah yang telah ditentukan. Untuk mazhab Syafi’i misalnya, pendapat yang unggul mengakatan 40 orang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top