Sedang Membaca
Hikmah Pandemi (1): Tidak Harus Bersalaman, Tapi Wajib Menebar Keselamatan
Saifir Rohman
Penulis Kolom

Lahir di Situbondo. Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep. Kini aktif sebagai Mahasantri Ma’had Aly Salafiyah Situbondo.

Hikmah Pandemi (1): Tidak Harus Bersalaman, Tapi Wajib Menebar Keselamatan

Whatsapp Image 2022 10 11 At 20.43.15

Bersalaman adalah tradisi sakral. Ia merupakan bagian integral dari kebudayaan manusia hampir di seluruh belahan bumi. Dengan segala dimensi makna yang dikandungnya, kebiasaan ini sangat sulit dihindari. Terlebih ketika dikokohkan oleh nilai-nilai lain semisal agama.

Dalam khazanah keislaman, dapat dibilang bersalaman menempati posisi amat spesial. Tradisi ini dilegitimasi oleh dalil syar’i berupa al-sunnah. Al-Turmudzi, dalam Sunan-nya, misalnya, mengutip sebuah hadis dari jalur Anas bin Malik yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah ditanya ihwal bagaimana semestinya yang diperbuat ketika seorang bertemu dengan saudara atau kerabatnya. Apakah ia harus membungkuk, memeluk lalu menciumnya, ataukah menjabat tangannya? Rasulullah hanya merekomendasikan opsi yang terakhir, yakni menjabat tangan.

Sementara dalam al-Istidzkar, Ibn ‘Abd al-Bar mengutip sebuah hadis dari jalur Abdullah al-Khurasani yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Bersalamanlah kalian sehingga lenyap permusuhan dan dendam,”. Adapun keterangan yang paling banyak dikutip oleh tidak sedikit pakar hadis semisal Ibn Majah, Abu Daud, al-Turmudzi, al-Baihaqi, adalah hadis dari jalur al-Barra’ berikut. “Tidaklah dua orang dari kalangan Muslim bertemu kemudian saling bersalaman kecuali dosa keduanya telah diampuni sebelum mereka berpisah.”.

Dari sekian dalil itu, ulama sepakat bahwa hukum asal bersalaman adalah sunah. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim dan al-Majmu’, misalnya menyatakan bahwa tanpa perdebatan di kalangan ulama hukum bersalaman adalah sunah. Pendapat ini selaras dengan pendapat Abu Muhammad yang dinukil Abu al-Walid al-Baji, fakih senior dari Mazhab Maliki, dalam karyanya, al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’.

Yang patut diperhatikan bahwa anjuran atau kesunahan itu berlaku pada kondisi normal. Sedangkan dalam kondisi abnormal, hukumnya berkemungkinan besar berubah. Misal, dari yang semula sunah menjadi makruh atau bahkan haram.

Baca juga:  Surat Cinta Kiai Sahal Mahfudh untuk Adiknya di Banyuwangi

Nyatanya, memang tidak sedikit pakar kesehatan yang berpendapat bahwa berjabat tangan berisiko tinggi terhadap kondisi kesehatan. Nicky Miner, dosen senior jurusan Biologi Universitas Anglia Ruskin, Cambridge, Inggris, dalam artikel yang dimuat The Conversation bahkan mengutuk kebiasaan ini. Dengan lantang ia berujar, “Bersalaman itu menjijikkan.” Ia mengacu pada hasil penelitian dari Universitas Boulder, Colorado, yang menyatakan bahwa rata-rata tangan manusia membawa 3.200 bakteri dari 150 spesies berbeda.

“Sebagian bakteri itu memang baik dan kita butuhkannya untuk menjaga kesehatan. Tetapi sebagian yang lain tidak begitu baik dan mungkin membuat kita sakit.”, jelas Miner. Sesuatu yang mesti diingat bahwa artikel Miner tayang pada 12 Juni 2018. Sekitar satu setengah tahun sebelum pasukan virus Corona menyerang.

Sementara itu, di masa Pandemi seperti sekarang, risiko itu jelas meningkat. Anthony Fauci, dokter dan pakar imunologi asal Amerika Serikat yang juga menjadi penasihat kesehatan Gedung Putih, sebagaimana diberitakan banyak media, April lalu berujar, “Jujur saja, saya sudah tidak berpikir kita harus berjabat tangan lagi.” Ia menambahkan pula, “Hal ini tidak hanya baik untuk mencegah Covid-19, melainkan juga akan mengurangi infulenza secara kolosal di negeri ini.”.

Dalam gambaran situasi yang demikian berbeda, masihkah hukum kesunahan jabat tangan itu berlaku? Jawabnya, tentu tidak. Bisa saja makruh atau bahkan haram. Tergantung seberapa kuat dugaan akan risiko yang ditimbulkan. Dalam hadis Shahih Muslim, dituturkan bahwa seorang pengidap lepra dari kabilah Wafd Tsaqif hendak menghadap dan berbaiat langsung kepada Rasulullah. Mendengar hal ini, Rasulullah segera menyurati yang bersangkutan, “Sesungguhnya kami telah membaiat Anda.”.

Baca juga:  Kasus KDRT dan Bagaimana Bersikap

Pernyataan ini menyiratkan bahwa lelaki berpenyakit itu tak perlu mendatangi Nabi karena telah dibaiat secara lisan, tanpa harus berjabat tangan. Itu artinya, menjabat tangan yang semula dianjurkan, justru dalam kondisi tersebut Nabi sendiri enggan melakukan. Adakah alasan Nabi enggan membaiat lelaki itu secara langsung dengan menjabat tangan yang lebih masuk akal kecuali karena penyakit yang ditanggung lelaki tersebut? Oleh karena itu sangat wajar jika ulama sekaliber al-Ghazali dalam Adab al-Dunya menyebut salah satu etika bagi orang yang sakit adalah menghindari bersalaman.

Di samping meniscayakan perubahan hukum, hadis ini juga menyiratkan bahwa bersalaman hanya sebatas wasilah yang mewadahi maksud tertentu. Saat wasilah itu tidak mungkin ditempuh, solusinya adalah menggantinya dengan wasilah lain yang lebih maslahat. Dalam hadis tersebut, Rasulullah memberi contoh konkret, yakni mengubah format baiat dari yang semula menggunakan media salaman menjadi cukup dengan lisan atau bahkan tulisan.

Pada akhirnya, pandemi menuntut kita pandai bersiasat. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana agar laju kehidupan terus berjalan tanpa harus menelan korban. Sikap kita kaitannya segala macam lini kehidupan diuji, antara mempertahankan format atau isi, mengutamakan simbol atau makna.

Bersalaman mengandung banyak makna. Ia menjadi simbol perdamaian, penghormatan, persatuan, kepercayaan, kesepakatan, kasih sayang dan lain sebagainya. Sebagai gestur tubuh, ia mencerminkan solidaritas yang dibangun atas dasar saling percaya. Dengan kata lain, bersalaman adalah ekspresi paling nyata bahwa masing-masing pihak sepakat untuk saling menebar keselamatan bagi sesama.

Baca juga:  Sayidina Umar bin Khattab yang Pemarah

Barangkali keluasan makna dan terutama dampak psikologis yang timbul akibat bersentuhannya telapak tangan dua orang yang berbeda tidak dapat diwakili oleh selembar surat, sambungan telepon, video call, dan semacamnya. Tetapi dalam situasi dan kondisi yang serba darurat, serba tidak memungkinkan, adakah yang lebih layak diprioritaskan daripada kesehatan dan keselamatan bersama?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top