Sedang Membaca
Hai Perempuan, Yuk Sekolah Dulu, Jangan Buru-buru Menikah
Siti Rohmah
Penulis Kolom

Anggota puan menulis dan Jaringan kerja antar umat beragama (Jakatarub) saat ini aktif sebagai mahasiswa UIN SGD Bandung.

Hai Perempuan, Yuk Sekolah Dulu, Jangan Buru-buru Menikah

Maudy Ayunda

Hidup perempuan dari masa ke masa masih belum sepenuhnya merdeka, meskipun kebebasan dan hak asasi manusia hadir namun hal tersebut tidak cukup menjadikan perempuan merdeka. Budaya patriarki yang hadir dari ribuan tahun lalu masih langgeng dan tumbuh subur di muka bumi salah satunya di Indonesia.

Idiologi patriarki menjadikan masyarakat memandang perempuan sebagai sosok yang harus terus memenuhi dan memuaskan keinginan masyarakat. Sejak dalam kandungan perempuan diatur sesuai budaya patriarki dan diperlakukan berbeda dengan laki-laki. Ketika lahir ia diharuskan ditindik sebagai tanda bahwa ia seorang perempuan, disunat padahal hal tersebut sangat membahayakan perempuan.

Ketika tumbuh sebagai anak perempuan ia dilarang untuk bersikap maskulin dan dituntut untuk feminin. Diarahkan untuk melakukan hala-hal domestik (permainan masak-masakan dan memperlakukan boneka layaknya bayi), dituntut untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan tak jarang ucapan “nanti kalau kamu punya suami gimana kalau gak bisa masak, gak bisa nyuci, ngepel dan beres-beres rumah” dilontarkan orang dewasa kepada seorang anak atau remaja perempuan.

Perkembangan dan pertumbuhan perempuan tidak begitu diperhatiakan malah keraguannya diguncang dan di doktrin oleh budaya patriarki. Misalnya dalam suku sunda ada istilah pamali memberitahukan menstruasi pertama kepada orang lain terutama pada orang tua. Bagaimana mungkin seorang remaja yang minim pengetahuan tentang organ reproduksinya dilarang menceritakan pengalamannya, bukankah hal tersebut bentuk ketidakadilan?

Baca juga:  Keling: Hidup itu Tidak Hanya Soal Iman atau Kafir

Dalam budaya patriarki seolah perempuan terlahir sebagai sosok pelengkap. Ketika perempuan menentukan cita-citanya perempuan selalu diarahkan untuk memilih hal-hal yang feminine dan dijauhkan dari hal-hal yang bersifat maskulin misalnya ketika perempuan memilih menjadi seorang polwan atau tentara ia akan dianggap tidak menyayangi orang tua dengan alas an tugas yang kemungkinan jauh dari keluarga.

Perempuan ketika lulus sekolah atau kuliah sangat jarang ditanya mau melanjutkan pendidikan kemana? Mau buka usaha apa? Yang selalu dipertanyakan dan seolah wajib dijawab adalah “udah punya pacar belum?”, “Anak tante udah bawa pacar”.  “Kapan nih bawa calonnya ke rumah?”, “Kapan nih mau menikah?”. Seolah goals perempuan sukses itu diukur dari seberapa cepat ia menemukan pasangannya dan melangsungkan pernikahan. Tidak diukur dari seberapa peduli ia terhadap sesamanya dan seberapa peka terhadap keadaan di sekitarnya.

Padahal ketika perempuan menikah dan menjalankan pernikahan hendaknya seimbang antara kesiapan material dengan mental karena tanpa kesiapan keduanya, pernikahan akan rentan perceraian akibat penguasaan emosi yang belum stabil. Dilansir dari website Komnas Perempuan, jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, terdiri dari kasus yang ditangani oleh:1. Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus. 2. Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus. 3. Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender.

Baca juga:  Sajian Khusus: Muhammad SAW dan Nasrani

Dari sejumlah 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal) sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Hal tersebut menunjukan bahwa bahwa kematangan secara emosi sangat diperlukan karena menikah bukan hanya sebatas akad, pesta mewah atau bahkan berhubungan seksual. Menikah adalah proses mewujudkan mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang yang tulus) dalam mencapai tujuan bersama. Perlu digaris bawahi bahwa menikah bukan berarti isteri adalah milik suami, tetapi keduanya bertanggung jawab saling melindungi, saling menyayangi dan saling mengayomi agar tercipta pernikahan yang sakinah, mawaddah dan wa rahmah.

Hampir di setiap agama menikah merupakan ibadah yang mulia. Namun dalam beribadah tentunya semua ibadah juga mulia dihadapan tuhan yang maha Esa. Jadi dalam kehidupan kita jangan karena alasan menikah adalah ibadah yang mulia menjadikan pernikahan sebagai sebuah perlombaan dan ukuran kesuksesan perempuan. Karena masih banyak ibadah yang lain yang hendaknya segera kita laksanakan.

Baca juga:  Generasi Z dan AI, Ancaman atau Peluang?

Dalam memutuskan untuk menikah hendaknya jangan menikah hanya untuk menghindari zina, jangan menikah hanya karena teman-teman seumuran sudah menikah, jangan menikah hanya karena pusing dengan omongan tetangga, apalagi menikah hanya karena capek kuliah dan kerja. Tapi menikahlah ketika kita siap dan mau, menikahlah karena kita ingin sama-sama berjuang dengan pasangan kita (dalam kemaslahatan).

Berbicara soal menikah dan pernikahan, bukan berarti perempuan yang memilih menunda pernikahannya adalah perempuan yang tidak ingin melaksanakan ibadah mulia. Namun masih banyak ibadah yang harus kita laksanakan bukan hanya menikah. Karena menikah bukan satu-satunya ibadah tetapi salah satunya ibadah. Lalu perempuan yang memutuskan mempercepat pernikahannya hal tersebut juga tidak keliru, namun alangkah lebih baik tidak merasa diri paling gigih beribadah dan menghakimi perempuan lain yang menunda pernikahnnya. Bukankah akan lebih baik sesama perempuan saling mendukung dan mendoakan dalam kebaikan?

Proses untuk tidak buru-buru menikah dengan alasan ingin melanjutkan pendidikan atau mengejar karier impian bukan sebuah kesalahan. Justru akan menguatkan mental kita dalam kehidupan. Dengan kematangan usia jasmani dan rohani membuat pernikah minim persoalan karena kemampuan mengelola emosi sudah terlatih sejak perempuan lajang. Menikahlah di waktu yang tepat bukan dengan cepat. Dengan demikian setidaknya kita mempunyai banyak bekal untuk sama-sama terbang dengan pasangan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top