Sedang Membaca
Dakwah Lembut Habib Nusantara (1): Quraish Shihab dan Pesan Kebijaksanaan Al-Qur’an
Samsuriyanto
Penulis Kolom

pemerhati kajian dakwah, radikalisme dan komunikasi. Saat ini sedang khidmah sebagai Sekretaris LTNU Waru, Sidoarjo, Jawa Timur. Pemuda Hebat Kemenpora RI 2019 ini adalah pengajar pada ITS Surabaya. Penulis buku Dakwah Lembut, Umat Menyambut (2020), Menyelamatkan Negeri: Dari Radikalisme, Covid-19 dan Korupsi (2021), Teori Komunikasi; Membangun Literasi, Menganalisis Situasi (2021) dan dua buku lainnya.

Dakwah Lembut Habib Nusantara (1): Quraish Shihab dan Pesan Kebijaksanaan Al-Qur’an

Whatsapp Image 2021 05 04 At 21.20.16

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944. Putra pasangan Prof. Abdurrahman Shihab dan Asma Aburisya ini termasuk habib yang menebar dakwah Islam dengan tafsir Al-Qur’an. Prof. Quraish (sapaan untuk beliau yang tidak berkenan dipanggil Habib) ini termasuk habib sepuh yang menempuh pendidikan dari tsanawiyah hingga doktor di Al-Azhar Kairo Mesir. Ulama dan cendekiawan produktif ini telah menulis banyak buku berhubungan dengan pesan bijak dalam Al-Qur’an.

Mohammad Amin Abd. al Aziz (1999: 186) dalam al-Da’wah Qawa’id wa Ushul menegaskan tentang konsep al-tadarruj fi al-taklif yaitu prinsip bertahap dalam pembebanan. Manusia merasa malas melakukan perintah yang diberikan semua, karena dianggap sangat berat. Oleh karena itu meminta mitra dakwah untuk melaksanakan ibadah juga perlu tahapan, agar mereka merasa senang, sehingga akan memiliki kesadaran untuk melaksanakannya. Dakwah harus dapat menebar manfaat dan berkah kepada orang lain, namun tetap dengan prinsip memudahkan dan menyenangkan agar kesuksesan dakwah bisa tercapai.

Dalam Youtube Najwa Shihab dengan judul Dakwah ala Nabi: Dakwah Tanpa Marah (Part 1) | Shihab & Shihab, Santri Habib Abdul Qadir Bilfaqih Malang ini mengutip Surat al-Nahl ayat 125, lalu memberikan penafsiran. Pendakwah mengajak orang lain menuju jalan Allah SWT. dengan hikmah, yang bermakna ilmu amaliah dan amal ilmiah. Jika berdakwah secara lisan, agar menyampaikan ilmu yang dapat diamalkan.

Sementara amal ilmiah, yaitu perbuatan dan sikap pendakwah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Setelah prinsip hikmah, adalah prinsip wal mauizatil hasanah, yaitu kalimat-kalimat halus yang menyentuh perasaan. Dengan demikian bagi pendakwah agar tidak selalu menyampaikan pesan yang bersifat ilmiah. Maka hal ini memiliki kaitan erat dengan ukuran kesuksesan suatu dakwah.

Baca juga:  Menyelami Pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim, Ulama dari Sudan

Suksesnya dakwah itu ditandai oleh dua hal. Paling tidak satu dari yang dua (hal) itu. Yang pertama bertambah pengetahuan pendengarnya tentang ajaran agama. Bertambah pengetahuannya tentang agamanya. Dan yang kedua bertambah kesadarannya beragama,” kata mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII ini dalam Youtube Najwa Shihab tersebut.

Berdasar penjelasan di atas, kesuksesan dakwah harus menambah pengetahuan dan kesadaran beragama mitra dakwah. Cendekiawan dengan songkok nasional itu kembali melanjutkan bahwa mitra dakwah muslim boleh jadi sudah mengetahui jika salat Subuh terdiri dari dua rakaat. Pendakwah bisa jadi harus menerangkan salat wajib di awal pagi itu, bukan dalam konteks menerangkan ilmu tapi bagaimana memotivasi mereka untuk bertambah pengetahuan dan kesadaran beragama. Sebab pemalas dalam ibadah juga perlu mendapat motivasi beribadah agar memperoleh pencerahan dalam hidup yang dijalani.

Jihad Sesuai Al-Qur’an

“Kita akan menemukan bahwa sejak Nabi di Mekkah itu sudah ada perintah jihad. Wajaahidhum bihii jihaadan kabiira. Itu di surat al-Furqan. Itu turun sebelum Nabi hijrah. Berjihadlah melawan para pendurhaka dengan jihad yang besar. Berjihad dengan nilai-nilai Alquran. Bukan dengan pedang. Tidak pernah upaya untuk meyakinkan orang tentang kebenaran agama itu dapat meyakinkan dengan kalau dengan kekerasan,” demikian petikan  nasehat penulis Tafsir Al-Misbah ini dalam Catatan Najwa dengan judul Gus Baha dan Abi Quraish Shihab soal Aksi Teror dan Jihad (Part 1).

Berdasarkan Alquran sebagaimana yang dijelaskan oleh Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an ini dalam Youtube Najwa Shihab, bahwa Nabi sudah memperoleh perintah jihad saat di Mekkah. Berjihad yang dilakukan adalah melawan para pendurhaka atau orang-orang kafir dengan jihad yang besar, yaitu berjihad dengan nilai-nilai Alquran dan bukan dengan pedang. Menggunakan kekerasan untuk meyakinkan kebenaran suatu agama tidak akan diterima oleh masyarakat jika menggunakan kekerasan. Berjihad dengan nilai-nilai Alquran tentu sesuai dengan pemahaman para ulama yang memiliki silsilah keilmuan bersambung kepada Rasulullah SAW. Jika tidak, khawatir akan menebar pemahaman yang mengarah pada radikalisme, liberalisme dan lainnya  yang jauh dari nilai-nilai Alquran. Menurut Sayyid Musa Sadr (2011: 37) dalam Islam, Humanity and Human Values, dengan mengutip Alquran bahwa, manusia sungguh terhormat dan lebih mulia derajatnya dari makhluk yang lain.

Baca juga:  Ikatan Batin Masyarakat Kalibeber dengan Mbah Muntaha

Jika sebagian orang berpendapat bahwa jihad yang tertinggi adalah salat. Namun menurut mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah ini (sekarang UIN Syarif Hidayatullah), jihad yang dimaksud dengan jihad besar dalam bahasa Alquran dan hadis adalah jihad melawan fluktuasi nafsu yang hendak membalas dan lain sebagainya. Mereka yang melakukan aksi bom bunuh diri telah salah langkah dalam berdakwah, seharusnya mereka itu berjihad dengan menampilkan nilai-nilai ajaran agama dan menunjukkan kehebatan ajaran agama ini.

Sehingga non muslim masuk Islam serta muslim yang masih kurang beraktivitas yang baik lebih baik aktivitasnya. Dengan demikian dakwah memiliki dua kekuatan yaitu, secara kuantitas dan kualitas. Dari sisi kuantitas, menambah jumlah penganut Islam sebanyak-banyak, tentu diiringi dengan cara-cara persuasif dan humanis. Sementara dari aspek kualitas, meningkatkan mutu spiritualitas muslim dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Menurut Samsuriyanto (2020: 25) dalam buku Dakwah Lembut, Umat Menyambut dengan mengutip hadis riwayat Imam al Tirmidzi [2616], Imam al Nasa’i [11394], Imam Ibnu Majah [3973] dari Sayyiduna Mu’adz bin Jabal RA., bahwa jihad di jalan Allah SWT. merupakan puncak dari suatu perkara. Namun jihad dapat bermakna kompleks, seperti membangun institusi pendidikan, fasilitas kesehatan dan lembaga batuan hukum adalah bagian dari jihad. Di sisi lain, menyantuni anak yatim dan melakukan pemberdayaan terhadap fakir miskin juga tentu termasuk dari jihad.

Baca juga:  Syekh Yasin Al-Fadani dan Ilmu Falak (3): Lima Hukum Mempelajari Ilmu Falak

Jika memahami jihad hanya dengan melakukan aksi kekerasan terhadap penganut agama lain, maka bukan termasuk jihad, justru telah merusak citra dakwah. Dengan demikian, memahami jihad perlu dari pemahaman mayoritas yang berpegang dalam bingkai ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Tafsir Prof. Quraish tentang jihad tidak dapat diragukan lagi, karena beliau memang mendapat pendidikan di institusi Islam yang telah melahirkan banyak ulama moderat. (Biografi Prof. Quraish lebih lanjut baca di https://quraishshihab.com/profil-mqs/).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top