Sedang Membaca
Riwayat dan Kenangan Kiai Moenawir Krapyak
Saiful Hakam
Penulis Kolom

Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Belajar sejarah di UGM. Tinggal di Bogor, Jawa Barat

Riwayat dan Kenangan Kiai Moenawir Krapyak

Moehammad Moenawir atau Kiai Moenawir Krapyak adalah seorang yang saleh, guru pemalu yang memiliki hubungan erat dengan tradisi pesantren dan Mekkah. Ia peletak pertama pesantren Alquran di Indonesia. Hari ini, haulnya yang ke-79 diperingati di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Jogjakarta.

Biografinya dipublikasikan pada tahun 1975 oleh Pesantren Krapyak Yogyakarta yang ia dirikan. Buku ini merupakan kompilasi dari tim peneliti yang terdiri atas para santri yang sedang belajar atau yang pernah belajar di pesantren itu.

Tujuan penerbitan biografi tersebut dinyatakan dengan jelas di bagian pengantar. Anak yang tidak kenal orang tuanya adalah anak yang tidak baik. Demikan pula santri yang tidak mengenal pesantrennya, pendiri pesantren itu, maupun kiai-kiai pengabdinya adalah bukan santri yang baik (A’ad: 1975). Tema ini berulang pada seluruh teks itu yang berfokus pada geneologi biologis dan spiritual Kiai Moenawir, hubungan dengan guru-gurunya, para santri, keluarga, dan tetangga-tetangga, dan struktur organisasi pesantrennya.

Kedudukan Kiai Moenawir di dalam komunitas santri didasarkan pada perannya sebagai orang Jawa terkemuka dalam transmisi teks lisan Alquran. Ia hafal Alquran dan sejak kembali dari Mekkah merupakan otoritas terdepan dalam pengajaran tajwid di Jawa (Zamakhsari 1982: 79). Seperti dikatan Nelson (1985: 1-5), Alquran di samping sebagai teks lisan juga merupakan teks tertulis. Ia juga merupakan teks lisan yang memelihara firman Allah.

Kiai Moenawir adalah tokoh penting di dalam kehidupan keagamaan Jawa karena kemampuannya membaca Alquran secara hafalan umumnya diakui paling mendekati kata ilahiah itu.

Sedikit sekali diungkapkan mengenai kehidupan awal Kiai Moenawir. Tahun kelahirannya tidak disebutkan. Tetapi kenyataannya bahwa ia kembali dari belajarnya selama 21 tahun di Mekkah dan Madinah tahun 1909 (As’ad: 1975), menunjukkan bahwa ia kira-kira satu generasi lebih muda dari Ms Rahmat. Ia berasal dari keluarga santri terkemuka di Kauman, Yogyakarta. Kakeknya adalah adalah Diponegoro, yang turut diasingkan ke Sulawesi setelah Perang Jawa.

Baca juga:  Nabi Muhammad saw Dalam Pandangan Washington Irving

Biografinya menceritakan bahwa baik kakek maupun ayahnya mencoba untuk menghafal Alquran tetapi meski telah mencobanya beberapa kali tetap gagal. Keduanya disebut memperoleh ilham bahwa usaha mereka baru akan berhasil pada generasi ketiga (As’ad: 1975). Teks itu memuat daftar guru-guru Kiai Moenawir di Jawa dan Arab dan sebuah sanad yang menghubungkan garis persambungan guru-gurunya ke Nabi Muhammad, malaikat Jibril, dan Allah.

Penghafalan Alquran memiankan peran utama dalam praktik keagamaan pribadi dan ajaran Kiai Moenawir. Ia mencurahkan waktunya setiap hari mempelajari Alquran dan membaca seluruh teks itu secara hafalan setiap Kamis malam. Ia juga membca bagian surah-surahnya yang penting dalam salat wajib dan salat sunah. Ia mengajarkan tajwid kepada para santri, dengan penekanan pada hafalan dan kefasihan (As’ad: 1975).

Ia juga memberikan pelajaran-pelajaran dasar kepada istri-istrinya, anak-anak, tetangga-tetangganya. Ia sering diundang ke Kraton Yogyakarta atau pesantren lain untuk membacakan Alquran, kadang-kadang sekaligus mengajarkan tafsir.

Seperti banyak santri tradisional ia menganggap surat Yasin sangat penting. Jika terjasi suatu peristiwa yang menyangkut umat pada umumnya, Kiai Moenawir mengumpulkan semua santrinya untuk berdoa membacakan Surat Yasin 41 kali (As’ad: 1975). Ketika beliau sakit selama 16 hari menjelang wafatnya surat Yasin terus-menerus dikumandangkan (As’ad: 1975).

Di samping menghafal, Kiai Moenawir sering ber-tawajjuh amalan yang memang umum dalam tradisi pesantren. Ia diluskikan sebagai seorang yang tidak pernah lupa menunaikan shalat dan pembela syariat Islam serta berpegang teguh pada kitab suci Alquran hingga kadang lupa akan harta dunia (As’ad: 1975).

Meskipun tidak berafiliasi dengan tarekat Sufi tertentu, ia melakukan beberpa bentuk tawajjuh (meditasi). As’ad (1975) menyatakan pada waktu-waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus di sebelah utara masjid, tempat ia melakukan tawajjuh beribadah kepada Allah. Ia rutin menziarahi ke makam-makam di Madura, KH Cholil, dan pernah beriziarah ke makam Sunan Kalijaga dengan berjalan kaki. Tiap pertengahan bulan Sya’ban beliau nyadran ke makam keluarganya di Dongkelan bersama dengan santri-santrinya (As’ad: 1975).

Baca juga:  Thomas Jefferson, Alquran, dan Pembentukan Amerika Serikat

Keberhasilan Kiai Moenawir sebagai seorang guru dan tingginya kualitas kehidupannya adalah karena berkah Alquran (As’ad 1975).

Biografinya sangat memberikan tempat bagia hubungan sosialnya, termasuk daftar santirnya, sahabat-sahabat, dan temannya-temannya. Ia secara khusus mempunyai hubungan akrab dengan kiai asal Cirebon, KH. Said (buyut dari Kiai Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU), salah seorang ulama penting Cirebon yang telah mengakui kemampuan Kiai Moenawir meskipun ketika itu ia masih belajar di Makah. Kiai Sa’id mengirimkan santri-santri kepadanya dan membiayai pembangunan pesantren Krapyak (As’ad: 1975).

Daftar santri Kiai Moenawir mengilustrasikan pengaruhnya terhadap Islam Jawa. Banyak kiai menganggap diri mereka berhasil jika satu atau dua santri mereka menjadi ulama terkemuka. As’ad (1975) mendaftar enam belas santri Kiai Moenawir yang juga menjadi kiai.

Kiai Moenawir sangat rendah hati dan berusaha mengikuti kesalehan Nabi Muhammad. Baju yang dipakai Kiai Moenawir digambarkan sangat sederhana, namun pantas untuk melaksanakan ibadah. Suatu kali istri beliau pernah mengusulkan agar beliau berkenan mengenakan pakaian yang lebih dari itu. Kiai Moenawir menjawab, saya telah memiliki dua setel pakaian. Satu saya pakai, dan yang lain masih tersimpan, (As’ad: 19759).

Beliau pemurah terhadap santri-santrinya, sering memberi sangu kepada santri yang izin pulang kampung dan yang hendak menghadiri undangan membaca Alquran (As’ad: 1975). Dengan santri-santrinya ia tidak pernah marah kecuali dalam hal-hal tertentu, beliau maafkan dengan bijaksana.

Kiai Moenawir adalah juga abdi dalem di Kraton Yogyakarta, tetapi tidak aktif kecuali sebagai anggotya 41 ulama yang ditunjuk untuk berdoa menolah bencana negara (As’ad: 1975). Istirnya pertamanya adalah putri Kraton, dan ultan HB VII dan IX termasuk daftar orang-orang yang pernah mengunjungi beliau.

Baca juga:  Guru Madrasah Berprestasi (4): Mbah Guru Ishaq, Lillahi Ta'ala Mengajar Melampaui Batas Usia

Hal penting karena Muhammdiyah didirikan di Kauman Yogyakarta, tahun 1912, bersaman waktunya dengan Kiai Moenawir mendirikan pesantren. Namun jelas Kiai Moenawir mempunyai pendapat yang berbeda terhadap modernisme. Para santrinya secara terbuka dilarang mengikuti aktivitas Muhammadiyah (As’ad: 1975). Kiai Moenawir juga menolak anggota organisasi tersebut bertamu ke rumahnya, beliau mewakilkan kepada adiknya untuk menemuinya (As’ad:  1975).

Namun, yang menarik, ini informasi dari Hilmy Muhammad, cicit Kiai Moenawir, ketidaksetujuannya dengan pemahaman keagamaan Muhammadiyah, tidak menghalangi Kiai Moenawi membangun relasi dengan KH Ahmad Dahlan. Lebih dari itu, Kiai Moenawir memberi izin pendiri Muhammadiyah tersebut menikahi adiknya, Nyai Rumiyati binti Abdullah Rosyad.

Seorang mantan santrinya menceritakan bahwa ia belum bisa dan lancar mengucapkan R. Tetapi setelah minum air bekas cucian tangan beliau, ia langsung dapat membaca dengan jelas (As’ad: 1975).

Biografi Kiai Munawwir mengingatkan pada literatur hadis. Ia merupakan riwayat singkat maisng-masing dengan sanad yang mengidentifikasikan sumbernya. Hal seperti ini khas transmisi pengetahuan gaya santri dan umumnya kalangan muslim. Seperti diamati Zamakhsyari (1982) ada satu mata rantai transmisi atau sanad bagi setiap cabang ilmu keagamaan Islam. Matar rantai transmisi ini merupakan inti ilmu pengetahuan hadis, dalam pengertian adalah sumber yang lebih menentukan validitasnya dibanding isi, matan. (Junyboll, 1953).

Tradisi sufi berpandangan bahwa pengetahuan dan praktik mistik harus ditransmisikan dengan cara yang sama seperti itu. Menurut pengamatan Schimmel (1975) setiap murid dipersyaratkan untuk mempelajari silsilah spiritual yang menghubungkannya dengan Nabi Muhammad.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top