Sedang Membaca
Perempuan Terdampak Covid-19: Kasus Perempuan Jepara yang di-PHK
Mifta Kharisma
Penulis Kolom

Peneliti ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam), aktif dalam forum lintas iman, isu kemanusiaan dan minoritas.

Perempuan Terdampak Covid-19: Kasus Perempuan Jepara yang di-PHK

Whatsapp Image 2020 05 11 At 9.37.14 Pm

Dalam tulisan ini, adalah dua sisi perempuan yang terdampak besar dengan adanya wabah virus Corona (Covid-19), dan tentu perempuan memiliki dampak besar dalam melawan Covid-19. Di tengah krisis ini dua narasumber mewakili peran perempuan dalam pandemi. Keadaan hal ini berhasil menunjukkan kapasitas perempuan di tengah krisis.  saat masih banyak pihak yang meragukan kemampuan kaum hawa dalam menduduki tampuk peran sosial.

Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan sosok-sosok perempuan yang muncul saat masa pandemi ini. Sebut saja Jacinda Ardern hingga Tsai Ing-wen. Mereka adalah para politisi perempuan yang berhasil menunjukkan kapasitas kepemimpinan di tengah krisis saat masih banyak pihak yang meragukan kemampuan kaum hawa dalam menduduki tampuk jabatan. Walaupun di tingkat internasional perempuan-perempuan menunjukan nilai positif namun sayangnya ini tidak berlaku pada urusan privat rumah tangga, apalagi rumah tangga bersistem patriarki.

Dengan semakin melonjaknya angka Covid-19 ini dari hari ke hari , dan tidak menentunya kapan wabah ini berakhir. Justru perempuan menjadi kelompok rentan dengan risiko tinggi. Di antaranya adalah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran di berbagai kota di Indonesia. Lantas bagaiamana nasib perempuan dalam masa pandemi ini?

Korban PHK

Di beberapa kota banyak para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja atau dirumahkan sementara karena Covid-19, bahkan banyak pekerja yang tidak mendapatkan upah saat diberhentikan. Wiwit, seorang pekerja pabrik Jepara tepatnya di PT. Boo Young Indonesia.

“Saya masuk kerja bulan Januari, diberhentikan pada Maret karena adanya Covid-19. Teman saya juga banyak yang dirumahkan sementara dan di-PHK. Maret kemarin perusahaan sudah tidak stabil katany,” kata Wiwit saat ditemui di rumahnya.

Baca juga:  Perempuan di Kerajaan Demak

Wiwit mengatakan, dua minggu setelah pemberitahuan ia menandatangi pemutusan kontrak hubungan kerja. Perusahaan tempat ia bekerja juga tidak memberikan kompensasi dan tanggung jawab apapun. Perusahaan melepasnya saat keadaan sedang tidak baik-baik saja.

Setelah tidak memiliki pilihan, Wiwit pun menandatangi surat pemutusan kontrak kerja tersebut sebagai bentuk persetujuan tidak lagi menjadi karyawan dan akan menerima upah terakhir. Perusahaan pun tidak memberikannya pesangon. Ia kehilangan pekerjaan utamanya, akhirnya ia memutuskan untuk melamar kerja ke tetangga-tetangga yang memiliki bisnis kue dan pakaian. Akan tetapi semua juga terdampak dari Covid-19 ini. Ia berkali-kali ditolak.

“Mau gimana lagi, lari sana-sini sudah pada gak menerima kerjaan. Akhirnya nganggur di rumah.”

Sudah sebulan ia menganggur, tapi Wiwit tidak kehilangan semangat begitu saja. Ia dan ibunya membuka warung kecil-kecilan untuk menyambung hidup dan pemasukan pendapatan. Walaupun hasilnya tidak seberapa akan tetapi ia masih bersyukur untuk pemasukan keuangannya lewat usaha kecil-kecilan.  Walaupun usahanya tidak mendapatkan penghasilan yang sama seperti ia bekerja di pabrik.

Ia mengaku setelah pandemi ini ia akna melamar ke beberapa perusahaan kembali, karena gaji yang sesuai UMR juga. Ia juga masih memiliki grup di Whatsapp bersama teman-temannya untuk berbagi informasi mengenai lowongan pekerjaan. Mereka biasanya berbagi di daerah amna saja yang membutuhkan banyak karyawan. Maka sesekali Wiwit juga mencoba melamar walaupun kemungkinan diterimanya sanagt kecil di tengah pandemi ini.

Baca juga:  Cerita Masjid Agung Jatisobo di Sukoharjo

Galang Donasi Perempuan Bantu Perempuan

Di tengah bencana Covid-19 ini, banyak penggalangan donasi untuk membantu para korban yang terdampak. Tak ketinggalan, Wulan. Salah satu jurnalis dan desainer asal Yogyakarta ini juga melakukan penggalangan dana. Perempuan bantu perempuan, begitu selembaran pamflet donasinya. Patungan 5000-an yang dilakukan secara kolektif ini adalah wujud bentuk solidaritas kepada ibu-ibu buruh gendong yang ada di pasar Bringharjo, Yogyakarta. Aksi ini bukan partai poltik, bukan organisasi, aksi ini adalah murni karena atas nama manusia dan bersama-sama ingin membantu perempaun lainnya untuk sama-sama berjuang melawan Covid-19.

“Kalau hari ini kita masih bisa makan nasi telur, apa salahnya kita berbagi hal yang sama untuk perempuan lainnya. Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia(Pramoedya Ananta Toer).” Begitu isi dari pamfletnya.

Tanpa disadari, dan bahkan tidak menyangka. Donasi ini mendapatkan empati yang luar biasa bagi para perempuan-perempuan., aksi ini juga tidak menutup kemungkinan untuk laki-laki berdonasi. Sempat pesimis, perempuan yang sering disapa Wulan ini mengaku pada awal donasi hanya mendapatkan uang kurang lebih satu juta. Tetapi ia tidak berputus asa, akhirnya banyak bantuan sampai saat ini tetap mengalir.

Sebelumnya adanya wabah ini,para buruh gendong pasar Bringharjo mengaku setiap harinya mendapat penghasilan 100.000/hari. Ketika kondisi pasar saat ini sepi tidak ada barang yang mereka angkut. Mau tidak mau terpaksa membuat mereka menganggur. Mereka adalah kelompok yang rentan terkena dampak dari pandemi ini.

Baca juga:  Menuju Masyarakat Pasca Pandemi dengan Gotong Royong: Refleksi Hari Kemerdekaan Indonesia ke-75

“Memang, semua sector terkena dampak dari pandemi, juga pekerja-pekerja perempuan yang memang sudah  rentan seperti PRT, buruh perempuan di pabrik, buruh gendong. Tapi karena yang terdekat masih dalam jangkauan saya ya buruh gendong pasar Bringharjo” Kata Wulan melalui pesan Whattsapp.

Pada hari-hari biasa, ibu-ibu buruh gendong di pasar Bringharjo sudah tergolong di bawah tingkat kesejahteraan, dan rentan. Upah yang minim tanpa ada jaminan kesejahteraan untuk menunjang kehidupan mereka. buruh gendong terdiri dari wanita berusia 20 sampai dengan 90 tahun yang kesehariannya mengangkat beban 50 sampai dengan 90 kg. Pekerjaannya memiliki tingkat risiko kecelakaan yang tinggi serta mengancam kesehatannya. Mereka juga tidak memiliki regulasi yang dapat mengatur  upah yang  layak.  Apalagi ditambah keadaan seperti ini, yang sudah terbilang menjadi kelompok rentan, menjadi semakin rentan.

Beberapa dari mereka yang maish bertahan di pasar, mereka harus mengalah dengan keadaan. Tidur di emperan karena sudah tidak memiliki penghasilan untuk membayar biaya sewa kost. Keadaan ini membuat mereka bertahan dan tidur di sepanjang emperan pasar Bringharjo. Itulah mengapa mereka menjadi sasaran Donasi Perempuan Bantu Perempuan ini.

Mereka termarginalisasi secara ekonomi, sehingga kelompok rentan ini memelihara konsep dan jati diri sebagai buruh gendong di tengah pandemi. Berbeda dengan cita-cita negara dan bangsa, kelompok ini belum mendapat  bantuan dari pusat. Seharusnya pusat dan daerah juga kerja sama dalam mengatasi kelompok-kelompok rentan akibat pandemi ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top