Sedang Membaca
Agama, Kolektivitas Spiritual, dan Kemaslahatan yang Abadi
Rojif Mualim
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Agama, Kolektivitas Spiritual, dan Kemaslahatan yang Abadi

Setiap agama pada dasarnya merupakan agama etika atau moral. pengikutnya yang sejati ialah orang-orang yang memiliki moral yang baik. Nah, sementara inti dari kebaikan adalah ia bersifat universal, tidak terkait dengan sekte, ras, atau doktrin tertentu. Hal ini sangat sejalan dengan pernyataan sekaligus misi Nabi Muhammad SAW. bahwa, beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. Secara imaginer, akhlak yang baik atas misi Nabi itu kelak diharap mampu dan terus melahirkan kebaikan-kebaikan yang berkelanjutan, sehingga kebaikan itu pun diharap dapat bermetamorfosa menjadi sebuah kemaslahatan yang abadi.

Ditinjau dari disiplin ilmu maqoshid Syariah, menurut Imam asy-Syathibi, ada beberapa bentuk kemaslahatan, yaitu Dharuriyat, yang merupakan kebutuhan yang jika diabaikan, akan merusak kehidupan. Hajiyat, merupakan kebutuhan yang jika diabaikan, akan menyebabkan kesulitan. Tahsinat, adalah kebutuhan pelengkap yang jika ditinggalkan, akan membuat kehidupan menjadi kurang nyaman. Ketiga jenis kebutuhan ini adalah tujuan dari Hifdzu Din (perlindungan agama), Hifdzu Nafs (perlindungan jiwa), Hifdzu Aql (perlindungan akal), Hifdzu Mal (perlindungan harta), dan Hifdzu Nasab (perlindungan keturunan).

Itu artinya bahwa kemaslahatan adalah sesuatu yang bersifat universal dan bukan hanya milik individu atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, ini berarti bahwa kemaslahatan adalah hak dan tanggung jawab manusia secara keseluruhan, tanpa ada batasan oleh individu atau kelompok tertentu. Sebab Allah SWT juga tidak lain memerintahkan kepada sesuatu kecuali hanya untuk melahirkan kemaslahatan hamba-Nya.

Nabi Muhammad Saw. Perjuangan, dan Kebaikan

Orang-orang Muslim klasik menyadari bahwa dalam Kitab Suci terkandung norma-norma moral yang harus diwujudkan dalam sejarah dunia. Usaha ini menjanjikan pahala besar di dunia dan di akhirat, tetapi juga memiliki risiko besar untuk salah dan keliru. Namun, kesalahan dan kekeliruan menjadi tidak relevan ketika tekad dan semangat Ketuhanan ada dalam diri seseorang. (rabbânîyah, ribbîyah), (Q., 3:79 dan 146)

Baca juga:  Zakat Dan Misi Kesejahteraan Sosial

Dalam konteks ini, seluruh perjuangan (dalam aspek apa pun) harus dipandang sebagai bagian dari aspek kemanusiaan. Oleh karena itu, sejarah Islam memiliki kesatuan dan makna yang unik karena adanya pandangan hidup dan perjuangan yang didasarkan pada keyakinan untuk tunduk pada kehendak Allah. Dalam catatan sejarah kita juga, Nabi Muhammad saw telah menyatakan bahwa beliau diutus untuk menyebarkan ajaran keilmuan yang luas.

Pengertian lebih jelas mengenai maksud tersebut dapat ditemukan dalam sebuah hadis. Dari Abu Umamah, dia bercerita, “Kami keluar bersama Rasulullah saw, dalam salah satu ekspedisi beliau, kemudian seseorang melewati sebuah gua yang disitu ada air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan memakan tetumbuhan di sekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia.” Lalu orang itu berkata, “Kalau nanti aku bertemu Nabi Allah Saw aku akan ceritakan perkara itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, tidak.

Maka datanglah ia menemui beliau (Nabi), lalu berkata, “Wahai Nabi Allah, aku melewati sebuah gua yang di situ ada air dan tetumbuhan yang menjamin hidupku. Maka aku pun berkata kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari dunia.” Orang itu menuturkan bahwa Nabi saw menjawab, “Aku tidak diutus dengan keyahudian, juga tidak dengan kekristenan. Akan tetapi aku diutus dengan kehanifan yang lapang (al-hanîfîyah al-samhah). Demi Dia yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, pergi-pagi dan pulang-petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun,” (HR Imam Ahmad).

Baca juga:  Memadukan Alquran dan Kitab Kuning

Kolektivitas Spiritual dan Pola Ikatan Sosial

Agama yang mengajarkan kesederhanaan spiritual adalah agama yang mengutamakan sikap batiniah seseorang, yang terletak di dalam hatinya, menuju keinginan dan niat yang baik, tulus, dan jujur seperti yang telah diajarkan oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad, seperti nabi Isa al-Masih, Musa, dan Ibrahim.

Jika keimanan yang luas yang pada dasarnya bersifat pribadi, dinyatakan melalui tindakan sehingga kemudian seluruh tindakan individu Muslim itu saling terkait dan saling mendukung satu sama lain, maka akan terbentuklah suatu kolektivitas spiritual (ummat), yang memiliki karakteristik yang unik sebagai manifestasi dari cita-citanya yang khas.

Agama Islam yang mempromosikan keimanan yang luas mendorong munculnya pola ikatan sosial, yang pada dasarnya adalah hukum. Inilah Islam sejarah-agama keimanan yang luas, yang telah diwujudkan sebagai pengalaman bersama oleh banyak individu dalam konteks waktu dan ruang tertentu untuk membentuk suatu kesatuan masyarakat beriman yang disebut sebagai umat, dengan kesadaran bersama untuk mematuhi hukum dan aturan sebagai intinya.

Iman dan Rasionalitas

Kesadaran tentang hukum ini muncul karena keimanan yang mendasari orientasi etis dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada sifat manusia yang lebih mendasar dari naluri untuk beribadah dan mengabdi. Jika naluri alami ini tidak diarahkan dengan baik, manusia cenderung melakukan tindakan yang buruk dan menyimpang dari jalan yang benar. Hal ini bisa membuat manusia lupa akan janji primordialnya dengan Tuhan, yang pada hakikatnya merupakan dasar dari hati nurani dan kemanusiaan yang sama-sama dimiliki oleh manusia. Kekurangan kesadaran akan hati nurani bisa menjadi sumber bencana kemanusiaan, seperti yang terjadi dalam sejarah manusia.

Baca juga:  Di Bawah Bayang-Bayang Paradoks Bonjol (4): Menyelisik Kampung Puritan 

Dalam pandangan pluralis Cak Nur, perjanjian primordial yang meneguhkan hati nurani manusia meyakini bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan alami menuju kesucian dan kebaikan sejak awal penciptaan (fithrah). Kecenderungan ini tidak akan berubah selamanya karena menjadi landasan dari kebijaksanaan abadi (al-hikmah al-khâlidah, sophia perenis). Namun, meskipun setiap manusia dilahirkan dengan fithrah yang suci, tidak semua orang memiliki sensitivitas fithrah yang cukup untuk memahami kebenaran. Hal ini disebabkan oleh pengalaman hidup sosial dan budaya yang menumpuk dan menghalangi akses ke fithrah yang ada.

Walaupun manusia dapat mempertahankan fitrahnya dengan menggunakan akal, namun tidak semua kebenaran dan kebaikan sejati dapat dipahami oleh akal manusia. Akal adalah sebuah anugerah penting dari Tuhan sebagai alat untuk hidup manusia. Manusia diperintahkan untuk menggunakan akalnya (fides quaeren intellectum, yaitu iman membutuhkan rasionalitas) agar dapat menemukan kebenaran dan kebaikan. Namun, perlu diingat bahwa, akal saja tidak cukup untuk memahami dan menangkap kebenaran sejati, terutama tentang Tuhan Yang Maha Esa, karena tidak semua kebenaran dapat dijelaskan secara empiris dan rasional.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top