Sedang Membaca
Saya Masih Percaya Gus Dur itu Dewa, Cuma Jadi Kiai
Moh. Rofqil Bazikh
Penulis Kolom

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di Garawiksa Institute.

Saya Masih Percaya Gus Dur itu Dewa, Cuma Jadi Kiai

gusdur

“Saya masih percaya Gus Dur itu dewa, cuma jadi kiai” Arswendo Atmowiloto tidak segan melontarkan kalimat tersebut tepat di haul ke-5 Gus Dur. Ketakjuban Arswendo barangkali berjangkar pada pembelaan Gus Dur atasnya pada tahun 90-an. Tatkala Arswendo menjabat sebagai pimpinan redaksi Tabloid Monitor yang dianggap telah menistakan nabi.

Pasalnya, Arswendo menayangkan angket terkait tokoh yang paling dikagumi. Angket tersebut menempatkan nabi Muhammad pada urutan kesebelas, persis di bawah Arswendo. Umat muslim sontak berang melihat artikel tersebut hingga berujung penggerudukan kantor Monitor. Titik klimasknya adalah pencabutan Surat Isin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dilakukan oleh Menteri Penerangan rezim Soeharto.

Ketika banyak tokoh dari berbagai kalangan mengecam Arswendo—di antaranya Cak Nur—Gus Dur justru berada di belakang Arswendo. Kendati ia tidak mengafirmasi perbuatan Arswendo, namun dengan tegas menyatakan tidak sepakat terhadap pemberedelan Monitor oleh pemerintah. Bagi Gus Dur, pemberedelan apapun bentuknya membuat roda demokrasi kempes. Ini merupakan salah satu cerita bagaimana Gus Dur teguh menjunjung demokrasi dan konstitusi setinggi-tingginya. Selebihnya, kalau tidak percaya coba tanya Inul Daratista, yang goyangannya sempat menghebohkan jagat itu! Bagaimana Gus Dur melakukan pembelaan bahwa itu merupakan kebebasan berekspreasi yang dilindungi konstitusi.

Tidak cukup sampai di situ, Gus Dur juga percaya bahwa demokrasi sama dengan kemerdekaan, harus diperjuangkan. Ia menyadari bahwa menyelenggarakan negara demokratis, butuh perjuangan yang tidak sedikit. Pada tulisannya yang bertititmangsa 1978 Gus Dur dengan tegas menyatakan bahwa jikalau tidak bersungguh-sungguh menegakkan demokrasi bukan tidak mungkin terjegal oleh kekuatan antidemokrasi itu sendiri. Ditambah lagi terdapat batu sandung berwujud orang-orang yang ingin melanggengkan kepincangan sosial yang ada. Dua hal ini merupakan gerakan yang dapat sepenuhnya bertolak belakang dengan nilai-nilai demokratis.

Baca juga:  Taman Siswa dan Seni(man)

Lalu, bagaimana Islam ketika dihadapkan dengan demokrasi ini, secara spesifik bentuk negara? Gus Dur menyatakan dengan tegas dalam esainya Negara Islam, Adakah Konsepnya? bahwa telah menghabiskan sepanjang hidupnya sia-sia hanya untuk mencari negara Islam itu. Pantas ia kemudian berkesimpuulan bahwa Islam tidak pernah mempunyai aturan yang baku soal bagaimana bentuk negara. Bahkan, Islam juga tidak punya tata aturan yang baku bagaimana mekanisme pengangkatan pemimpin. Hal ini terbukti pascawafatnya nabi, umat Islam kebingungan untuk mengangkat pemimpin. Tidak heran kalau kemudian empat pemimpinan Islam fase awal (lazim kita sebut khulafa’ al-rasyidun) melalui tahap yang berbeda untuk duduk di tampuk kepemimpinan.

Sementara itu, kepemimpinan dalam tesmak Gus Dur bukan sebuah tujuan. Ia lebih menempatkan kepemimpinan sebagai wasilah untuk sampai pada tujuan. Adalah kemaslahatan/kesejahteraan rakyat yang merupakan tujuan dari kepemimpinan. Terkait ini, Gus Dur dengan argumentatif mengutip salah satu kaidah yang masyhur dalam tradisi usul fikih (Islamic legal theory). Kemaslahatan seorang imam/pemimpin harus berkelindan erat dengan maslahat, kurang lebih demikian bunyinya. Ini berarti bahwa ungkapan dan pandangan Gus Dur tidak berangkat dari ruang kosong. Pandangannya mumpunyai latar historis dan pijakan yang argumentatif.

Menariknya, apa yang dimaksud kesejahteraan oleh Gus Dur tidak ekskulsif pada aspek ekonomi saja. Kebebasan berekspresi, berbicara, hingga kebebasan beragama adalah aspek-aspek yang menjadi barometer kesejahteraan masyarakat. Terkait kebebasan beragama, misalnya, Gus Dur—yang mengafirmasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)—menganggap bahwa hukuman konversi (untuk tidak menyebut murtad) dari Islam ke agama lain harus dipertimbangkan ulang. Sebagaimana jamak diketahui bahwa sanksi konversi adalah hukuman mati. Bagi Gus Dur, kalau nalar fikih klasik ini masih dipakai, jutaan orang Indonesia yang habis lantaran konversi teologis ini.

Baca juga:  Respons KH. Ahmad Siddiq, Gus Dur, dan Nurcholis Madjid 36 Tahun Silam atas Khittah NU 1926

HAM dalam pandangan seorang Gus Dur merupakan hal yang universal dan menyeluruh. Ia mesti ditegakkan bersama-sama dengan demokrasi. Tentunya, penegakan ini tidak pernah mudah dan sederhana, namun dari Gus Dur kita telah menemukan presedennya. Pembelaan Gus Dur atas Arswendo dan Inul di antaranya. Ada banyak rekam jejak Gus Dur yang kalau direfleksikan akan seirama dengan proses demokratisasi bangsa kita. Sayangnya, hal tersebut tidak pernah bisa dilakukan dengan mudah. Gus Dur tetap seorang Gus Dur yang perlu diperhatikan lebih cermat, teliti dan tangkas. Inilah mengapa tidak sedikit orang yang tak paham jalan pikirannya. Bagi saya, membaca Gus Dur tidak mudah dan tidak akan pernah mudah.(**)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top