MODT: Monumen Perdjoeangan Oelama (MPO), Bukan MBO
Mengenang Cak Anam, saya pun teringat ketika mendokumentasikan situs di dekat Pabrik Paku, Waru. Terdapat situs bersejarah NU, Markas Oelama Djawa Timoer (MODT). Pendokumentasian dalam bentuk foto, gambar video dan pelukisan sketsa, pada pertengahan 2004.
Kita mencatat, dalam serangkaian perayaan Hari Santri pada 2019, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, menggelar Napak Tilas Sejarah Markas Besar Oelama (MBO), pada Sabtu 16 November 2019. Situs yang sesungguhnya merupakan Markas Oelama Djawa Timoer (MODT, mengacu pada penulisan dalam sejarah), di Jalan Satria RT 17 WR 03, Kedungrejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo.
Di lokasi tempat para kiai melakukan koordinasi di masa perjuangan revolusi fisik, Revolusi Indonesia 1945-1949. Di lokasi inilah, kita tahu, para kiai menyampaikan instruksi guna membangkitkan soliditas laskar-laskar kerakyatan, yang khas kaum santri: Barisan Hizbullah-Sabilillah. Laskar-laskar rakyat yang lain, seperti Pemoeda Republik Indonesia (PRI), Barisan Pemberontak Repoeblik Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo, dll.
MODT merupakan perwujudan dari Fatwa Djihad yang digariskan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Fatwa Djihad inilah, menjadi dasar dikeluarkannya Resolusi Jihad fii Sabilillah oleh Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) atau Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dikeluarkannya Resolusi Jihad NU, merupakan hasil rapat para kiai pesantren konsul NU se-Jawa dan Madura, pada 21-22 Oktober 1945 di gedung Jalan Bubutan VI/2 Surabaya. Di lokasi ini, kini berdiri Prasasti Monumen Resolusi Jihad fii Sabilillah NU.
Dalam Fatwa Djihad disebutkan, ”Hoekoemnja memerangi orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardoe ‘ain bagi tiap2 orang Islam jang moengkin meskipoen orang fakir. Hoekoemnja orang jang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplot2nja, adalah mati sjahid. Hoekoemnja orang jang memetjahkan persatoean kita sekarang ini wadjib diboenoeh.”
Fatwa Djihad K.H. Muhammad Hasyim Asj’ari, tanggal 17 September 1945, menjadi dasar para alim ulama se-Jawa dan Madura, melahirkan Resolusi Djihad NU pada 22 Oktober 1945. Para santri yang sebelumnya digembleng di masa pendudukan Jepang, seperti Pembela Tanah Air (PETA) dan Barisan Hizbullah, pada masa mempertahankan kemerdekaan itulah tampil secara nyata. Dalam Barisan Hizbullah sejumlah santri – yang di kemudian hari tampil sebagai kiai dan tokoh masyarakat – digembleng di Cibarusa, Jawa Barat. KH Zainul Arifin, Konsul NU Betawi, ditunjuk menjadi Pemimpin Tertinggi Markas Barisan Hizbullah.
Selain itu, para kiai yang telah menjadi tokoh di masyarakat, berada pada satu kesatuan Barisan Hizbullah. K.H. Masjkur, dikenal sebagai anggota Badan Persiapan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersama K.H. A. Wahid Hasyim – untuk menyusun Konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar 1945 – tampil menjadi Pemimpin Tertinggi Barisan Sabilillah. Dalam perkembangan berikutnya, pendirian Masjid Sabilillah di Kota Malang, tak lepas sebagai monumen perjuangan K.H. Masjkur. Kita bersyukur, KH Masjkur akhirnya dianugerahi Pahlawan Nasional sebagai pengakuan negara atas perjuangan tokoh NU.
Momentum Resolusi Djihad yang dikeluarkan secara resmi oleh Nahdlatul Ulama, telah ditetapkan sebagai Hari Santri. Dengan Ketetapan Pemerintah No. 22 Tahun 2015, ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober 2015. Dengan Napak Tilas tersebut, PWNU Jawa Timur mengajak seluruh elemen-elemen bangsa untuk mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderungan-kecenderungan perkembangan di masa depan serta rekonsiliasi di antara sesama saudara sebangsa. Nahdlatul Ulama diminta untuk mengambil inisiatif bagi terwujudnya forum tersebut.
Menjadi situs bersejarah perjuangan, Gedung MODT bisa diwujudkan, lebih tepatnya, menjadi Monumen Perdjoeangan Oelama (MPO). Sebagai situs bersejarah, dalam monumen tersebut terasa elok berisi fakta-fakta perjuangan berupa foto-foto, surat-surat penting, dan hal ihwal yang mencerminkan semangat nilai-nilai perjuangan pada kiai di masa Revolusi Nasional Indonesia.
Selain perlu status kepemimpinan oleh Badan Hukum Perkumpulan Nahdlatul Ulama, juga perlu diusulkan agar situs bersejarah tersebut menjadi Cagar Budaya yang dilindungi Pemerintah Daerah setempat. Dalam hal itu, PWNU Jawa Timur mengadakan koordinasi pada PCNU Sidoarjo, tempat lokasi situs bersejarah tersebut, dan PCNU Surabaya yang telah membeli aset tersebut di masa kepemimpinan K.H. Asep Saifuddin Chalim – putra kiai generasi pendiri NU K.H. Abdul Chalim Leuwimunding, yang telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada November 2023 ini.
Alhamdulillah, negosiasi atas sertifikat kepemilikan gedung tersebut, yang selama ini disimpan Kiai Asep Saifuddin akhirnya berhasil diserahkan kepada PBNU melalui H. Sholeh Hayat dari PWNU Jawa Timur pada Rabu, 13 November 2019. Dalam hal ini, pengelolaannya berada di tangan PWNU Jawa Timur.
Dalam dokumen tersebut disebutkan “wakaf tanah dan bangunan Markas Besar Oelama (MBO) Jawa Timur”. Menurut saya, berdasar fakta dan catatan sejarah, tak tepat bila situs itu disebut Markas Besar Oelama (MBO). Hati kecil pun bertanya, “sebesar mana gedung yang menjadi situs bersejarah itu?”. Lebih tepatlah situs itu dinamakan Markas Perdjoeangan Oelama (MPO). Jangan-jangan kita mengidap “waham kebesaran”, seolah bila ada Pengurus Besar NU, penyebutan suatu situs MODT harus pula dengan label “besar”, menjadi “Markas Besar”. Menyebut suatu situs yang tak sesuai data sejarah, harus dihindari. Penyebutan suatu situs yang tak tepat, akan berakibat buruk: meragukan kebenaran sejarah.
Penting adanya kepaduan dan keselaran sebutan di kalangan NU sendiri, sebelum pihak di luar NU akan menjadikan rujukan penting bagi penulisan sejarah NU yang lebih luas. Dengan penulisan yang tepat terhadap situs bersejarah, akan meneguhkan penyebutan yang benar pula kepada para pengkaji sejarah. Terutama bagi pengkaji di luar kelompok kaum santri.
Terwujud Monumen Perdjoeangan Oelama (MPO) bukan sekadar menjadi saksi bisu, melainkan juga menjadi lokasi guna terus memompa semangat perjuangan dan penanaman rasa Nasionalisme para santri. Misalnya, setiap menjelang Hari Santri, para kiai mengadakan Sekolah Kebangsaan di lokasi tersebut. Atau serangkaian kegiatan yang menyegarkan ingatan kolektif Bangsa Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan itu.
Dari situs bersejarah ini, “memancar energi hubbul wathan minal iman, cinta bangsa adalah bagian dari iman, yang tidak pernah kendur hingga penjajah mundur”. Di sinilah, tepat bila gedung tersebut menjadi tempat penggemblengan spiritual kader-kader NU di masa depan. Misalnya, menjadi tempat untuk tirakatan, istighotsah yang sifatnya sebagai proses penguatan kerohanian.
Sekali lagi, situs Gedung MODT, lebih tepat disebut Monumen Perdjoeangan Oelama (MPO). Berfungsi optimal, benar-benar mampu menjawab tantangan zaman bagi generasi muda NU di masa depan. Menjadi tempat kunjungan wisata sejarah bagi kaum santri, para pelajar kita, guna menanamkan nilai-nilai perjuangan dan kecintaan terhadap bangsa dan Negara kita.
Keberadaan situs MODT, tertoreh dalam tulisan K.H. Abdurrahman Wahid (almaghfurlah) dan K.H. Aziz Masyhuri (almaghfurlah) saat membahas sejarah hidup KH Bisri Syansuri, Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. Saya pun menyaksikan, penyebutan MODT itu ketika Gus Dur, sebagai Presiden RI, menyampaikan pidato saat peresmian Monumen Tugu Pahlawan di Surabaya pada 10 November 2000. Begitulah, seharusnya menjadi dasar kita sebagai suatu kewajaran demi keselarasan penulisan sejarah yang sesungguhnya.
***
Buku dan Monumen Ingatan
“Ilmu itu ibarat seekor binatang buruan, dan tulisan itu adalah pengikatnya. Ikatlah binatang buruanmu dengan ikatan yang kuat. Suatu kebodohan bila engkau memburu seekor kijang, lalu engkau tinggalkan terlepas begitu saja”. Pesan Sayidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhahu, sangat penting bagi kaum santri. “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”.
Suatu ketika Roeslan Abdulgani memanggil Moenasir. “Ada yang memprotes saya,” kata Cak Roeslan. “Mengapa dalam buku saya Seratus Hari di Surabaya sedikit sekali menyebut Hizbullah,” tambahnya.
Moenasir terdiam. Roeslan lalu menyodorkan sepucuk surat. “Ini lho surat temanmu. Saya dikatakan mengecilkan peran Hizbullah. Saya ini bukan Hizbullah, kok disuruh menulis tentang Hizbullah, ya nggak ngerti. Mestinya kamu yang harus menulis,” kata Cak Roelan.
Moenasir (1919-1999) tak lain adalah anggota Laskar Hizbullah, pemimpin Batalyon Tjondromowo – sebuah batalyon cukup tersohor pada zaman ketika kaum santri berjuang menghadapi Agresi Militer Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia. “Kesalahan kita adalah kurang banyak menulis. Ini kesalahan besar,” kata Moenasir.
Ia menyadari, dalam buku-buku sejarah, peran umat Islam, khususnya yang tergabung dalam Laskar Hizbullah memang disebut. Namun, hanya sepintas. Bahkan, penulis sejarah yang juga saksi sejarah sekelas Roeslan Abdulgani – pejuang arek-arek Surabaya – tak banyak menyinggung peran Hizbullah.
Saya termasuk beruntung. Beberapa kali bersilaturahmi, melakukan percakapan dengan Kiai Moenasir Ali – sebelum reformasi. Hari-hari tuanya dihabiskan di Desa Pekukuhan, Mojosari Mojokerto seraya memimpin Yayasan Dahlan Syafi’i yang mengelola sejumlah sekolah. “Ya, inilah kesalahan kita, tidak banyak menulis, sehingga penulisan tentang sejarah perjuangan umat Islam ini tidak utuh”.
Sejumlah tokoh gerakan bawah tanah sangat cakap dalam mendokumentasikan perannya. Sutan Sjahrir, dengan Renungan Indonesia, Tan Malaka dengan Madilog, Dari Penjara ke Penjara dan sederetan risalah perjuangan ideologi yang ditulisnya. “…ada buku khusus tentang gerakan bawah tanah mereka. Tapi gerakan yang sama yang dilakukan oleh kalangan pesantren, mana ada bukunya?”.
Bagi Moenasir, buku-buku itu merupakan bukti betapa menulis sama pentingnya dengan gerak langkah perjuangan yang telah dilakukannya. Buku merupakan monumen ingatan, yang tak hanya bisa dibaca ketika sang pelaku berangkat uzur. Tapi juga menjadi harta warisan yang menyemai semangat bagi generasi anak-cucunya.
Di Surabaya, hingga peringatan Hari Pahlawan seiring Peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, banyak nama tersimpan erat di laci sejarah. Tapi, Djohan Sjahroezah di antara yang beruntung karena tokoh gerakan bawah tanah yang satu ini juga meninggalkan tulisan – meskipun terpencar di pelbagai media cetak terbatas. Hal itu membuat saya terperangah karena bias sejarah–sesuatu yang juga dialami para santri dan momen kelahiran Resolusi Jihad Fii Sabilillah oleh para kiai di lingkungan pesantren, khususnya yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama dan rakyat jelata di pinggir sejarah. Sejarah memang kerap diperlakukan tak adil.
Selalu teringat akan pesan dan seolah bergumam dalam batin ini: ”Ketika tembok Cina selesai didirikan, ke manakah para pekerja bersembunyi atau disembunyikan?” Itulah kata-kata Ernst Bloch. Tembok Cina sesungguhnya dibuat oleh para pekerja, mungkin budak pada zamannya, tapi justru nama Shih Huang-Ti yang tercatat dalam tinta emas sejarah karena masterpiece dunia ini. Pertanyaan Ernst Bloch itu, kerap mengganggu pikiranku.
Benarkah sejarah ditulis oleh yang menang? Tak selamanya demikian. Betapa pun pemenang dalam sebuah kekuasaan mengitervensi pola penulisannya tapi sejarah akan bicara dengan fakta. Di antara sumber penulisan itu adalah fakta tulisan –- meski dalam kerjanya harus mengalami verifikasi dan pelbagai cara guna meyakinkan derajat periwayatannya.
Berteriak menyalahkan “pemenang” kita akan tetap berada di pinggir sejarah. Laju perubahan harus digeser: menuju ke arus sejarah! Maka menulislah. Scribo ergo sum, kata Scholes. Aku menulis maka aku ada. Wallahu a’lam.
Demikian sekaligus refleksi dalam mengenang Drs. H. Choirul Anam. Sosok penulis penuh gairah, mengukir nama harum penulisan awal sejarah NU. Nama harumnya terus dikenang, bersama nama-nama lain yang kita kenal: K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Achmad Sjaichu, H. Mahbub Djuanidi, Asrul Sani, Usmar Ismail, H. Said Budairy, Musthafa Helmy, dan sederet nama dari generasi berikutnya. []