Ada saja cara partai politik dalam menarik simpati masyarakat, baik ditujukan bagi massa pendukungnya atau untuk mengambil hati massa kelompok lain. Kampanye parpol umumnya disokong dengan nyanyian atau yel-yel yang menjadi identitasnya.
Contoh paling gamblang adalah ketika NU masih menjadi parpol. Tentu saja salawatan dirasa pas sebagai lagu kampanye. NU sering menggunakan salawatan yang sudah dijawakan untuk menarik basis massa tradisionalnya.
Secara visual, masing-masing parpol mempunyai simbol yang kuat, sehingga parpol seolah tidak terpisahkan dengan simbol yang melekat. Golkar identik dengan beringin. PPP dengan gambar kabah. PDI dengan dengan bantengnya. Atau ambil contoh simbol palu-arit yang sampai saat ini masih menghantui meski PKI sudah dihanguskan oleh pemerintah Indonesia.
Simbolisme ini dulu juga kerap menjadi sumber olok-olok tiap kampanye berlangsung. Contohnya PPP sebagai satu-satunya partai berbasis kaum santri, dengan juru kampanye di antaranya adalah kiai.
Tak jarang dalil-dalil agama digunakan, seperti surat al-Baqarah ayat 35 yang berbunyi “Jangan kalian dekati pohon itu…”. Ayat yang menceritakan larangan kepada Nabi Adam untuk mendekati pohon Khuldi ini jadi tembakan buat menyerang Golkar yang berlogo pohon beringin.
Salah satu yang saya ingat adalah olok-olok “beringin itu sarangnya setan genderuwo!” mengaitkan mitos Jawa bahwa pohon rimbun itu pasti ada penunggunya. Atau “ojo pilih ndas kebo, kebo kuwi bodo”, ya meski kita semua tahu symbol PDI itu kepala banteng, bukan kerbau.
Media kaligrafi
Dari macam-macam media kampanye dan sosialisasi, baru-baru ini saya temui media yang barangkali terlupakan, atau tidak begitu jadi perhatian. Yaitu media kaligrafi, khususnya kaligrafi aksara Arab. Menjadi semakin menarik ketika media kaligrafi ini justru digunakan oleh Golkar untuk meraih simpati masyarakat santri ketika itu.
Di rumah kakek saya terdapat satu kaligrafi Arab berbentuk pohon beringin, digores di atas media papan kayu.
Kaligrafi itu bertuliskan surat al-Fatihah berwarna hitam di atas latar putih. Meliuk-liuk sedemikian rupa sehingga membentuk pohon beringin, yang notabene identik dengan simbol Golkar, dari zaman Pak Harto sampai zaman Setya Novanto. Di atas beringin itu terdapat lingkaran bertuliskan nama nabi agung Muhammad SAW.
Pada masing-masing sudut latar putih terdapat empat buah lingkaran, yang masing-masing bertuliskan nama empat sahabat Nabi, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Di atas lingkaran bertuliskan Muhammad tersemat tajuk bertuliskan surat al-Fatihah dalam aksara Arab.
Secara kualitas dan kerapian tulisan, kaligrafi ini biasa saja. saya sendiri tidak mampu menebak kaligrafi ini menerapkan khat macam apa. Bahkan terkesan dipas-paskan saja supaya muat dalam bentuk pohon beringin.
Goresan kaligrafi di atas dilengkapi dengan bingkai ulir sederhana didominasi latar belakang warna hijau dan warna kuning untuk hiasannya. Selain berhiaskan lekukan ulir, bingkai ini dilengkapi juga dengan lambang Pancasila. Di sudut kanan atas terdapat simbol beringin yang menyimbolkan persatuan Indonesia.
Sudut kiri atas terdapat lambang kepala banteng sebagai simbol sila keempat. Rantai sebagai lambang sila kedua ada di sudut kanan bawah sementara padi dan kapas berada di sudut kiri bawah. Bintang, sebagai lambang sila “ketuhanan yang maha Esa” terdapat di bagian tengah atas dengan ukuran lebih besar dari lambang sila yang lain.
Kaligrafi itu tergantung begitu saja di ruang tamu kakek saya. Usianya bahkan lebih tua dari saya sendiri. Warnanya sendiri sudah cukup pudar dimakan waktu. Saya tidak pernah mengamatinya dari dekat sampai akhirnya saya penasaran dengan cerita yang ada di baliknya. Rasa penasaran baru muncul sekarang ini mungkin karena sedikit melek soal politik dan simbolisme.
Menurut informasi yang saya peroleh, kaligrafi beringin itu merupakan karya KH. Abdul Karim Husain.
Kiai Husain adalah salah satu tokoh Nahdlatul Ulama di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Beliau nyantri di Pondok Al-Munawwir diasuh oleh KH. Ali Maksum Krapyak, lantas kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga. Pendidikan tingginya membuat Kiai Husain termasuk kiai yang langka di Kendal, bahkan mungkin jadi satu-satunya kiai di kalangan NU bergelar doktorandus di Kendal di era 70-an sampai 80-an.
Persinggungan Kiai Husain dengan beringin menjadi tidak asing, karena ia pegawai negeri di Kementerian Agama Kabupaten Kendal. Ketika NU masih berafiliasi ke PPP sebelum kembali ke khittah 1984, menjadi fungsionaris Golkar jelas langkah berani. Bagi warga NU pada masanya, apalagi zaman Orba, pejah gesang milih PPP (hidup mati memilih PPP) sebagai satu-satunya jalur politik. Sehingga banyak kalangan salah paham, termasuk oleh kiai NU lain saat itu.
Situasi ini lah yang akhirnya melahirkan karya kaligrafi al-Fatihah berbentuk pohon beringin khas Golkar ini. Kaligrafi ini jadi tinggalan bukti luwesnya strategi budaya dan politik ala kiai NU. Kaligrafi yang dimaksudkan untuk mengambil hati kalangan nasionalis Golkar, supaya tidak serta-merta membidik permusuhan kepada kalangan NU atau Islam secara umum.
Sebaliknya, kaligrafi ini seperti menunjukkan bahwa meski jadi fungsionaris Golkar, komitmen ke NU tidak diragukan. Konon keputusannya untuk ‘menyusup’ ke Golkar adalah supaya mampu bersaing di birokrasi di Kementerian Agama, yang waktu itu tidak banyak diisi oleh orang NU.
Sebagai karya seni, kaligrafi beringin Kiai Husain menemukan fungsinya, membuat tensi politik menjadi lebih berkelas, beradab sekaligus berbudaya. Sedih rasanya saat ini justru kita lebih banyak membanjiri dialog politik dengan karya seni berupa kebohongan dan ujaran kebencian.