Ibadah haji mengandung makna dan pesan ajaran spiritual dan moral atau karakter bagi umat Islam. Umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima diharapkan memiliki keseimbangan hidup dan karakter mulia kepada Pencipta dan ciptaan-Nya. Predikat haji mabrur yang menjadi dambaan jemaah haji, salah satu cirinya mampu mentransmisikan pesan kesadaran ekologis dalam mendukung keberlanjutan kehidupan di planet bumi ini.
Pada tahun 2023, Kerajaan Arab Saudi (KSA) menyambut jemaah haji sebanyak 2 juta tamu Allah (dhuyufur rahman). Hampir sama seperti sebelum pandemi pada 2019 sebanyak 2,5 juta peziarah dari seluruh dunia. Banyak tantangan dalam mengelola sebuah agenda besar muktamar tahunan umat Islam ini, salah satunya masalah dampak lingkungan yang diakibatkan dari seluruh rangkaian kegiatannya.
Hal ini tentu saja bukan hanya menjadi tugas pemerintah KSA sebagai pelayan dua kota suci, tetapi melibatkan kontribusi semua pihak termasuk jemaah haji untuk menjalankan misi hijau atau pro lingkungan selama beribadah haji agar kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga. Misi ini selaras dengan hakikat dan tujuan ibadah haji itu sendiri yang menekankan untuk selalu berperilaku baik sebagai salah satu indikator predikat haji mabrur.
Manusia dalam setiap aktifitasnya tanpa terkecuali senantiasa menghasilkan emisi karbon. Dalam konteks aktifitas pada periode musim haji, riset Hanadeh (2013) dari Griffith University mengestimasi rata-rata setiap jemaah haji per harinya berkontribusi menyumbang emisi gas rumah kaca (CO2 dan gas lainnya) sebesar 60,5 kg dari aktivitas transportasi, selama menginap di hotel atau pondokan, makanan, dan pengelolaan limbah.
Jika kita menghitungnya dengan mengambil waktu tinggal terlama jemaah haji regular sekitar 40 hari di tanah suci dikalikan dengan jumlah populasi jemaah haji maka akan menghasilkan jejak karbon (carbon footprint) dalam jumlah yang besar.
Karenanya, penting menanamkan kesadaran ekologis bagi jemaah haji dan bahkan menjadi sebuah keharusan yang harus terus diedukasi sejak sebelum berangkat, tinggal di tanah suci, hingga implementasinya secara berkelanjutan pasca haji ketika kembali ke tanah air.
Biasanya sebelum keberangkatan, jemaah haji wajib mengikuti pertemuan pembinaan manasik. Momentum ini sebaiknya dimanfaatkan pembimbing untuk menyampaikan pesan teologis nilai-nilai literasi ekologi seperti menghindari sikap berlebihan (israf) dan boros (tabzir) selama menjalankan ibadah haji. Keduanya sebagai perilaku tercela yang dibenci Allah, sehingga pelakunya dianggap sebagai saudaranya setan.
Dalam buku tuntunan Manasik Haji dan Umrah, pesan hemat atau tidak berlebihan menjadi materi penting yang harus disampaikan, misalnya penggunaan air, listrik, makanan, uang, dan lainnya.
Memang kalau dianggap efektif mungkin agak berlebihan karena kegiatan yang frekuensinya hanya beberapa kali saja, rasanya belum cukup jika harus sampai terinternalisasi menjadi sebuah perilaku pro hijau. Tetapi paling tidak, ini memberikan pemahaman dan sikap positif bahwa membawa misi kesadaran lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari setiap ibadah khususnya ibadah haji.
Ritual ibadah haji sebagai puncak dari segala ibadah sebagai tindakan ibadah yang diperintahkan Allah, yang pada kenyataannya mempersiapkan kita untuk ibadah keseluruhan yang lebih besar yang harus kita lakukan sepanjang hidup mengandung latihan spiritual dan pembiasaan berakhlak baik. Dalam haji, terdapat latihan moral (al-Baqarah [2]: 197).
Dalam Tafsir Alquran, pelaksanaan haji yang waktunya sudah ada ketetapannya sehingga bagi yang melaksanakannya dilarang melakukan tindakan yang buruk, seperti bermegah-megahan. Hati dan pikiran hanya untuk ibadah, mencari keridaan Allah dan selalu mengingat-Nya. Dalam rangka terlaksananya dengan baik dan sempurna maka ditekankan membawa bekal yang paling baik, yaitu bertakwa dan bekal yang cukup seperti makanan, minuman, dan pakaian sampai kembali ke tempat masing-masing pasca haji.
Terhadap lingkungan hidup pun demikian. Pesan ekologis saat berihram wajib menjaga kelestarian flora dan fauna. Jemaah dilarang memburu dan menganiaya atau membunuh binatang dengan cara apa pun, kecuali yang membahayakannya, dan memotong kayu-kayuan dan mencabut rumput. Jelas sekali, Islam memiliki seperangkat ajaran yang mewajibkan pemeluknya senantiasa menjaga lingkungan hidup.
Begitu pentingnya pesan ini, memori kita dibawa untuk mengingat kembali bagian isi khutbah Arafah pada 2012 almarhum K.H. Hasyim Muzadi. Baik buruknya sumber daya alam ditentukan oleh cara pengelolaan manusia. Sehingga relasi manusia dan alam dapat memberikan keberkahan kemanfaatan bumi dan juga sebaliknya dapat menjadi sumber kerugian kehidupan akibat dari perilaku manusia sendiri yang menciptakan kerusakan pada alam.
Nilai ajaran agama Islam ini seharusnya menjadi landasan bagi umat Islam untuk membangunn kesadaran ekologis di bumi tempat manusia tinggal. Agama memiliki peran terhadap kelestarian lingungan telah dibuktikan juga dalam riset di negara yang masyarakatnya bukan pemeluk agama Islam sekalipun.
Misalnya, riset Yang dan Huang (2018) dalam simpulannya menemukan bahwa agama mengambil peran pemandu nilai-nilai pro lingkungan dengan mengandalkan keyakinannya untuk mengorganisir orang-orang beriman dan memengaruhi komunitas yang tidak beragama.
Nilai agama seperti diutarakan Sarjana Barat Francis Fukuyama (1996), sebagai landasan membangun budaya unggul mampu menciptaakn perubahan yang baik pula. Karenanya, dalam masyarakat maju atau modern, sifat agama sejatinya dapat menjadikan masyarakat tersebut tunduk dan patuh pada kemauan Tuhan.
Limbah Makanan
Sejatinya bekal makanan Jemaah cukup dan tidak perlu berlebihan. Tetapi ini akan kontras jika melihat kenyataan yang ada. Pengalaman penulis dalam melaksanakan haji dan ketua regu misalnya, mudah sekali menemukan sisa makanan (food waste) di mana-mana. Sikap boros atau berlebihan menjadi penyebabnya, atau mungkin ada faktor lainnya yang tidak mengarah kepada kedua perilaku buruk tersebut.
Mungkin saja karena baru pertama kali ke tanah suci, jemaah khawatir sulit mendapatkan makanan pada saat dibutuhkan sehingga lebih aman melakukan stok makanan dalam jumlah banyak. Walaupun pada akhirnya ada yang tidak termakan atau basi.
Secara kuantitas masih menurut Hanadeh, makanan sebagai limbah yang paling banyak berkontribusi menyumbang emisi sebesar 13%, walaupun tidak sebesar tarnsportasi udara (55%) dan penginapan (18%). Jika dihitung dalam bentuk volume limbah berdasarkan riset peneliti Pusat Studi Lingkungan King Abdul Aziz University, misalnya perkiraan produksi limbah selama sebulan di waktu haji bulan dengan asumsi jemaah haji pada 2019 sebanyak 2,23 juta menghasilkan 158.81 ribu ton limbah. Persentase limbah makanan yang paling besar (44%) dibandingkan jenis limbah lainnya (Nizami, et. al., 2015).
Angka ini sebagai ayat kauniyah yang harus menjadi perhatian kita bersama selama menjalankan ibadah haji agar dapat meminimalkan memproduksi limbah makanan. Jika berlebihan sebaiknya dapat memperbanyak aktivitas sedekah berbagi makanan. Di tanah suci, kita mudah sekali menemukan jemaah khususnya dari negara Asia Selatan yang memprihatinkan dari segi perbekalannya dibandingkan jemaah Indonesia. Ini kesempatan yang baik untuk menggiatkan program karitas untuk kemanusiaan.
Karenanya, perlu ditekankan sekali lagi bahwa misi kesadaran ekologis sebagai salah satu ciri haji mabrur harus terus ditransimsikan secara intensif. Dengan perilaku mulia ini, jemaah telah membantu pengelola haji dalam menjaga kelestarian lingkungan di tanah suci demi menjaga kehidupan yang lebih baik. Wallahua’lam.