
Di sebuah desa pada abad keenam belas di lereng Gunung Cakrabuana, menjelang matahari terbit, seorang kakek tua bernama Kai Raga, duduk bersila menghadap timur. Wajahnya bening oleh usia dan ketenangan, jemarinya menghitung biji tasbih dari kayu gaharu tua—warisan leluhurnya. Di hadapannya, tergelar sebuah serat beraksara Jawa kuna: ꦱꦁꦲꦾꦁꦲꦪꦸ—Sang Hyang Hayu.
Serat ini terdiri dari Serat Catur Bumi, Serat Buwana Pitu, Serat Sewaka Darma, dan Serat Dewa Buda. Pengarangnya seorang warga di Tatar Sunda, yang buah karyanya ternyata menjadi perantara dua dunia. Tak banyak yang tahu, terkandung di dalamnya warisan paling halus dari kebudayaan spiritual Nusantara: keseimbangan antara langit-bumi, manusia-semesta, dan Ilahi.
Dalam bahasa Sunda, kata ‘hayu’ bukan sekadar ajakan (mari), melainkan gema dari konsep rahayu—keselamatan dan harmoni. Dalam Kropak 630, naskah kuno Sunda dari abad ke-16 yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional, konsep hayu muncul dalam petikan doa: “Mugia rahayu salamet ti sanghyang manon“, yang berarti “semoga keselamatan dan kebaikan datang dari Hyang Maha Melihat.”
Lebih dari sekadar kata, hayu adalah cara hidup. Ia semarak dalam adat kasepuhan; dalam larangan merusak hutan (leuweung larangan); dalam cara menyadap nira tanpa menyakiti pohon aren; dalam cara berbicara penuh unggah-ungguh. Ia mewujud sebagai tata rasa, tata laku, dan tata diri. Tiga prinsip utama (tri tangtu di buwana) dalam kebijaksanaan Sunda yang mementingkan keselarasan antara niat dan tindakan.
Dalam Serat Catur Bumi, unsur lemah atau tanah adalah lambang keteguhan batin, kesabaran yang mengakar, dan rasa lapang yang menerima segala proses kehidupan. Tanah tak pernah berkeluh kesah saat diinjak, dicangkul, atau kita abaikan. Ia tetap menumbuhkan, tetap menyimpan, tetap menopang.
Manusia tanpa unsur tanah dalam jiwanya akan mudah tercerabut—oleh sifat ahangkara. Ia kehilangan akar. Maka tak heran jika hidupnya limbung, kehilangan tempat berpijak. “Lemah kang dipiji, lemah kang dadi sejatining awak: Tanah yang kau injak adalah tanah yang menjadi dirimu sendiri.” Melalui geguritan di atas, kita diajak untuk menjadi tanah bagi diri sendiri dan orang lain: bersedia menopang, menumbuhkan, dan menyerap luka menjadi laku. Jiwa yang matang bukan yang keras, tetapi yang rela menjadi pesanggrahan semesta.
Banyu dalam Serat Catur Bumi adalah lambang rasa: empati, cinta, kasih, dan kesedihan yang tak terucap. Air tidak menolak bentuk. Ia meresap ke pori-pori tanah, menampung langit dalam riaknya, dan bahkan bisa menyimpan rahasia lautan. Namun, air juga bisa meluap. Maka ajarannya bukan hanya merasakan, tapi mengolah rasa—agar tak menenggelamkan akal dan cahaya dalam jiwa.
“Banyu kang bening, kang nyumurupi wujudé jagad lan rasa: Air yang bening adalah yang mampu memantulkan wujud dunia dan rasa dalam jiwa.” Menyelami pesan itu, kita seolah diingatkan: jangan takut menangis, tapi jangan larut. Jangan kering dari rasa, tapi jangan juga hanyut tanpa bentuk. Belajarlah dari air: mengalir, tapi tetap mencari lautan.
Dalam Serat Catur Bumi, unsur geni adalah lambang dari karsa—daya kehendak dan semangat hidup. Api adalah kehendak. Ia membakar, menggerakkan, membentuk tekad. Tapi api yang berkobaran akan melalap bukan hanya lawan, tapi juga diri sendiri. “Geni kang kawelasan, geni kang nyepetaké lakon: Api yang sarat welas asih adalah api yang mempercepat takdir berjalan.” Pesannya sederhana saja: jangan padam, tapi jangan membakar tanpa arah. Api dalam dirimu harus menjadi suluh, bukan sekadar obor yang membakar habis “hutan batin.” Semangat perlu disulut oleh cinta, bukan oleh dendam.
Angin atau maruta dalam Serat Catur Bumi adalah simbol dari cipta dan atma—pikiran dan jiwa yang mencari. Angin tidak pernah tinggal menetap. Ia hanya melintas. Tapi justru karena itulah ia membawa berita, membawa suara, membawa nafas. “Maruta iku suwara ing urip, suwara kang ora katon nanging nyurung: Angin adalah suara hidup: tak tampak, tapi mendorong segalanya bergerak.”
Kali ini kita diajak mendengar angin (udara) dalam diri sendiri. Pikiran yang jernih adalah angin yang membawa kabar, bukan yang berisik memecah hening. Nafas adalah zikir yang paling awal. Maka setiap helaan nafas adalah kesempatan untuk kembali kepada sumber: Sang Peniup ruh itu.
Serat Catur Bumi bukan sekadar ajaran tentang anasir, melainkan tentang tata letak jiwa. Empat unsur itu bukan beroperasi sendiri, tapi saling menata dan dinata. Bila tanah tak mengikat air, maka air akan hanyut. Bila api tak dijaga angin, ia jadi badai. Bila angin tak tahu arah, ia hanya riuh yang melukai daun. “Catur kang selaras, kang dadi gapuraning urip sejati: Empat yang selaras adalah gerbang menuju hidup yang sejati.”
Di era yang serba terburu-buru ini, Serat Catur Bumi datang seperti secarik peta dari langit yang terjatuh di telapak tangan kita. Ia mengajak kita membaca diri—bukan melalui cermin, tapi angin, tanah, air, dan api. Ia mengajarkan bahwa kesadaran tidak dilahirkan oleh kecepatan, tapi oleh keseimbangan. Jika empat unsur itu kau tata dalam dirimu, maka segala hal di luar tak akan membuatmu guncang. Sebab di dadamu sendiri, telah bersemayam bumi kecil, yang memutar hari dan malam tanpa kehilangan arah.
Serat Sewaka Darma
Dalam Sewaka Darma, dunia digambarkan sebagai sesuatu yang fana dan sarat penderitaan. Kesadaran akan kefanaan itu meliputi sikap menerima suka-dukanya hidup (lapar-kenyang, sehat-sakit, muda-tua, dan akhirnya mati). Meski demikian, realitas dunia yang dipenuhi duka tidak dianggap tanpa tujuan. Serat ini memperkenalkan konsep mhoksa (kesempurnaan hidup spiritual) sebagai tujuan akhir perjalanan manusia—bahwa “hidup mengarah pada kesempurnaan hidup”, dan untuk mencapainya diperlukan tekad dan kegigihan jiwa.
Sewaka Darma menggambarkan perjalanan hidup sebagai ujian untuk memperkuat tekad (misalnya menyatakan janji dan perjuangan dengan sepenuh hati). Dengan kata lain, teks ini mengajarkan agar setiap individu menyadari batas-batas duniawi dan terus memperbaiki diri, karena dunia hanyalah sementara. Sedangkan keberhasilan sejati adalah penyatuan dengan dharma (mhoksa). Secara keseluruhan, Serat Sewaka Darma menyajikan nilai-nilai moral tradisional Jawa-Sunda yang mendalam. Ajaran yang termaktub di dalamnya, pernah dijadikan pedoman kehidupan masyarakat tradisional di negeri kita, dan masih relevan sebagai nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat kiwari.
Serat Buwana Pitu
Serat ini mengemukakan kosmologi bertingkat yang lengkap dengan makna spiritualnya. Menurut naskah tersebut, jagat raya terbagi tiga susunan: saptapatala (dunia bawah berupa tujuh neraka), madyapada (bumi atau dunia manusia), dan saptabuana atau buanapitu (tujuh lapis alam swarga). Pandangan kosmologis “triumvirate” ini menyelaraskan makrokosmos (alam semesta) dengan mikrokosmos manusia: ketiga alam itu tumpang-tindih secara hierarkis dan menggambarkan perjalanan jiwa dari dunia gelap menuju dimensi cahaya.
Tingkat pertama adalah saptapatala, susunan dunia bawah yang terbentuk seperti kerucut terbalik. Terdiri atas tujuh neraka (Patala, Nitala, Sutala, Talatala, Talaningtala, Mahatala, hingga Atyanta Artapatala—neraka terdalam yang teramat dahsyat). Di antara dunia bawah dan dunia atas terletak madyapada (bumi), tempat manusia berpijak. Dunia inilah arena ujian dan belajar, agar jiwa siap naik ke alam selanjutnya. Lapisan ketiga, saptabuana atau buanapitu, adalah tujuh tingkatan swarga yang berbentuk sarang lebah atau labu berlapis.
Dalam naskah disebutkan secara tersurat nama-nama ketujuh langit ini: Bwahloka, Svahloka, Janaloka, Tapwaloka, Satyaloka, Maharloka, dan Atyanta Artaloka (swarga tertinggi). Setiap lapis surga itu bukan sekadar tempat setelah mati, melainkan simbol kualitas batin dan tahapan kesadaran: dari kesucian awal sampai puncak kebenaran mutlak. Satyaloka (pasamuan kebenaran) dan Maharloka (kesempurnaan kebajikan) melambangkan semakin dekatnya jiwa dengan Sang Pencipta, sedangkan Atyanta Artaloka menandakan puncak kesatuan yang agung.
- Bwahloka – Lapis pertama swarga, alam terendah tempat para jiwa suci berserak, lambang keterikatan awal jiwa pada alam materi.
- Svarloka – Lapisan kedua, menandakan tahap kebahagiaan rohani yang mulai murni.
- Janaloka – Lapisan ketiga (nama “Jana” mengisyaratkan kebahagiaan), representasi perkembangan jiwa sebelum pertapaan.
- Tapwaloka – Lapisan keempat (alam tapa), simbol bagi jiwa berdisiplin dan suci lewat latihan spiritual yang teguh.
- Satyaloka – Lapisan kelima (alam Satya, kebenaran), lambang kesadaran tentang hakikat sejati dan tidak ada dualitas.
- Maharloka – Lapisan keenam (alam Maha), melambangkan pencapaian kebijaksanaan tertinggi dan kelembutan hati.
- Atyanta Artaloka – Lapisan ketujuh (sorga tertinggi), puncak penyatuan dengan Ketuhanan, tempat seluruh fana sirna dan Hyang Maha Tunggal bersinar.
Lebih tinggi lagi dari tujuh swarga itu, teks menggambarkan lapis-lapis ketakberwujudan: tingkat “sunyi-hampa” (sunya, atisunya, …, acintyasunya) dan “kesirnaan-lenyap” (taya, atitaya, …, acintyataya), lalu abyantarataya (inti terdalam kehancuran), dan seterusnya hingga pancatanmantra (lima unsur halus): buddhi, guna, pradana, sunyataya nirmala (kesunyian suci abadi), dan kanirasrayan (tingkat tertinggi kemahakuasaan atau “takdir”). Seluruh hierarki ini menunjukkan perjalanan jiwa yang terus “menipis” hingga kembali melebur dalam Kekal.
Pesan kebajikan dan kesadaran batin dalam naskah ini sangat kental. “Intisarinya adalah kebenaran yang indah,” demikian tuturan Sang Hyang Hayu, dijadikan jalan cahaya yang menjamin kebahagiaan di dunia sakala dan akhirat niskala, sekaligus jalan menuju kebebasan hakiki. Dunia, swarga, maupun neraka dipandang fana belaka; apa yang kekal adalah Sang Manon (Hakikat Sejati Diri) yang abadi. Karena itu, manusia diajak menekuni ibadah dan amal baik melebihi sekadar ritual, sehingga Sang Manon senantiasa menemani dalam berbagai keadaan. Beribadah dengan khusyuk (tapa) menuntun pada Ékatwa—kesatuan batin dengan Sang Manon—dalam penjelmaan-Nya sebagai Sang Ménget (yang Maha Tahu).
Sebagaimana dideskripsikan oleh Undang A. Darsa, Serat Buwana Pitu juga memperingatkan tentang bumerang ego: segala panca‐indra dan hasrat duniawi (buwana, sarira, bayu, sabda, hedap) hanyalah sumber penderitaan (diumpamakan sebagai berbagai “api neraka”) dalam pola kejahilan (pancagati sangsara). Sebaliknya, setelah meleburkan nafsu hingga tiarap, jiwa yang bangkit (Syanu atau “cikal-bakal”) kembali menjadi “mokta” (jiwa bebas). Jiwa ini, yang tidak terikat rupa-wujud apa pun, memiliki sifat ke-Tuhan-an (‘acintya’ tak terukur, ‘adwaya’ tiada duanya, ‘prabutarebawa’ mahakuasa, ‘atyantarebawa’ abadi, dll.). Dengan penuh kesabaran (lungguh), hati melepaskan dunia luar, menyadari bahwa “dunia, swarga, dan neraka, samasekali tidak ada artinya bagi Sang Manon” yang telah bersatu dengan diri pribadi.
Serat Dewa Buda
Di tanah yang menua oleh doa, di mana langit tak lagi hanya penanda waktu, tetapi juga pembuka batin, Serat Dewa Buda seakan berbisik lirih pada setiap jiwa yang tak ingin sekadar hidup—melainkan tenang dalam damai. Kita mendapati diri bukan di luar naskah tersebut, tetapi menjelma sebagai aksara di dalamnya. Karena Serat Dewa Buda bukan bacaan, melainkan peristiwa. Sebuah pemanggilan halus, ke dalam ruang rahasia tempat manusia tak menjadi siapa-siapa—kecuali bayang samar dari Dzat yang tiada berupa.
“Lamun siro ora weruh ing papan kang sejati, iku tandhane isih kumelip ing paningal.” Jika engkau belum melihat tempat yang sejati, itu tandanya penglihatanmu masih terselubung.
Kalimat itu bukan peringatan, tetapi bisikan kasih, bahwa segala yang tampak—tidak sepenuhnya nyata. Sementara yang nyata— hanya bisa diraba oleh batin yang ngelangut, tenggelam tanpa ingin muncul, menepi tanpa ingin kembali. Dewa Buda dalam serat ini bukan dewa dalam pengertian para pemuja bentuk. Ia adalah isyarat. Sebagaimana embun adalah isyarat pagi, dan keheningan adalah isyarat kehadiran-Nya. Dewa Buda adalah ‘manusia tak terikat’, yang telah menyeberangi batas antara melihat dan menjadi cahaya.
Ia tidak mencari Tuhan dengan cara biasa, melainkan meniadakan dirinya agar yang tinggal hanya laku yang tanpa tujuan, sebab tujuannya telah larut dalam perjalanan itu.
Dewa Buda menjelma bukan sebagai guru, melainkan jadi cermin: tak pernah bicara, namun memantulkan kebenaran dengan segenap ketakberadaannya. Ia mengajarkan kita bahwa jalan menuju Allah bukanlah keluar, melainkan jalan ke dalam diri. Islam sejati adalah penyerahan yang lembut, sebagaimana daun gugur karena angin, bukan karena perintah.
“Sapa kang wus ninggal rasa, iku kang wus nemu rasa sejati.”
Sesiapa yang telah meninggalkan rasa, dialah yang menemukan rasa sejati.
Kita, pewaris zaman yang berisik ini, terus mencari cahaya dalam lampu-lampu terang. Padahal Serat Dewa Buda mengajari kita bahwa cahaya itu sembunyi dibalik gulita. Di ruang antara zikir dan lenguh napas. Di batas antara takdir dan kerelaan. Sufisme Nusantara—bukan sekadar ajaran, tetapi kesaksian diam. Kita tak diperintah memahami Tuhan, melainkan mengakui kebesaran-Nya lewat jalan sepi. Dengan raga yang lapar, mata yang merunduk, hati yang mengalah. Dewa Buda tidak mengajak kita naik ke langit. Ia hanya mengundang kita duduk di tanah—karena dari sanalah segala yang tinggi bermula.
Dalam kosmologi Nusantara, Sang Hyang Hayu adalah pemusatan kesadaran akan Kebaikan Mutlak. Dalam tradisi Bali, kita mengenal Hyang Widhi Wasa, dan di Jawa terdapat konsep Hyang Manon atau Sang Hyang Wenang, sebagai bentuk personifikasi dari prinsip keesaan yang tak terjelaskan.
Antropolog seperti Koentjaraningrat mencatat bahwa struktur spiritual masyarakat Indonesia pra-Islam sangat monistik dan bersifat kontemplatif, bukan semata animistik atau politeistik. Dalam banyak ritual adat—seperti ruwatan, ngalokat cai, atau mapag sri—selalu ada doa yang memanggil Sang Hyang, satu nama sakral yang kerap merujuk pada kekuatan agung yang manunggal, tak terbagi, namun menjelma dalam berbagai rupa pemahaman umat manusia.
Dalam Islam, konsep fitrah menegaskan bahwa setiap jiwa pada dasarnya cenderung pada kebenaran dan pengenalan terhadap Tuhan. “Fa aqim wajhaka li d-dīni ḥanīfan: fiṭrata Allāhi allatī faṭara n-nāsa ‘alayhā: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. ar-Rum [30]: 30). Fitrah ini bersangaskara dengan ajaran hayu: sebuah keselarasan batin yang tidak bertentangan dengan Islam, justru menjadi ladang subur bagi tauhid bertumbuh dalam kebudayaan lokal.
K.H. Zainal Abidin Munawwir, dalam pengantar Tafsir Marah Labid, pernah menyebut bahwa Islam datang ke Nusantara bukan dengan pedang, melainkan dengan perahu dan sastra. Sunan Kalijaga tidak merusak tradisi lokal, ia menyusupkannya makna baru. Wayang tidak dilarang, tapi diberi marwah tauhid. Tembang-tembang tidak dibungkam, melainkan dititipi pesan ilahiah.
Melalui pendekatan inilah, Sang Hyang Hayu dalam Islam bisa dilihat sebagai pengejawantahan lokal dari Asmaul Husna—sifat-sifat Allah yang memancar ke dalam budaya, bahasa, dan rasa manusia. Ia menjadi jembatan cahaya yang meniti kebudayaan, menyatukan spiritualitas leluhur dengan iman yang transenden.
Dalam kosmologi tasawuf, terutama dalam ajaran Nur Muhammad, cahaya kenabian bukanlah sekadar entitas metafisik, melainkan prinsip keharmonisan yang menyinari seluruh alam. Dalam risalah-risalah sufistik seperti Al-Insan al-Kamil karya Al-Jili, Nur Muhammad adalah purwarupa kesempurnaan manusia—dan menariknya, ini bersentuhan dengan ideal manusia rahayu dalam Sunda Wiwitan: manusia yang seimbang antara pikir, rasa, dan karsa.
Jika kita menelusuri lebih dalam, banyak ajaran tarekat di Nusantara yang sebenarnya menjadikan hayu sebagai landasan praksis. Dalam wirid Tarekat Syadziliyah, misalnya, prinsip suluk dan zikir dijalankan dalam tata hidup yang sangat menghargai ruang, waktu, dan ciptaan. Sama seperti para karuhun yang menyebut tanah sebagai ibu dan langit sebagai bapak—semuanya bagian dari zikrullah.
Di zaman yang hiruk-pikuk begini, ketika banyak orang tercerabut dari akar budayanya, konsep Sang Hyang Hayu bisa menjadi pintu pulang—bukan ke masa lalu yang romantik, tetapi ke masa kini yang integral. Ia adalah akar tradisi, antara Islam yang universal dengan kearifan yang lokal.
Dari Sang Hyang Hayu, kita bisa menjahit kembali tenunan yang dulu tercerai-berai: budaya, batin, dan iman. Ia terus berdenyut hening. Menghubungkan manusia dengan semesta—sebuah rasa yang hanya bisa dicicipi oleh jiwa yang masih tahu bagaimana cara diam, cara mencium aroma embun pagi, dan cara mendengar suara Tuhan dalam gemerisik bambu tertiup angin. []