Sedang Membaca
Kesatuan Transendental dan Rasa Sakral dalam Agama
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Kesatuan Transendental dan Rasa Sakral dalam Agama

Whatsapp Image 2024 11 25 At 20.49.57

Agama-agama lokal di Nusantara, seperti Kejawen di Jawa, Parmalim di Batak, Kaharingan di Kalimantan, hingga Marapu di Sumba, adalah warisan spiritual yang mengakar dalam budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Selain ketiga agama tersebut, kita masih punya Sunda Wiwitan, Kapitayan, Bali Aga, Wetu Telu, Aluk Todolo, Tonaas Waliyan, Tolottang, Naurus, dan Halaika. Agama-agama itu seringkali dipandang sebagai manifestasi dari pencarian manusia terhadap makna eksistensi yang transenden.

Dalam perspektif Perennial-Vedanta, yang salah satu fondasinya adalah ajaran tentang Transcendental Unity of Religions (Kesatuan Transendental Agama-Agama) yang digagas Fritjof Schuon, agama-agama lokal ini bukanlah sekadar ekspresi kebudayaan belaka, melainkan jalan yang sahih menuju kebenaran ilahi, meski berbeda dalam ritual dan doktrinnya.

Dalam kerangka Vedanta seperti yang ditemukan dalam Upanishad, semua agama berakar pada Realitas Tunggal yang bersifat Absolut (Brahman). Dalam terminologi Islam dapat disamakan dengan konsep Tauhid, Allah sebagai Dzat Hyang Esa. Schuon menegaskan bahwa perbedaan agama-agama berada dalam aspek fenomenalnya, sementara esensi mereka tetap satu, yaitu realitas transendental. Agama-agama lokal Nusantara mencerminkan hal ini melalui hubungan mendalam dengan alam, praktik simbolik, dan pencarian harmoni kosmik. Ritual yang mereka lakukan, seperti upacara persembahan kepada leluhur atau doa kepada dewa-dewi alam, adalah pantulan dari keyakinan akan kehadiran Ilahi dalam segala aspek kehidupan.

Pengaruh agama-agama lokal tersebut terhadap kebudayaan Indonesia, sangatlah mendalam dan sulit dinafikan. Filosofi harmoni dengan alam dalam tradisi lokal, misalnya, telah membentuk kesadaran ekologis masyarakat Nusantara. Konsep rukun dalam Kejawen, misalnya, mengajarkan hidup selaras dengan diri, manusia lain, alam, dan Tuhan, yang sejalan dengan pesan universal agama-agama dunia. Dalam masyarakat Batak, agama Parmalim mengajarkan keseimbangan antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan melalui ritual yang penuh penghormatan kepada leluhur. Demikian pula, tradisi Marapu di Sumba yang menggambarkan penghormatan mendalam terhadap leluhur dan alam sebagai bentuk hubungan spiritual dengan Sang Pencipta. Seni tari, musik, dan arsitektur juga menjadi medium ekspresi spiritualitas yang menunjukkan nilai-nilai transendental dalam budaya lokal, seperti terlihat dalam motif batik yang sarat simbolisme spiritual.

Terkait konteks inilah budaya Indonesia kaya-raya akan warisan spiritual yang tidak hanya berfungsi sebagai identitas lokal, melainkan sebagai inspirasi universal bagi masyarakat global. Terkait hal itu, Alquran memberikan landasan universal untuk memahami keragaman agama. Allah berfirman:

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu; maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS. Al-Ma’idah [5]: 48).

Ayat ini menunjukkan bahwa keberagaman dalam jalan menuju Tuhan adalah bagian dari kehendak Ilahi, yang bertujuan menguji manusia dan mendorong mereka untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kebaikan. Islam juga sejatinya mengakui keberagaman agama dan jalan spiritual dengan sangat jelas, dalam ayat lain:

Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya [21]: 25).

Ayat ini menegaskan bahwa setiap utusan Tuhan membawa pesan yang sama, meski bentuknya disesuaikan dengan konteks budaya dan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini memberikan landasan bahwa keberadaan agama-agama lokal di Nusantara pun bisa dipahami sebagai bagian dari ekspresi kebenaran Ilahi yang bersifat universal.

Selain pesan Langit dari Alquran, Rasulullah SAW juga bersabda, “Manusia itu ibarat tambang emas dan perak; yang terbaik di masa jahiliyah adalah yang terbaik di masa Islam apabila mereka memahami agama” (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur dalam masyarakat adat atau tradisi lokal tidak bertentangan dengan Islam, melainkan dapat diselaraskan dan dijadikan landasan untuk memperkuat harmoni sosial.

Dalam Hadits lain Nabi Muhammad SAW, juga terdapat dukungan serta penghormatan terhadap keanekaragaman spiritual umat manusia, “Hikmah adalah milik orang beriman; di mana saja ia menemukannya, maka ia lebih berhak atasnya” (HR. Tirmidzi).

Baca juga:  Mencermati Sentimen Kebencian terhadap Islam di Swedia (1)

Hadits itu mempertegas bahwa hikmah (kebijaksanaan), termasuk yang terdapat dalam agama-agama lokal, adalah bagian dari anugerah Tuhan yang patut diapresiasi. Dalam kerangka Perennial-Vedanta, agama-agama lokal di Nusantara adalah cerminan kearifan universal yang melampaui sekat-sekat teologis. Mereka bersumbangsih pada pembentukan identitas kebudayaan Indonesia yang beragam dan spiritual.

Pemahaman tentang kesatuan transendental agama-agama ini mendorong kita untuk merayakan keragaman sebagai ekspresi dari keindahan Tuhan yang tiada batas, sekaligus meneguhkan nilai-nilai universal seperti kasih, sayang, harmoni, dan penghormatan terhadap kehidupan. Dengan demikian, agama-agama lokal di Nusantara tidak hanya menjadi saksi sejarah bangsa Indonesia saja, tetapi juga menawarkan panduan etis yang tepat guna dalam menjawab tantangan kemanusiaan modern.

Tantangan bagi Indonesia

Di tengah arus deras globalisasi dan gerusan modernisasi, eksistensi agama-agama lokal Indonesia kerap kali terpinggirkan. Dalam beberapa kasus, mereka dianggap sebagai sistem kepercayaan yang primitif atau tidak relevan dengan perkembangan zaman. Dominasi agama-agama mayoritas seringkali mengesampingkan keberadaan tradisi lokal, sehingga banyak komunitas adat merasa teralienasi. Ditambah lagi, regulasi formal seperti pengakuan agama oleh negara teramat sering menyulitkan penganut agama-agama lokal untuk diakui secara legal.

Keadaan miris seperti itu merupakan peninggalan kolonialisme yang memaksakan kerangka berpikir mereka, yang cenderung subjektif dalam mengamati kebudayaan lain—Timur dalam hal ini. Karena di banyak serat—terutama di Gunung Merbabu dan sekitarnya yang masih bisa kita akses, kehadiran Islam di tengah masyarakat Jawa abad ke-15 M saja, cenderung harmonis dan nyaris tanpa penolakan samasekali, apalagi sebaliknya. Di tengah masyarakat kita yang cinta damai seperti ini, mustahil terjadi konflik keyakinan yang sudah sejak lama jumbuh di antara mereka waktu itu.

Kita kembali ke penghayat agama lokal. Setelah puluhan tahun berjuang merebut haknya, baru pada 2017, Mahkamah Konstitusi resmi mengakui keberadaan mereka—yang lucunya, sudah lebih dulu ada bahkan sebelum Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Namun apa lacur, anakronisme dan arogansi semacam itu kadung berurat akar dalam pemahaman penganut Islam, yang berada di posisi mayoritas. Alhasil, berulangkali berlangsung perundungan dalam begitu banyak kasus, yang seharusnya tak perlu lagi terjadi.

Perspektif Perennial-Vedanta memberikan pendekatan untuk melihat agama-agama lokal bukan sebagai “agama kecil (minor)” atau “agama sekunder”, melainkan sebagai jalan alternatif menuju pencerahan spiritual. Fritjof Schuon dalam pandangannya menekankan bahwa jalan spiritual apa pun, sejauh ia tulus dan berakar pada keimanan transenden, dapat membawa manusia pada realitas Ilahi. Oleh karena itu, agama-agama lokal harus dilihat dalam kerangka penghormatan universal, bukan sekadar sebagai fenomena budaya atau tradisi.

Konflik laten antara penganut agama lokal Nusantara dengan agama yang datang dari luar, seperti Islam contohnya, seringkali karena akibat perbedaan cara pandang penganutnya yang awam terhadap spiritualitas, doktrin, dan praktik ibadah. Sebagai bahan pembelajaran,  berikut ini kami sertakan beberapa bentuk benturan yang masih terjadi:

Agama lokal Nusantara seringkali bersifat politeistik atau animistik (berdasar kacamata ilmiah Barat), dengan penghormatan kepada banyak roh, dewa, atau leluhur. Hal ini seolah bertentangan dengan konsep monoteistik Islam yang menekankan Tauhid (keesaan Allah). Dalam beberapa kasus, tradisi pemujaan leluhur dianggap sebagai syirik (menyekutukan Tuhan) oleh sebagian kecil kelompok Muslim, sehingga akhirnya memicu konflik teologis.

Ritual dalam agama lokal, seperti upacara persembahan kepada roh leluhur atau penghormatan kepada alam, cenderung dipandang bertentangan dengan ajaran Islam yang hanya mengizinkan ibadah kepada Allah. Misalnya, tradisi sesajen atau slametan di Jawa yang memiliki akar Kejawen, kerap dikritik oleh sebagian kelompok Muslim sebagai tindakan bid’ah (inovasi dalam agama) atau menyimpang dari Islam.

Agama-agama lokal memiliki konsep spiritual yang berfokus pada harmoni dengan alam dan kehidupan saat ini, serta hubungan dengan leluhur. Islam, di sisi lain, memiliki konsep akhirat yang jelas, dengan penekanan pada pahala dan hukuman setelah kematian. Perbedaan ini juga terkadang memicu perdebatan teologis tentang “keabsahan” keyakinan lokal.

Baca juga:  Warisan Hirarki Politik Orde Baru

Islamisasi Nusantara, khususnya melalui dakwah, perdagangan, dan kekuasaan politik, biasanya mengharuskan masyarakat lokal untuk mengadopsi ajaran Islam. Proses ini kadang disertai dengan penghapusan atau marjinalisasi tradisi lokal, yang dianggap tidak sesuai ;agi dengan syariat Islam. Contohnya adalah perubahan ritual adat menjadi lebih Islami, seperti penghapusan simbol-simbol agama lokal dari upacara adat.

Dalam sistem hukum Indonesia, hukum ulayat agama lokal tidak diakui secara resmi, sementara Islam memiliki status hukum yang kuat. Hal ini menciptakan ketidakadilan bagi penganut agama lokal yang seringkali tidak memiliki ruang legal untuk menjalankan keyakinannya, sehingga memicu ketegangan sosial. Padahal agama yang mereka anut, sudah tegak lebih dulu bahkan sebelum Islam hadir di bumi Nusantara.

Sebagian kelompok Muslim mengadopsi penafsiran agama yang eksklusif, yang memandang praktik agama lokal sebagai “terlarang” atau “kafir.” Pandangan ini tentu memicu diskriminasi atau upaya homogenisasi, seperti mengharuskan masyarakat adat untuk memeluk agama yang diakui negara. Di ranah ini, negara gagal melindungi keyakinan warganya.

Bagi masyarakat adat, agama lokal adalah bagian utuh dari identitas budaya mereka. Ketika mereka dihadapkan pada ajakan atau tekanan untuk memeluk Islam, hal ini dilihat sebagai ancaman terhadap warisan budaya mereka. Akibatnya, terjadi resistensi atau benturan budaya yang terus berkepanjangan, bahkan terwaris secara turun-temurun.

Benturan juga terjadi dalam kasus pernikahan antara penganut agama lokal dan Muslim, karena aturan syariat mengharuskan pernikahan dalam Islam dilakukan oleh sesama Muslim. Masalah ini kadang diperumit oleh hukum waris dan hak-hak keluarga yang mengikuti sistem Islam, sehingga penganut agama lokal merasa termarjinalkan dan tercampak dari rumpun bangsanya sendiri.

Simbol-simbol agama lokal, seperti arca, patung, atau benda keramat, sering dianggap sebagai berhala dalam pandangan Islam. Hal ini menimbulkan ketegangan, terutama ketika simbol-simbol tersebut dirusak atau dilarang oleh kelompok Muslim tertentu. Modernisasi yang mengaburkan nilai-nilai Islami turut mempercepat marjinalisasi agama lokal. Ketika masyarakat adat mencoba mempertahankan tradisi mereka, mereka sering dipandang sebagai “terbelakang” atau “tidak sesuai zaman,” yang menciptakan kesenjangan antara komunitas lokal dan masyarakat Muslim yang lebih modern.

Demi mengurangi benturan tersebut, diperlukan pendekatan inklusif yang menghormati pluralitas. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah Menjembatani Dialog antara penganut agama lokal dan umat Muslim guna membangun saling pengertian dan penghormatan; Pendidikan Multikultural; Perlindungan Hukum; Kolaborasi dalam Ritual Adat; Pendekatan Teologi Inklusif; dan Revitalisasi Tradisi Lokal. Agama-agama lokal dapat dilestarikan melalui ekspresi seni, budaya, dan ritual masing-masing. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama mendukung pelestarian tradisi ini sebagai bagian tak terpisah dari kebudayaan nasional kita.

Universalitas dalam Beragama

Mengadopsi pendekatan seperti yang ditawarkan Perennial-Vedanta, masyarakat Indonesia dapat mulai melihat agama-agama lokal sebagai jalan spiritual yang sah, yang mengarah pada realitas transendental yang sama.

Agama-agama lokal di Nusantara adalah aset spiritual yang memperkaya kebudayaan Indonesia. Dalam perspektif Perennial-Vedanta, keberagaman ini mencerminkan kesatuan transendental yang melandasi semua tradisi agama. Dengan mengadopsi pendekatan inklusif dan penghormatan terhadap pluralitas, Indonesia dapat menjadi contoh harmoni spiritual yang tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga merangkul nilai-nilai universal. Ketika agama-agama lokal dihormati dan dilestarikan, mereka tidak hanya menjadi bagian dari masa lalu yang arkaik, tetapi juga menjadi fondasi untuk masa depan yang lebih bermakna.

Eksistensi agama-agama lokal di Nusantara juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang interaksi budaya dan spiritual manusia dengan lingkungannya. Sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen, masyarakat Nusantara telah memiliki tradisi kepercayaan lokal yang semarak dengan nilai mistik dan spiritual. Tradisi ini, seperti kepercayaan terhadap roh nenek moyang, penghormatan terhadap pohon, gunung, atau sungai, dan ritus-ritus sakral yang mendukung keseimbangan alam, mencerminkan pemahaman manusia akan Hyang Transenden, yang tidak terikat pada dogma formal. Dalam kerangka Filsafat Perennial, seperti yang diuraikan Fritjof Schuon, kepercayaan lokal ini merupakan ekspresi primordial dari hubungan manusia dengan realitas Ilahi yang bersifat universal.

Baca juga:  Orang Indonesia Suka Bercanda?

Konsep “Transcendent Unity of Religions” yang digagas Schuon memandang bahwa semua tradisi agama pada dasarnya berakar pada kebenaran esensial yang sama, meskipun diekspresikan dalam bentuk yang beragam sesuai konteks budaya dan sejarah masing-masing. Agama-agama lokal di Nusantara, meskipun acapkali dianggap sebagai “kepercayaan marjinal,” sejatinya tidaklah terpisah dari kebenaran universal ini. Justru, tradisi tersebut memperlihatkan pemahaman mendalam tentang kesucian hidup, harmoni kosmik, dan tanggung jawab manusia terhadap alam—nilai-nilai yang juga ditemukan dalam tradisi besar dunia, termasuk dalam Vedanta dan Islam. Dalam (QS. Al-Hajj [22]: 18), Allah menegaskan, “Tidakkah engkau tahu bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohon, hewan-hewan, dan banyak di antara manusia?” Ayat ini mempertegas hubungan spiritual manusia dengan seluruh ciptaan sebagai bagian dari ibadah kepada Hyang Maha Esa.

Dalam analisis Vedanta, hubungan antara manusia, alam, dan Hyang Absolut dijelaskan melalui konsep Brahman (Hyang Tak Terbatas) sebagai esensi dari segala sesuatu. Kepercayaan lokal Nusantara pun mencerminkan gagasan serupa, misalnya melalui keyakinan bahwa alam adalah perwujudan dari kekuatan Ilahi yang harus dihormati dan diagungkan. Hal ini terlihat dalam adat-istiadat seperti upacara Nyepi di Bali, yang selain berakar dari tradisi Hindu, juga melibatkan elemen-elemen kepercayaan lokal pra-Hindu. Dalam pandangan Schuon, bentuk-bentuk spiritualitas seperti ini menunjukkan bahwa tradisi-tradisi tersebut memiliki “metafisika tersembunyi,” yang luput dari perhatian kita karena kurangnya dokumentasi teologis.

Namun, masuknya agama-agama besar ke Nusantara tidak serta-merta menghapus tradisi lokal ini. Sebaliknya, terjadi proses akulturasi yang menciptakan ragam bentuk keberagamaan unik yang khas Indonesia. Islam, misalnya, ketika masuk ke Nusantara melalui para wali dan pedagang, cenderung mengakomodasi kepercayaan lokal dalam penyebarannya. Tradisi slametan dalam Islam Jawa, misalnya, adalah semacam kelenturan yang memadukan ritual Islam dengan adat Jawa kuno. Pendekatan ini selaras dengan pandangan Schuon bahwa agama-agama formal tetap harus menghormati “rasa sakral” masyarakat setempat agar esensi spiritualnya dapat diterima tanpa kehilangan karakter lokalnya.

Agama-agama lokal juga memberikan sumbangan besar terhadap kebudayaan Indonesia, baik dalam seni, arsitektur, sastra, maupun sistem nilai masyarakat. Relief-relief candi seperti Borobudur dan Prambanan tidak hanya mencerminkan ajaran agama besar seperti Buddha dan Hindu, tetapi juga menyerap simbolisme lokal yang memperkaya pesan spiritualnya. Ritual-ritual seperti upacara adat Toraja atau ritual Ngaben di Bali tidak hanya mengandung dimensi spiritual, tetapi juga memperkuat identitas budaya masyarakat setempat. Schuon memandang bahwa dimensi estetika seperti ini adalah cara lain bagi manusia untuk menjangkau Hyang Transenden, karena keindahan ialah salah satu jalan menuju kebenaran universal.

Pendekatan “Transcendent Unity of Religions” menegaskan bahwa pengakuan terhadap kearifan lokal ini tidak hanya penting untuk melestarikan keberagaman budaya, tetapi juga untuk membangun pemahaman spiritual yang inklusif. Dalam konteks Indonesia, keberadaan agama-agama lokal adalah pengingat akan keragaman ekspresi religius yang tetap berakar pada kehausan manusia akan Hyang Ilahi. Sebagaimana disebutkan dalam (QS. Al-Baqarah [2]: 62), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in—siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh, mereka akan menerima pahala di sisi Tuhan mereka.” Ayat ini menunjukkan bahwa iman dan amal saleh dapat ditemukan di berbagai tradisi keagamaan, termasuk agama lokal.

Dengan demikian, agama-agama lokal di Nusantara memiliki peran penting dalam membentuk identitas spiritual dan budaya bangsa kita. Melalui pendekatan Kesatuan Transendental Agama-agama” dan analisis metafisika Vedanta, kita dapat melihat bagaimana tradisi ini tidak hanya berguna sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai jalan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat transendental agama-agama. Keharmonisan antara tradisi lokal dan agama-agama besar di Indonesia, menjadi bukti nyata bahwa perbedaan dalam keragaman dapat diatasi dengan penghormatan terhadap esensi spiritual yang sama. []

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top