Khairul Anwar
Penulis Kolom

(Tim Media Ansor Kota Santri, Alumni Pascasarjana UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Budaya Korupsi: Menuhankan Uang dan Dangkalnya Spiritualitas

Prabowo Najwa

Beberapa hari lalu, Prabowo Subianto tampil di acara Mata Najwa. Melalui saluran Youtube, saya menyimaknya. Beberapa topik dibahas oleh Najwa Shihab dan Prabowo. Tapi, ada satu poin pembicaraan yang menyita perhatian saya, yaitu ketika Prabowo bicara soal akar korupsi di Indonesia. Prabowo menilai salah satu penyebab kasus korupsi di Indonesia tidak bisa ditumpas adalah karena gaji pejabat dan pegawai negeri sipil (PNS) sangat kecil.

Menteri Pertahanan RI itu menjelaskan, bahwa korupsi terjadi karena para pejabat khawatir soal nasib masa depan mereka jika sudah tak memiliki pekerjaan. Lalu saya mikir, “apakah benar gara-gara gaji kecil seseorang akan melakukan korupsi?” bisa jadi iya, bisa juga tidak.

Statemen Prabowo itu sebenarnya bisa kita patahkan dengan melihat kasus Rafael Alun Trisambodo. Rafael merupakan ASN yang menjabat sebagai Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selatan. Dia bapaknya Mario Dandy, remaja yang secara tega menganiaya David Ozora anak dari pengurus PP GP Ansor Jonathan Latumahina yang kasusnya viral itu.

Pasca penganiayaan itu, terungkap kalau bapaknya Mario Dandy itu melakukan korupsi hingga belasan miliar rupiah. Nah, secara ditelusuri, kekayaan Rafael menurut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2021, adalah senilai Rp 56 miliar. Nominal yang bombastis. Angka itu jauh lebih besar dari Dirjen Pajak Suryo Utomo yang sebesar Rp 14,4 miliar.

Sementara itu, dilansir tribunnews, Rafael Alun memiliki gaji pokoknya sebagai PNS Pajak berkisar paling besar Rp 5.901.200. Sementara tunjangan kinerja yang didapatkan berkisar paling rendah Rp 37,21 juta hingga tertinggi Rp 46,47 juta per bulan. Lalu coba hitung kekayaan Setya Novanto, tersangka kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el), beberapa tahun lalu. Menurut LHKPN KPK, Setya Novanto memiliki harta kekayaan senilai Rp 114 miliar.

Kasus Rafael Alun dan Setya Novanto adalah hanya salah dua dari ‘jutaan’ kasus korupsi di Indonesia. Pejabat atau politikus yang korupsi tak memandang dirinya miskin atau kaya, bergaji kecil atau besar, selama ada kesempatan buat korupsi, mereka akan melakukannya.

Baca juga:  Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (4): Pertanian Organik, Pertanian Maslahah Sesuai Turats dan Alam Indonesia

Kemudian, muncullah pertanyaan-pertanyaan klasik. “Mengapa orang kaya masih korupsi?”, “Apa yang terjadi dengan para pejabat di negeri ini yang notabene secara materi berkecukupan?”, “Apakah mereka kurang bahagia dengan apa yang sudah didapatkannya selama ini?” dan lain-lain.

Menuhankan Uang

Kasus korupsi yang marak terjadi di Indonesia, akan saya bahas dengan merujuk buku berjudul Tuhan Temani Aku Bekerja (Dimensi Spiritual dalam Dunia Kerja) karya Prof. Susminingsih dan Prof. Musa Asy’arie.

Dalam kehidupan yang materialistik dan hedonistik, kata Prof. Musa, uang menempati posisi penting sebagai tujuan hidup seseorang. Kecenderungan manusia yang memuja kebutuhan materi untuk mendapatkan kesenangan jasmani tidak akan tercapai tanpa uang. Oleh karena itu, disamping sebagai alat, uang juga dijadikan sebagai tujuan hidup.

Melihat realitas yang ada, pejabat atau politisi yang korupsi, adalah mereka yang menjadikan uang sebagai tujuan hidupnya. Pendek kata, mereka mendewakan uang. Mereka menghalalkan segala upaya demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, dalam hal ini keuntungan finansial. Sebab, dengan finansial yang memadai dapat menjadikan mereka mempertahankan kekuasaannya. Apalagi mereka sudah habis modal banyak di awal, sehingga pasti ingin merebut kembali modal itu meski dengan cara yang salah.

Hugh Dalziel Duncan (1997) juga berpandangan demikian, bahwa fenomena banyaknya kasus korupsi ini bisa dipahami berawal dari kecintaan terhadap uang yang berlebihan. Pejabat yang melakukan korupsi, saya kira bukan soal seberapa kecil gaji mereka, tapi juga berkaitan dengan kedangkalan sisi spiritualitas mereka. Menurut Prof. Musa, spiritualitas sendiri adalah integrasi ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Baca juga:  Haul Haul Nurcholish Madjid (3): Kepada Cak Nur, Kita Belajar Melindungi Kemerdekaan Beragama

Dangkalnya Spiritualitas

Zohar dan Marshall (2005) menyatakan, spiritualitas pada dasarnya merupakan kemampuan individu dalam membentuk nilai, makna dan keyakinan. Spiritualitas lebih bersifat primer dibandingkan dengan agama atau religiusitas, meskipun bersinggungan tetapi spiritualitas berbeda dengan agama. Spiritualitas  memberikan nilai-nilai yang lebih umum sehingga dapat dipahami dan dipegang oleh setiap individu seperti halnya kejujuran dan integritas. Sedangkan agama sebagai jalan pada individu sesuai dengan ajaran yang dianut.

Dimensi spiritual, dapat dipahami begitu sangat penting dalam kehidupan manusia. Energi spiritual dapat dideskripsikan pada aspek kehidupan manusia, antara lain yaitu takwa (kesadaran tentang ketuhanan), tawakal (berserah diri kepada Allah), bersyukur kepada Allah, sabar dan ihsan.

Atas dasar itu, pejabat yang bergaji kecil, 3 juta rupiah per bulan, misalnya, kalau ia adalah orang yang mentalitas spiritualnya kuat, seperti takwa (takut kepada Allah), bersyukur atas pemberian allah swt berapapun nominalnya, serta sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian dalam hidupnya, maka kecil kemungkinan ia melakukan kejahatan korupsi. Ia tak tergiur dengan segala kemewahan di hadapannya.

Orang yang spiritualnya baik, biasanya akan memiliki pola pikir “memanusiakan manusia”. Dan kalau seorang pejabat korupsi, apa ia bisa disebut telah memanusiakan manusia? Justru merekalah orang-orang yang tak berperikemanusiaan. Mereka orang-orang yang bisa dikatakan sebagai kaum tak cerdas secara spiritualitas. Mereka mengambil uang yang bukan haknya, yang seyogianya, uang itu bisa dialokasikan untuk kebutuhan hajat orang banyak..

Pejabat korupsi mencuri uang negara demi kepentingan pribadi dan keluarganya, untuk kemudian mereka berfoya-foya atas hasil curian mereka. Maka, ini yang disebut sebagai tak berperikemanusiaan. Menari-nari diatas penderitaan orang lain, dalam hal ini adalah masyarakat kelas bawah yang tak bisa menikmati hasil pembangunan dari negara. Korupsi bukan hanya merugikan uang negara, tetapi dapat berdampak pada seluruh sendi kehidupan bangsa dan negara. Misalnya, kemiskinan yang kemudian tidak bisa tertangani.

Baca juga:  Paradigma Ekonomi Alternatif "Kawruh Beja" di Tengah Pagebluk

Perilaku korupsi mencerminkan tindakan yang melanggar norma agama, sehingga dapat kita simpulkan bahwa pelaku korupsi hanya masih dalam tataran “agama formal” belum sampai kepada spiritualitas yang tinggi.

Pejabat korupsi, yang menyelewengkan duit rakyat secara semena-semena, bisa dikatakan adalah orang-orang yang lemah iman. Amin Syukur (2004) dalam Tasawuf Sosial mengatakan bahwa Al-quran telah mengaitkan iman dan amal sholeh, ketika berbicara tentang iman itu sendiri. Sebaliknya, Al-quran juga menegaskan bahwa amal yang baik, yang sesungguhnya dan dihargai Allah adalah yang mendasar pada keimanan.

Hakikat iman, menurut Amin Syukur, akan terefleksikan dalam perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang mukmin dalam kehidupannya. Jika seseorang kehilangan salah satu dari keduanya, maka tingkah lakunya tidak terkontrol, perbuatan dan tujuannya menuruti hawa nafsunya.

Seperti itulah orang yang korupsi, tingkah lakunya hanya berdasar pada hawa nafsu belaka. Nafsu untuk menguasai harta dengan menghalalkan segala cara, seperti contohnya: menerima suap, menyelewengkan dana desa, dan lain-lain.

Orang yang korupsi sebenarnya bukan golongan manusia luhur dan kaya (dalam arti sebenarnya). Pasalnya, manusia luhur dan kaya tidak diukur oleh penumpukan kekayaan yang melimpah melainkan sejauh mana kekayaan itu diperoleh dan digunakan sebagai sarana kemaslahatan manusia yang lain.

Allah sendiri secara tegas telah melarang perilaku korupsi, seperti dalam Surat Ali Imran ayat 161 tentang larangan menyelewengkan, dan surat An-Nisa ayat 29 tentang larangan memakan harta orang lain secara batil. Baik di hadapan manusia dan juga tuhan, pelaku korupsi sama sekali tak mempunyai sisi kepribadian yang etis. Terlebih lagi mereka yang kaya tapi masih suka korupsi. Maka tepatlah ungkapan seperti ini: Kaya secara materi, namun miskin secara rohani. Wallahualam bisshowab.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top