Sedang Membaca
Ulama Banjar (49): KH. Muhammad Hanafie Gobit
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (49): KH. Muhammad Hanafie Gobit

Kh. Hanafie Gobit

(L. 11 Januari 1915)

H. Abdurrahim Gobit ayahnda dari Hanafie Gobit adalah guru pada madrasah di Kampung Bugis dan kemudian mempersunting seorang wanita bernama Intan. Ketika Intan mengandung janin pertamanya dan mendekati masa melahirkan, keluarga ini sepakat untuk kembali ke rumah orang tua Intan di Kampung Antasan Kecil Timur, Banjarmasin. Pada hari Senin, tanggal 11 Januari 1915 lahirlah seorang bayi laki-laki yang sehat dan diberi nama Muhammad Hanafie.

Nama belakang Gobit yang melekat pada KH. M. Hanafie Gobit adalah nama kakeknya, orangtua dari ayahnya. Gobit meninggal dan dikebumikan di Desa Satui, Kintap. Kakeknya dari pihak ibu, bernama Corong. Gobit dan Corong ini berasal dari Suku Banjar asli.

Setelah Muhammad Hanafie genap berusia satu bulan, ia dibawa oleh kedua orang tuanya ke Balikpapan, karena ayahnya terikat kontrak kerja dengan BPM Balikpapan. Perkawinan Abdurrahim dan Intan ini dianugerahi dua orang putera-puteri yaitu Muhammad Hanafie dan Halifah. Setelah itu Intan meninggal dunia dan musibah ini diterima dengan sabar oleh Abdurrahim Gobit, orang tua Muhammad Hanafie Gobit.

Atas saran dan nasihat keluarga, di samping rasa iba terhadap kedua anaknya yang masih kecil dan memerlukan kasih sayang ibu, Abdurrahim Gobit menikah lagi dengan seorang gadis bernama Hj. Alus yang berasal dari Barabai. Dari perkawinan ini, mereka dikaruniai empat orang anak, yaitu: H. Moeslaini Gobit, Hj. Alfiah Gobit, Hj. Ma’asiyah Gobit, dan H. Afriji Gobit.

Ketika berusia tujuh tahun, Muhammad Hanafie disekolahkan oleh orangtuanya ke sekolah Belanda bernama Inlandche School di Balikpapan. Setelah tamat, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Al-Ashriyyah di Banjarmasin.

Selain mengikuti pendidikan formal di madrasah ini, ia juga aktif menambah pengetahuan agamanya lewat kaji duduk kepada Tuan Guru Haji Said Midad dari tahun 1925 sampai dengan tahun 1933 di Kampung Sungai Jingah. Salah seorang temannya dalam kaji duduk tersebut adalah Ahmad yang kemudian lebih dikenal dengan nama H. Ahmad Pamurus. Pendidikannya di Madrasah Al-Ashriyyah ini ditempuhnya hanya dalam waktu dua tahun (1925-1927) yang seharusnya ditempuh selama lima tahun. Selanjutnya ia menekuni kaji duduk sampai pada tahun 1933.

Ia juga tertarik dengan organisasi dan terlibat dalam pendirian organisasi pelajar Islam Kalimantan yang diberi nama Musyawaratuth Thalibin pada tahun 1931.

Ketika usianya mencapai 18 tahun, yakni pada tahun 1933, atas saran guru-gurunya, orang tua Muhammad Hanafie Gobit mengirimnya ke Makkah al-Mukarramah Saudi Arabia untuk melanjutkan studi di Madrasah Ash-Sholatiyah atas biaya sendiri. Ia berangkat dengan menumpang kapal laut melalui Singapura terus ke Jeddah dilanjutkan dengan perjalanan darat ke Mekah. Setelah mengikuti tes masuk, ia diterima di kelas dua. Pendidikan di Madrasah Ash-Sholatiyah ini seharusnya ditempuh dalam waktu 10 tahun, namun H. Muhammad Hanafie Gobit berhasil menyelesaikannya dalam waktu enam setengah tahun dan memperoleh nilai maksimal, yaitu 10 untuk setiap mata pelajaran. Dengan demikian, dari 12 mata pelajaran yang dicantumkan dalam ijazah (syahadah), ia memperoleh total nilai 120 dengan kategori kelulusan Jayyid Mumtaz dan menduduki rangking pertama. Ijazah (syahadah) yang ia terima ini setingkat perguruan (Al-Qismul ‘Ali) dengan nomor: 2025, tertanggal 14 Rajab 1360 H.

Muhammad Hanafie Gobit ini termasuk anak yang cerdas, palajaran-pelajaran di sekolah dapat dikuasainya, ia dapat mengingat isi pelajaran yang diikutinya dengan baik, sehingga banyak teman-temannya yang bertanya kepadanya tentang pelajaran yang mereka ikuti. Karena kecerdasannya itulah, maka masa sekolah yang ditempuhnya pun lebih pendek dari teman-temannya.

Di samping mengikuti pendidikan formal di Madrasah Ash-Sholatiyah ia juga memperdalam ilmu-ilmu agama dengan mengikuti pengajian yang diadakan di Masjidil Haram. Teman-teman dekatnya ketika menuntut ilmu di Mekah antara lain adalah H. Abdul Hamid, H. Abdullah Syafe’i dari Jakarta, Syah Ramli Gusti, dan H. Abdul Hadi.

Muhammad Hanafie Gobit pulang dari Mekkah dan tiba di Banjarmasin pada tahun 1941 H. Sepulangnya H. Muhammad Hanafie Gobit dari Mekah Saudi Arabia, ia dikawinkan oleh orang tuanya dengan seorang gadis bernama Hj. Asiah pada tanggal 9 Oktober 1942. Mereka dikaruniai 12 orang putera dan puteri sebagai berikut:

  1. Naziroh Hanafie (meninggal dalam usia satu tahun),
  2. H. Ma’mun Hanafie (meninggal di usia 42 tahun),
  3. Siti Wardah Hanafie,
  4. Rusydah Hanafie, B. A,
  5. Yusriah Hanafie,
  6. Hj. Mashunah Hanafie,
  7. Hj. Unaizah Hanafie,
  8. Madihah Hanafie, B. A.
  9. Shofwati Hanafie,
  10. H. Usamah Hanafie,
  11. Hj. Nailah Hanafie, dan
  12. Hj. Rajihah Hanafie
Baca juga:  Ulama Banjar (14): KH. Usman

Sepulangnya dari Mekah ia mulai mengadakan pengajian di rumah orang tuanya Jalan Kalimantan (Jalan S. Parman sekarang).[1]

Sejak tahun 1951 sampai dengan 1963, ia ditugasi menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kalimantan. Pada saat itu ia mengadakan pengajian agama untuk kalangan kantor yang dihadiri oleh para karyawan Kantor Urusan Agama itu sendiri, di samping itu masih ada karyawan Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I, karyawan Komando Daerah Militer X Lambung Mangkurat, karyawan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan dan karyawan lainnya. Pengajian ini diadakan pada setiap hari Sabtu. Pengajiannya dibagi menjadi dua, yang pertama dengan materi pengajian Fiqh Munakahat, sedangkan yang kedua dengan materi pengajian Fara’idh.

Ia juga membuka pengajian rutin di Masjid Jami’. Pengajian ini berlangsung cukup lama, dari tahun 1950 sampai dengan 1984.

Banyak aktivitas yang dilakukan oleh KH. Muhammad Hanafie Gobit di bidang pendidikan ini, baik sebagai tenaga pengajar maupun sebagai pemrakarsa berdirinya lembaga pendidikan bersama teman-temannya

Sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, dan masa pemerintahan NICA belum pernah ada sekolah umum tingkat atas yang dikelola oleh pemerintah di Kalimantan Selatan.

Atas kesadaran beberapa tokoh pergerakan di Banjarmasin, antara lain KH. Muhammad Hanafie Gobit, A. Sinaga, Fajar Sidik, Raden Sya’ban, dan Engku Rasyid pada tahun 1946 didirikanlah sebuah sekolah tingkat atas yang disebut Sekolah Menengah Tinggi (SMT).

Sekolah Menengah Tinggi ini berlokasi di jalan Suzuki (belakang Kantor Wilayah Depdiknas sekarang). Gedung yang digunakan adalah gedung Vervoks School. Tenaga pengajarnya adalah para pendirinya tersebut. Murid Sekolah Menengah Tinggi ini berasal dari tamatan Hutsu Tjo Gakko (Sekolah Menegah Umum) zaman Jepang atau MULO. Sekolah Menengah Tinggi ini berjalan sampai pada tahun 1950, ketika pemerintah Republik Indonesia mendirikan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Banjarmasin.

Ia juga merupakan anggota Persatuan Guru Sekolah Islam (PGSI) yang berdiri sekitar tahun 1945, diketuai oleh Khatib Syarbaini. Dalam perkembangan selanjutnya Persatuan Guru Sekolah Islam ini berubah menjadi Serikat Perguruan Islam (SERPI).

Ia juga terlibat dalam pendirian Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) yang didirikan pada tanggal 15 Oktober 1946/20 Zulqa’dah 1365 H, di Banjarmasin. Pendirian sekolah ini diprakarsai oleh para pendidik yang tergabung dalam Persatuan Guru Sekolah Islam (PGSI) serta beberapa orang pemuka agama dan pemuka masyarakat di kota Banjarmasin.

Inisiatif pendirikan Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) ini, karena belum ada sekolah agama yang dapat menampung murid-murid lulusan Madrasah Ibtidaiyah. Sekolah ini merupakan sekolah Islam pertama untuk tingkat menengah yang menggabungkan mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama secara berimbang (50% : 50%).

KH. Muhammad Hanafie Gobit menjadi pengasuh SMIP sejak berdirinya pada tahun 1946, hingga pada tahun 1961, dengan Akte Notaris No. 25, tertanggal 30 Maret 1961 sekolah ini diasuh oleh Yayasan Kesejahteraan dan Madrasah Menengah Islam (YKMMI) yang juga diketuai oleh H. M. Hanafie Gobit.

Pada tahun 1983, berdasarkan Akte Notaris No. 40, tertanggal 13 Nopember 1983, kepengurusan yayasan ini diserahkan kepada Drs. H. M. Asy’ari, MA. sekaligus perubahan nama menjadi SMIP 1946.

Ia juga membangun Al-Ma’had al-Islami pada tahun 1952, dengan tujuan memberikan pengarahan serta pelajaran tambahan tentang batasan materi pelajaran dan metode mengajar kepada para guru yang ada di daerah Banjarmasin. Waktu belajar adalah sore hari dengan menggunakan Ruang Belajar Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) di Jalam Masjid, Kampung Surgi Mufti. Tenaga pengajarnya antara lain KH. M. Hanafie Gobit, Fajar Sidik, dan beberapa orang alumni Yogyakarta, antara lain H. Yunan Hasyim.

KH. Muhammad Hanafie Gobit juga mengajar pada Sekolah Qadhi (Kaikyo Gakko Ing) yang berdiri pada masa pendudukan Jepang, bertempat di Jalan Kalimantan (Komplek Perguruan Muhammadiyah Jalan S. Parman sekarang) serta mengajar pada Sekolah Hakim dan Jaksa (SHD) yang terletak di Jalan Pacinan, dengan mata pelajaran Filsafat.

Di samping menjadi guru pada Sekolah Qadhi ia juga menjadi guru pada Sekolah Pamong Praja atau Sekolah Camat selama 10 tahun.

Pada masa Nica, pertama kali didirikan jenis sekolah tertinggi di Kalimantan Selatan, yaitu sekolah guru dengan nama Kweekschool Nieuw Stijl bertempat di Banjarmasin pada tahun 1947. Sekolah ini sederajat dengan Hogere Inlandsche Kweekschool (HIK). Sekolah ini menerima lulusan Sekolah Menengah dan Sekolah Guru empat tahun, serta guru-guru yang berijazah Kweekschool cara lama. Lama pendidikannya adalah tiga tahun, sehingga pada tahun 1950 sekolah ini meluluskan angkatan pertamanya. Guru-gurunya adalah orang-orang Belanda dan bahasa pengantar yang digunakan juga adalah bahasa Belanda, kecuali KH. Muhammad Hanafie Gobit yang merupakan satu-satunya orang Indonesia yang diberikan kepercayaan untuk mengasuh mata pelajaran Budi Pekerti. Beberapa orang tokoh pendidikan di Kalimantan Selatan adalah alumni sekolah ini. Mereka antara lain adalah Drs. M. Idwar Saleh mantan Direktur Museum Negeri Lambung Mangkurat, Drs. A. Gafuri mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan, H. Iskandar mantan Sekretaris Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan.

Baca juga:  Haul Kiai Bisri Syansuri ke-43: Sang Kiai, Aktivis, dan Politisi Tingkat Tinggi

Pada tahun 1950 sekolah ini berubah nama menjadi Sekolah Guru A (SGA) Banjarmasin dan pada waktu itu merupakan satu-satunya sekolah yang menampung murid-murid dari Kalimantan Selatan, Tengah, dan Timur. Perubahan ini merupakan akibat dari diadakannya Konferensi Meja Bundar bulan Desember 1949 yang menyepakati bahwa Belanda harus mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pendidikan pun mengalami perubahan menjadi pendidikan Negara Republik Indonesia.[3]

Gagasan untuk mendirikan sekolah setingkat akademi atau perguruan tinggi di Kalimantan Selatan ini muncul, karena sekitar tahu 1950 sudah banyak putera-puteri Kalimantan Selatan yang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi di Mesir, Mekah, dan Madinah. Pada tanggal 28 Februari 1948 alumni perguruan tinggi Timur Tengah ini mengadakan pertemuan dengan pemuka-pemuka agama Islam bertempat di kota Barabai, untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Kalimantan Selatan. Tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan tersebut adalah:

KH. Muhammad Hanafie Gobit dan H. Nur Marwan, keduanya dari Banjarmasin; H. Abd. Sidik, H. Usman, dan H. Muhammad Arsyad dari Kandangan; H. Muhtar, H. Muhammad As’ad, H. Mansur Ismail, H. Abd. Hamid Karim, dan H. Abdurrahman Ismail, M. A. dari Barabai; serta H. Zuhri Sulaiman, H. A. Hasan, dan H. Ideham Khalid dari Amuntai.[4] Keputusan penting yang diambil pada pertemuan tersebut adalah terbentuknya sebuah badan untuk menyiapkan berdirinya sebuah perguruan tinggi dengan nama “Badan Persiapan Sekolah Tinggi Islam Kalimantan” yang berkedudukan di Barabai, sebagai ketuanya terpilih H. Abdurrahman Ismail, M. A.[5]

Usaha untuk merealisasikan gagasan ini baru terwujud pada tahun 1957, yaitu dengan berdirinya Yayasan Hidayah. Hal ini disebabkan oleh situasi revolusi fisik dan situasi pemerintahan yang menghadapi pemberontakankan dalam negeri sendiri.[6]

Pada tanggal 21 September 1958, terwujudlah cita-cita mendirikan perguruan tinggi Islam di Kalimantan Selatan dengan lahirnya Fakultas Agama Islam sebagai bagian dari Universitas Lambung Mangkurat, dengan nama Fakultas Islamologi. Fakultas ini lahir, karena adanya kerjasama antara Yayasan Hidayah dengan Yayasan Perguruan Tinggi Lambung Mangkurat. KH. Muhammad Hanafie Gobit menjadi salah seorang dosen Agama Islam pada Universitas Lambung Mangkurat tersebut.

Setelah terbitnya dua Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia, Nomor: 28 tahun 1960, tertanggal 24 Nopember 1960 dan Nomor 15 tahun 1961, tertanggal 15 Januari 1961, Fakultas Islamologi diubah menjadi Fakultas Syari’ah IAIN Al-Jami’ah cabang Yogyakarta, di Banjarmasin.  Status Fakultas Syari’ah cabang Yogyakarta ini berlangsung sampai tanggal 20 Nopember 1964, karena sejak saat itu, Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin telah berdiri secara resmi. Kembali KH. Muhammad Hanafie Gobit menjadi dosen di lembaga baru tersebut.

Di Lembaga ini ia juga sempat menjabat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Syari’ah IAIN Antasari Banjarmasin dari tahun 1971 sampai dengan tahun 1973

Beliau juga mendirikan sebuah pesantren yang diberinama Pesantren Islam Hunafa. dalam perkembangan selanjutnya, kepemimpinan pesantren ini diasuh oleh Drs. H. M. Qastalani, LML. dan H. Husin Naparin, Lc., M. A.

Ia menjadi salah satu pelopor pemindahan Masjid Jami’ dari Jalan Panglima Batur Sungai Jingah (Teluk Masjid sekarang) yang terancam longsor, ke jalan Masjid Jami’, tanggal 21 Desember 1955. Sejak saat itu, KH. Muhammad Hanafie Gobit selalu dipercaya menjadi ketua kepengurusan Masjid Jami’ sampai dengan tahun 1982, walaupun pengurus lainnya mengalami penggantian. Karena faktor usia, pada tahun 1982 Ketua Pengurus Masjid Jami’ diserahkan kepada K.H. Usman Abdullah.

Di samping peran sebagaimana disebutkan di atas, ia juga menjadi penasihat Yayasan Panti Asuhan Sentosa, penasihat pendirian Rumah Sakit Islam Banjarmasin, anggota dewan Penasihat Yayasan Pengabdian dan aktif sebagai pembina Jama’ah Haji, dan pencetus berdirinya biro Konsultasi Manasik Haji, serta pencetus ide berdirinya Baitul Mal untuk wilayah Kalimantan Selatan.

Baca juga:  Ulama Banjar (181): Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshari AZ, MA

KH. Muhammad Hanafie Gobit juga banyak memberikan ide segar tentang pelaksanaan acara keagamaan, misalnya pembacaan ma’asyiral dengan berbahasa Arab, yang diubahnya ke dalam bahasa Indonesia, agar jamaah dapat memahami apa yang dimaksudkan oleh muazin tersebut. Ia juga berinisiatif untuk memberikan kuliah subuh dua kali seminggu di Masjid Noor Banjarmasin, sementara pada waktu itu, di Banjarmasin belum ada yang mengadakan kuliah subuh.

Sejak bulan Juli 1942 sampai dengan tahun 1950 KH. Muhammad Hanafie Gobit memangku jabatan Qadhi Besar di Kalimantan. Jabatan ini dipangkunya cukup lama, namun tidak banyak yang dapat ia lakukan, mengingat semua gerak-geriknya selalu diawasi oleh pemerintahan Jepang dan kemudian oleh pemerintahan NICA.

Antara tahun 1942 sampai dengan tahun 1950, terjadi perubahan jabatan yang dipegang oleh K.H. Muhammad Hanafie Gobit sebagai berikut:

  • Tahun 1942-1944 ia diangkat menjadi Mustasyar Kerapatan Qadhi Besar Banjarmasin.
  • Tahun 1942-1943 ia diangkat sebagai Wakil Qadhi Besar berdasarkan Surat Keputusan Borneo Menseibu Tjokan, tertanggal 20-11-1942.
  • Tahun 1944-1947 ia diangkat menjadi Ketua Muda Kantor Jam’iyah Islamiyah Borneo Kaikjo Kjokai Banjarmasin.

Pada bulan Desember 1949, KH. Muhammad Hanafie Gobit dipanggil ke Yogyakarta untuk menghadiri musyawarah tentang pembentukan Departemen Agama untuk daerah Kalimantan. Musyawarah itu dihadiri oleh utusan dari berbagai daerah seluruh Indonesia. Pada waktu itulah KH. Muhammad Hanafie Gobit diberikan Surat Mandat oleh Departemen Agama RI untuk menyusun kelengkapan Kantor Departemen Agama di Kalimantan.

Pada bulan Mei 1950 dibentuklah Kantor Persiapan Departemen Agama yang pertama dengan mengambil tempat rumah orang tua KH. Muhammad Hanafie Gobit di Jalan Kalimantan (Jalan S. Parman). Semua persiapan dan peralatannya ditanggung oleh KH. Muhammad Hanafie Gobit sendiri, sekaligus ia menjadi pemimpinnya.

Pada tanggal 1 Agustus 1950, persiapan Kantor Departemen Agama Propinsi Kalimantan diresmikan oleh Departemen Agama Pusat, sekaligus mengangkat Bapak H. Asnawi Hadisiswojo sebagai pemimpinnya dan KH. Muhammad Hanafie Gobit sebagai wakilnya.

Sehubungan dengan habisnya jenjang kepangkatan untuk pengabdiannya di Departemen Agama Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1963, maka seharusnya ia dipindahkan ke Jakarta, namun ia memilih tetap di Kalimantan Selatan. Pada tahun 1971 ia dipindahtugaskan ke Institut Agama Islam Negeri Antasari, karena untuk Perguruan Tinggi tidak ada batasan pangkat dalam bertugas.

Ia juga menjadi Wakil Ketua Majelis Ulama Daerah Kalimantan Selatan yang dibentuk oleh Pangdam X Lambung Mangkurat pada tahun 1982. Sebagai ketuanya ditunjuk KH. Salman Taib.

Ia juga sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta pada tahun 1975. Ketika itu, Ketua MUI Pusat adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Dan anggota Komisi III MUI yang Membidangi Ukhuwah Islamiyah, berdasarkan hasil Keputusan Munas II MUI tahun 1980 di Jakarta.

Ia juga menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) Cabang Kalimantan Selatan yang pertama. Serta menjadi anggota Sikai Gun (Dewan Kota) pada masa pendudukan Jepang.

KH. Muhammad Hanafie Gobit tidak memiliki karya tulis yang dicetak, karya tulisnya sebagian masih dalam bentuk tulisan tangan dan sebagiannya lagi diketik dengan mesin ketik manual. Dra. Hj. Mashunah Hanafie dalam laporan penelitiannya berjudul “H. Muhammad Hanafie Gobit Sebagai Tokoh Ilmu Falak” memberikan identifikasi Ilmu Falak karya KH. Muhammad Hanafie Gobit sebanyak kurang lebih 84 halaman dan lampirannya berupa tabel sejumlah 24 halaman.

Setelah mengisi hidupnya dengan kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan, baik di dunia pendidikan dan dakwah, maupun di dunia politik dan pemerintahan, pada hari Kamis tanggal 16 Ramadhan 1410 H./12 April 1990 M. sekitar pukul 05.20 WITA KH. Muhammad Hanafie Gobit menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah kediamannya Jalan Masjid No. 5 Banjar Utara Banjarmasin. Jenazahnya dikebumikan di Alkah keluarga, di belakang Pesantren Hunafa sekitar pukul 17.00 WITA.

[1]Hasil wawancara dengan H. Junaidi AS. Khalid, tanggal 16 Oktober 1995.

[2]Hasil wawancara dengan H. Junaidi AS. Khalid, tanggal 16 Oktober 1995.

[3]H. Ramli Nawawi, et al., Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Depdikbud, 1992/1993), h. 99.

[4]H. M. Yusran Asmuni, Profil Kiyai Haji Abdurrahman Ismail, M.A.., (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), h. 16.

[5]Ibid., h. 17.

[6]Ibid.

[7]Ibid.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
3
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top