Sedang Membaca
Ulama Banjar (18): KH. Napiah
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (18): KH. Napiah

Tuan Guru Napiah

(1901-1976)

KH. Napiah atau biasa dipanggil Tuan Guru Napiah adalah orang Barabai kelahiran Karatau Murung tahun 1901. Beliau anak dari H. Durahim dan Hj. Aminah.

Sejak masih kecil tidak pernah bersekolah yang mengajar huruf latin, Napiah menuntut ilmu dengan cara mengaji duduk kepada Tuan Guru Mayusuf di Karatau, tahun 1920-1921. Upayanya untuk menuntut ilmu diteruskan dengan mengaji duduk kepada Tuan Guru Ramli di Pamangkih (orang tua KH. Mahfuz Amin), tahun 1921-1923.

Pada tahun-tahun berikutnya keinginan untuk mendalami ilmu-ilmu agama dilanjutkan dengan mengaji duduk kepada Tuan Guru Ahmad di Nagara, tahun 1923-1924. Rupanya segala ilmu yang ia dapatkan terasa belum lengkap, dan bersamaan dengan keberangkatannya menunaikan rukun Islam kelima ibadah haji, Napiah berkesempatan belajar selama dua tahun di Mekkah 1924-1926.

Sebagai seorang ulama, pekerjaan utama KH. Napiah adalah menjadi muballigh atau melaksanakan dakwah. Ia melakukan pengajian diberbagai masjid dan surau terutama yang terjangkau dari tempat tinggalnya, seperti Masjid Kurau, Surau Mandala, Aluan Mati, Aluan Sumur, dan Kahakan. Pengajian tersebut dilaksanakan sore hari menjelang shalat Ashar berkisar selama lebih kurang satu jam. Sedangkan kegiatan H. Napiah pada pagi hari adalah memberikan pelajaran agama Islam kepada murid-murid bertempat di rumah beliau sendiri, yakni antara pukul 09.00 sampai 11.00 siang.

Baca juga:  Ulama Banjar (32): KH. Abdul Muthalib bin H. Mardiah

Pada masa perjuangan menentang penjajah Belanda, KH. Napiah dikenal sebagai seorang ulama yang suka memberikan nasehat dan petuah agama serta ikut membina mental para isteri dan anak-anaknya yang ditinggal suami, lantaran ikut bergerilya masuk ke pedalaman bergabung dengan para pejuang lainnya. Nasehat yang ia berikan agar tabah dan sabar dalam mengasuh anak serta tetap dengan pekerjaan ke sawah atau berusaha mencari nafkah untuk kehidupan keluarga. Disamping itu, beliau meminta kepada para istri dan anak-anaknya untuk mendoakan suami dan anak mereka agar tetap selamat dan perjuangan segera berakhir dengan dicapainya kemerdekaan.

Terhadap para pejuang yang datang kepada beliau, KH. Napiah selalu memberikan petuah agama yang bisa membangkitkan semangat dan keberanian untuk menentang kehadiran kaum penjajah. Bersamaan dengan itu beliau juga secara khusus memberikan doa dan amalan yang sesuai dengan syariat agama.

Tradisi membantu para pejuang juga dilakukan oleh Tuan Guru Napiah dengan cara menyediakan lobang sebesar bola yang bisa dibuka dan ditutup, untuk tempat menuangkan beras. Tidak jarang beliau juga menyertakan lauk berupa ikan kering dan bantan sedikit uang. Bila malam telah larut, terdengar suara ketukan disekitar lobang sebagai tanda para pejuang datang meminta bantuan. Itu berlangsung setiap tiga atau empat malam berselang.

Baca juga:  Ulama Banjar (168): Drs. H. Farid Wadjdy, M.Pd

Sekali peristiwa dialami sendiri oleh putera beliau yang bernama Habibullah, yang ketika itu masih duduk di Sekolah Rakyat kelas III sekitar tahun 1949-1950. Pada pagi hari secara tiba-tiba datang sebuah mobil Jeep Belanda yang berisi para serdadu menggunakan topi baja menangkap ayahnya (KH. Napiah) di rumah untuk dibawa ke Kandangan.

Menurut keterangan, KH. Napiah sepulang dari Kandangan, beliau diintrogasi Belanda yang meminta keterangan tentang keberadaan H. Hasan Basry dan H. Aberani Sulaiman. Tapi yang paling banyak ditanyakan adalah tentang H.Arjan dan apa hubungan beliau dengan H. Arjan. interogasi tersebut berlangsung selama lebih kurang dua jam. Dan setelah itu sekitar pukul empat sore Tuan Guru Napiah dilepas kembali.

Ulama ini sempat berkali-kali melakukan perjalanan ke luar negeri, namun semuanya dalam rangka menunaikan ibadah haji. Sedikitnya tiga kali ia mengunjungi negara Arab Saudi, yakni pada tahun 1924, 1936, dan 1974. Tokoh yang dikenal tekun menelaah kitab-kitab kuning ini dan mengajarkan tauhid atau sifat dua puluh untuk kalangan keluarga sendiri, sejak tahun 1949 sudah bergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama.

KH. Napiah punya prinsip hidup yang sangat sederhana, mudah dicerna, namun dalam sekali maknanya, yaitu ‘bila ingin tenang dekatkan diri kepada Allah SWT’. Tuan Guru Napiah meninggal pada tanggal 27 April 1976 dan dimakamkan di Karatau Murung Kecamatan Batu Benawa Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Baca juga:  Epos Ajaran Kemanunggalan Islam di Nusantara (2): Hamzah Fansuri, Sastra Sufistik, dan Mabuk Spiritual

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top