Sedang Membaca
Ulama Banjar (146): Prof. Dr. H. A. Athaillah M.Ag
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (146): Prof. Dr. H. A. Athaillah M.Ag

Prof. Dr. H. A. Athaillah M.ag

(L. 29 Desember 1944)

Prof. Dr. H.A. Athaillah, M.Ag lebih popular dipanggil Pak Haji Athaillah, beliau lahir di Alabio pada tanggal 29 Desember 1944 dari pasangan suami istri H. Syamsuri dan Hj. Masrah. Sejak kecil sudah mendapat didikan agama dari kedua orang tua dan keluarga secara informal. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat (SR) Negeri, kemudian dilanjutkan di Pendidikan Guru Agama Pertama Nahdlatul Ulama (PGAP NU) di kota kelahirannya, Alabio Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Berbekal semangat yang tinggi dan modal kecerdasan yang dimiliki, H.A. Athaillah oleh kedua orang tua direstui untuk melanjutkan pendidikannya. Itu terbukti setelah menyelesaikan pendidikan agamanya di tingkat menengah pertama, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) NU di kota Jombang Jawa Timur. Meskipun duduk di sekolah formal negeri, H.A. Athaillah tetap rajin dan giat menuntut ilmu pengetahuan agama di pesantren.

Di kota Jombang tersebut H.A. Athaillah juga membagi waktu dan menyempatkan diri untuk nyantri di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif di Denanyar, yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri (seorang ulama besar dan mantan Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama). Karena itu, di samping belajar di PGAA NU, ia juga berkesempatan pada setiap pagi setelah shalat Subuh berjamaah di masjid pesantren tersebut, belajar dan mengaji bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama pada KH. Bisri. Dari beliau itulah, ia mulai mengenal kitab kuning, belajar bahasa Arab (nahwu dan sharaf), dan menimba ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tauhid, fiqh dan tafsir melalui kitab-kitab berbahasa Arab, yang merupakan literature khas pesantren.

Akan tetapi, baru sekitar enam atau tujuh bulan belajar di PGAA NU, H.A. Athaillah dengan terpaksa harus berhenti, karena pengurus yang mengelola lembaga pendidikan NU itu tidak lagi memiliki dana untuk menggaji guru-gurunya sehingga lembaga pendidikan tersebut terpaksa ditutup. Oleh karena di Jombang tidak ada lagi lembaga pendidikan sejenis, atas saran kawan-kawannya ia kemudian dengan bantuan mantan gurunya di PGAP NU Alabio yang berasal dari Solo, yaitu Tahrir Fathani, dapat kembali melanjutkan pendidikannya di PGAA Al-Islam Solo.

Dengan kepindahannya ke kota Solo Provinsi Jawa Tengah tersebut, maka ia terpaksa juga berhenti mengaji pada KH. Bisri, mengingat letak pesantren yang dipimpin Kiai Sepuh tersebut berada di provinsi Jawa Timur. Meskipun waktu ia mengaji pada kiainya yang kharismatik dan tersohor itu tidak lama (tujuh bulan), ternyata dengan berkat keikhlasan beliau dalam membina dan membimbingnya telah berhasil membuatnya dengan cepat mampu secara mandiri membaca dan memahami kitab-kitab kuning yang klasik dan kitab-kitab putih yang kontemporer. Karena itu, setelah belajar pada kiainya yang saleh ini, ia tidak pernah lagi belajar membaca dan memahami kitab-kitab berbahasa Arab kepada kiai dan ulama manapun.

Baca juga:  Ulama Banjar (77): KH. Ahmad Nawawi Marfu

Setelah menyelesaikan pendidikannya di PGAA Al-Islam Solo pada tahun 1962, ia langsung melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta dengan mendapat ikatan dinas dari Departemen Agama. Oleh karena pada tahun 1965 terjadi gerakan 30 September, ternyata berdampak pada proses perkuliahan, selama bertahun-tahun kegiatan belajar mengajar tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Akibatnya, baru pada awal 1971 H.A. Athaillah baru dapat menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi agama Islam itu.

Pada tahun 1981/1982 Atha mendapat kesempatan mengikuti Studi Purna Sarjana (SPS) di Yogyakarta selama enam bulan dengan beasiswa dari Departemen Agama. Selanjutnya, baru pada tahun 1994, ia berkesempatan melanjutkan pendidikannya ke Pascasarjana (S2) dalam kajian Islam (Dirasat Islamiyyah) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan beasiswa dari Departemen Agama. Setelah menyelesaikan S2, ia kemudian melanjutkan pendidikan lagi ke S3 di IAIN yang sama dengan biaya dari Departemen Agama. Pendidikan tersebut dapat diselesaikannya pada tahun 2001.

Selama belajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, H.A. Athaillah telah banyak menimba ilmu pengetahuan dari beberapa ulama besar dan cendekiawan muslim yang terkenal, seperti KH. Ali Maksum (Pemimpin Pondok Pesantren Krapyak dan mantan Rais’Am NU), Prof. H. Ibrahim Husen, Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. Munawir Syadzali dan Prof. Dr. M. Quraish Shihab.

Oleh karena pada waktu belajar di Fakultas Syariah mendapat ikatan dinas dari Departemen Agama, maka setelah selesai menamatkan pendidikannya di fakultas tersebut pada awal tahun 1971, ia langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan tugas menjadi Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Amuntai. Pada tahun 1980 fakultas tersebut diintegrasikan kepada IAIN Antasari Banjarmasin. Bersamaan dengan itu pula beliau ikut berhijrah ke Banjarmasin guna meneruskan tugas sebagai tenaga edukatif.

Baca juga:  Murid-Murid Imam Syafi’i (2): Abu Tsaur al-Baghdadi, Murid yang Sebelumnya Bermazhab Hanafi

Selama mengabdikan diri sebagai pendidik, terutama dalam mata kuliah Tafsir di fakultas Ushuluddin, karir Pak Athaillah terus menanjak sesuai dengan prestasi yang beliau ukir. Berbagai jabatan strategis pernah didudukinya seperti Sekretaris Fakultas, Pembantu Dekan III, dan menjadi Dekan pada fakultas tersebut.

Pada tahun 2008 merupakan kebahagian tersendiri bagi Pak Athaillah, karena berhasil meraih puncak karir akademiknya. Dengan Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan Nasional No. 35712/A4.5/KP/2008, ia ditetapkan menjadi Guru Besar dalam bidang Ilmu Tafsir. Selain mengajar di Fakultas Ushuluddin, dan di Pascasarjana IAIN Antasari. Atha juga pernah mengajar di fakultas-fakultas lain di lingkungan IAIN Antasari dan di beberapa Sekolah Tinggi Agama Islam di Kalimantan Selatan, di Lembaga Kader Dakwah Banjarmasin, dan menjadi Hakim Agama Tidak Tetap di Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin selama beberapa tahun.

Di samping sebagai dosen dan pengajar, ia juga aktif mengikuti seminar dan pertemuan ilmiah, baik selaku narasumber maupun peserta, baik yang bersifat regional maupun nasional. Dalam kaitan ini tentu saja kalau forum-forum ilmiah tersebut membicarakan seputar tafsir Alquran, baik secara tekstual maupun kontekstual. Selain itu, beliau juga aktif menulis tentang tafsir dan ilmu-ilmu keislaman lainnya pada beberapa jurnal yang terbit di beberapa fakultas yang ada di IAIN Antasari.

Ia aktif memberikan pengajian Tafsir di beberapa masjid di Banjarmasin, menjadi narasumber dalam masalah-masalah keagamaan dan tafsir Al-Qur’an di RRI, TVRI, Duta TV dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Kanwil Departemen Agama Kalimantan Selatan. Selain itu hingga saat ini, ia juga aktif menjadi Ketua Badan Pembina Pondok Pesantren Putri Darul Hijrah di Martapura, Ketua STIT Darul Hijrah, dan Direktur Pusat Pengkajian Al-Qur’an di Kalimantan Selatan.

Athaillah juga aktif melakukan penelitian, membuat makalah dan menulis buku. Penelitian-penelitian yang telah dilakukannya berjudul (1) Pandangan Para Ulama Hulu Sungai Utara Terhadap Tafsir Al-Manar, (2) Pengaruh Paham Asy’ariyah Terhadap Etos Kerja Kaum Muslimin Di Kalimantan Selatan, (3) Perkembangan Tarekat Samaniyah Di Kalimantan Selatan, (4) Persepsi Masyarakat Muslim Kota Banjarmasin Terhadap Pengelolaan Sungai, (5) Pembelajaran Tafsir Dalam Perspektif Masyarakat Muslim Kota Banjarmasin Terhadap Pembelajaran Tafsir, (6) Aliran Akidah Tafsir Al-Manar, (7) Konsep Teologi Islam Dalam Tafsir Al-Maraghi, (8) Pemikiran Teologi Dalam Tafsir Al-Muni, Dan (9) Hukum Kausalitas Dalam Perspektif Al-Qur’an, (10) Konsep Teologi Rasyid Ridla Dalam Tafsir Al-Manar.

Buku-buku yang telah diulisnya, baik yang telah diterbitkan oleh penerbit nasional maupun oleh penerbit lokal atau diterbitkan sendiri adalah (1) Kedudukan Hukum Islam D Abad Modern, (2) Al-Qur’an Adalah Kitab Ilahi Yang Murni, (3) Ushul Al-Fiqh, (4) Fiqh Kontemporer (Jawaban Terhadap Masalah-Masalah Masa Kini), (5) Pengantar Studi Al-Qur’an Dan Tafsir, (6) Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (7) Ayat-Ayat Akidah Dalam Perbincangan Mufassirin Mutakallimin, (8) Tafsir Ayat-Ayat Akidah, (9) Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (10) Tafsir Ayat-Ayat Dakwah, (11) Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (12) Rasyid Ridla: Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir Al-Manar, (13) Sejarah Al-Qur’an: Verifikasi Tentang Otentisitas Al-Qur’an, (14) Tafsir Ayat-Ayat Tentang Yahudi Dan Nasrani, (15) Pandangan Al-Qur’an Tentang Hukum Kausalitas, (16) Tuntunan Al-Qur’an Tentang Sikap Muslim Terhadap Non Muslim, (17) Sikap Hidup Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an, (18) Fiqh Muamalah Kontemporer, (19) Kaidah-Kaidah Fiqhiyyah, (20) Pengantar Tafsir Al-Qur’an, Dan (21) Akidah Islam Menurut Al-Qur’an.

H.A. Athaillah tidak fanatik kepada golongan tertentu dalam masalah-masalah khilafiyah. Meskipun demikian, ia bersikap tegas dalam menentang atau menolak ajaran-ajaran bid’ah yang bisa membawa kepada kemusyrikan dan merusak akidah Islam, juga tegas dalam menentang dan menolak paham dan ajaran-ajaran liberal, sekuler, dan pluralisme yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Demikian pula dengan paham-paham lainnya yang bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.

Baca juga:  Ulama Banjar (119): Drs. H. Abdulkadir Munsyi, Dip.Ad.Ed.

Dari pernikahannya dengan Hj. Suaibatul Aslamiyah, ia dikaruniai lima orang anak; empat di antaranya sudah mandiri dan bekerja, baik sebagai PNS maupun sebagai pegawai swasta dan wiraswasta. Sekarang Pak Athaillah dan keluarganya bertempat tinggal di Jalan A. Yani Km. 7.4 RT. 16 RW. 02 Gang. Hj. Noorjannah No. 48 A Kertak Hanyar Kabupaten Banjar.

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top