Sedang Membaca
Kisah Takziah ke Istri Kiai
Binhad Nurrohmat
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Darul Ulum, Jombang Jawa Timur

Kisah Takziah ke Istri Kiai

Saya kenal nama kiai ini lebih dulu lantaran sebuah selawat yang saya ketahui dari seorang teman. Selawat Bahriatul Kubra. Tak melalui perjumpaan langsung dengan beliau saya pertama kali mengenalnya. Dan teks selawat ini adalah yang terpanjang yang saya ketahui di dunia perselawatan — mungkin ada yang lebih panjang namun saya belum tahu.

Dibaca sangat cepat pun, merampungkan satu kali bacaan selawat ini butuh waktu kira-kira dua menit lebih. Bahasa selawat ini ritmis dan puitis, saya terkesan dan membuat saya tak lupa beliau.

Beliau adalah Kiai Abdul Hannan Ma’shum, pengasuh sebuah pesantren di Kwagean, Kediri sejak 1980an. Para santri di Jombang, di daerah saya bermukim, beliau sohor sebagai “kiai wirid”.

Beliau bukan genre kiai yang senang berpidato di hadapan keramaian orang. Banyak yang sowan ke beliau dan meminta “ijazah” wirid, di antaranya adalah wirid Selawat Bahriatul Kubra. Sebuah informasi menyatakan selawat ini dari guru beliau di Pasuruan, Jawa Timur Juga.

Teman saya itu menceritakan ini dan itu ihwal beliau. Profil tak utuh kiai soliter ini saya peroleh berangsur-angsur dari teman saya itu. Tak mudah mendapatkan informasi dunia dan seisinya dari teman saya itu. Juga ihwal kiai itu.

Baca juga:  "Pesantren" Milik Habib Umar, Disukai Pelajar Indonesia dan Mualaf

Sambil ngobrol, teman saya itu selalu wiridan, mulutnya berkomat-kamit dan jemarinya memencet tombol stop watch untuk menghitung jumlah bacaan wirid. Bicaranya sedikit.

Saya bertemu langsung dengan Kiai Hannan lantaran kabar duka yang saya ketahui di media sosial. Istri beliau wafat pada suatu sore. Dalam kabar duka itu disertakan foto beliau bersanding dengan mendiang istrinya. Malam harinya, bakda Isya’, saya bersama teman saya itu bertakziah ke kediaman beliau, sekitar satu jam perjalanan dari Jombang.

Saya menjemput teman saya itu di rumahnya, sekian kilometer di selatan Pesantren Tebuireng. Ia mengajak istrinya. Saya menyetir mobil dengan kecepatan sedang karena ada pengantin baru menumpang di dalamnya. Teman saya itu baru sepekan menikah. Istrinya penghafal Alquran. Dan teman saya itu hafal belasan naskah kitab kuning. Dua penumpang “keramat” bersama saya.

Sepanjang perjalanan ke Kediri untuk bertakziah ke mendiang istri Kiai Hannan, sesekali teman saya itu berbicara. Istri Kiai Hannan wafat setelah terjatuh di kamar mandi di rumahnya akibat serangan darah tinggi. Ibu dengan dua belas anak ini sempat dirawat di rumah sakit sebelum wafat. Kiai Hannan kerap menerima undangan memberi “ijazah” wirid massal di banyak kota.

Saat sang istri dibawa ke rumah sakit, Kiai Hannan di luar kota dan segera pulang setelah menerima kabar sakitnya sang istri.

Baca juga:  Pesantren Telah Teruji Toleran

Kami tiba di kediaman beliau, di ndalem, dan tampak orang ramai. Sekitar pukul sepuluh malam. Kami duduk di teras menunggu antrian bertemu beliau di ruang tamu. Putra beliau yang kedelapan, Gus Idris, menyambut dan menemani kami. Istri teman saya berada di ruang lain khusus perempuan.

Gus Idris bercerita sekilas tentang sakit dan wafatnya sang ibu. Rautnya menunduk saat bicara. Suaranya merendah. Saya terkesan kesantunan putra kiai ini. Gus Idris mengatakan sang ibu telah dikuburkan bakda Maghrib pada hari itu juga. Lokasi kuburannya tak jauh dari ndalem Kiai Hannan. Hanya ada satu kuburan lain di lokasi itu yaitu kuburan pembuka daerah, yang “babad alas”, di Kwagean.

Gus Idris mengantarkan kami bertemu ayahnya di ruang tamu dan ada banyak orang di dalamnya. Mereka menyampaikan bela sungkawa. Mereka menyalami dan mencium tangan Kiai Hannan bergiliran. Sambil bersalaman dengan beliau dan setelah menyampaikan bela sungkawa saya perkenalkan diri saya dan asal saya. “Subhanallah, matur suwun nggih,” demikian lirih ia berkata.

Kiai yang sederhana penampilannya ini duduk di hadapan para pelayat yang duduk melingkar di ruang tamu beralas permadani hijau dan merah. Beliau mempersilakan kami makan soto yang terhidang di mangkok di hadapan setiap tamunya.

Selesai makan, teman saya mencolek saya dan memberi isyarat agar saya melihat sesuatu di belakang saya. Sebuah lembaran kayu lebar menempel di dinding ruang tengah. Pada lembaran kayu coklat muda itu terukir barisan lafaz selawat Bahriatul Kubra.

Baca juga:  Neangan Pajaratan: Arus Balik H. Usep Romli HM

Saya senang sempat melihatnya. Sebelumnya saya mengetahuinya hanya di secarik kertas dari teman saya. Kali ini saya melihatnya langsung di rumah kiai pemberi “ijazah” wirid selawat ini.

Setelah berpamitan, kami tak langsung kembali ke Jombang. Berjalan kaki kami ke lokasi kuburan mendiang istri Kiai Hannan. Kami akan bertahlil dan berdoa memohon Tuhan mengampuni segala kesalahan sang mendiang. Di sekujur gundukan kuburan sang mendiang, bertabur kembang di atas tanah basah. Banyak peziarah lain yang bersimpuh di sekitar kuburan itu.

Sembari berjalan meninggalkan kuburan mendiang istri Kiai Hannan, saya menyaksikan bangunan-bangunan pesantren di Kwagean. Sebagian besar bertembok beton dan bertingkat. Sebagian masih dalam masa perampungan. Di antara bangunan-bangunan modern itu tampak gubug-gubug kecil berpanggung tempat hunian santri, bertiang potongan-potongan batang bambu dan berdinding anyaman bilah-bilah tipis bambu. Alami dan indah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top