Dalam konteks ini, saya ingin rnerekam sosok kepribadian ulama semacam Tuan Guru Faisal. Beliau adalah sosok kepribadian yang memiliki pandangan yang konsisten, yaitu kecintaannya terhadap NU yang tidak habis-habisnya.
Namun, dalam hal pandangannya mengenai siapa yang dipilih untuk didukung, saya sendiri dengan Tuan Guru Faisal berbeda. Saya tidak mau memilih apa pun atau siapa pun, atau memberikan dukungan secara transparan dan terbuka. Itu urusan saya yang asasi. Tidak harus mengajak orang lain dan tidak akan memberitahukan kepada orang lain; mana yang saya pilih dan mana yang tidak. Sementara Tuan Guru Faisal selalu menunjukkan dukungannya kepada PPP secara terbuka.
Di sini pula ada perbedaan pandangan atau penafsiran antara ia dan saya mengenai arti khittah 1926. Kalau saya menganggap khittah NU itu tidak terkait secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun, maka artinya kita tidak boleh membantu mereka. Tuan Guru Faisal tidak demikian. Beliau hanya membatasi pada penafsiran bahwa yang tidak boleh itu adalah merangkap kepengurusan. Bila hanya menunjukkan simpati, kata Tuan Guru Faisal, itu boleh-boleh saja. Beliau berargumentasi bahwa dalam kenyataannya hanyak pimpinan NU yang menunjukkan keberpihakan mereka kepada Golkar. Tetapi, dalam pandangan saya menunjukkan simpati itu pun menyalahi khittah, sama saja apakah ke PPP, ke Golkar, atau ke PDI.
Perbedaan pandangan semacam ini sebetulnya tidak mendasar. Namun, cukup membuat sungkan satu sama lain. Saya sendiri tidak mengerti jalan pikirannya. Ia juga rasanya tidak menerima dengan jalan pikiran saya. Tetapi, karena ia mencintai NU, maka beliau pun mencintai apa yang ingin saya lakukan untuk kepentingan NU.
Pada Muktamar Situbondo 1984, perdebatan mengenai khittah antara saya dan Tuan Guru Faisal tidak bisa dielakkan. Perdebatan-perdebatan berlangsung hingga pagi, namun perbedaan pandangan di antara kami tetap saja tidak bisa dipertemukan.
Meskipun dalam alam pikiran yang berbeda, Tuan Guru Faisal dan saya tetap ingin mewujudkan keinginan bersama, yakni mencintai dan mengabdi cita-cita NU. Karena itu, walaupun dalam suasana perbedaan pandangan pribadi—sebelum wafat, beliau pernah mengatakan kepada keluarganya kalau dirinya meninggal, maka orang yang pertama harus dihubungi dan diberitahu di Jakarta adalah Abdurrahman Wahid. Bukan PBNU-nya.
Saya merasa kehilangan Tuan Guru Faisal secara pribadi. Saya secara pribadi melihat, tokoh yang satu ini memiliki karakter yang sangat mengasyikkan. Beliau mempunyai sikap yang konsisten dan menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap NU sampai wafatnya.
Bagi orang yang belum mengenal NU, sikap Tuan Guru Faisal adalah contoh yang sangat berbicara tentang sikap saling menghormati di antara orang yang berbeda pandangan, sekalipun di tubuh NU. Tuan Guru Faisal adalah contoh dan potret dari kepribadian NU sejati, yang sangat mengutamakan persaudaraan.
Persaudaraan adalah salah satu basis penting di mana NU hadir dan berdiri. Atas dasar persaudaraanlah NU memiliki trilogi hubungan: Ukhuwwah Islamiyah (hubungan persaudaraan antarumat Islam), Ukhuwwah Basyariyah/Insaniyah (hubungan persaudaraan antarumat manusia), dan Ukhuwwah Wathaniyah (hubungan persaudaraan antarnegara dan bangsa).
Trilogi persaudaraan itu merupakan bagian penting dari kepribadian jama’ah (warga) NU, dulu, kini, dan di masa datang, di saat NU diterpa badai atupun tidak. Jika terjadi perbedaan pandangan di antara warga NU, sejak dini salah seorang pendiri NU, KH. Wahab Chasbullah, telah memberikan solusi dengan pedoman: “Bersepakat untuk tidak sepakat. Berbeda tetapi tetap bersaudara.” Dan Tuan Guru Faisal telah menjadi saksi yang patut diteladani mengenai semangat persaudaraan tersebut.